Bangun Tidur Ku Terus Motret
Sumberpost|Banda Aceh- Saya membentak Afni dengan mimik wajah serius dicampur sedikit candaan. Adegan itu berlangsung setelah saya tiba dari alam mimpi.
“Udah tahu ada kawan tidur, bukan dibangunin ajak makan siang,” saya menambah harapan, “maunya kan dibeli tros satu!”
Di sudut kanan ruangan selebar ukuran tiga toilet ini, ada Indra yang sedang duduk malas-malasan di kursi bos-bos pada umumnya sembari memainkan gawainya. Belakangan ini ia senang nongkrong di ruang redaksi lantaran jaringan wifi di gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa UIN Ar-Raniry. Sangking senangnya, ia mengaku pernah mendownload dua film sekali jalan. Saya tidak tahu film apa itu, entah baik atau buruk.
Tapi, tepat sebelum Sabtu kemarin datang, Indra menyerukan pesan Wasap. “Aku ada film bagus, judulnya City of God! Tentang fotografer di Brazil.” Dan saya berharap film itu sebagus The Bang-bang Club (2010) yang menceritakan perjalanan Kevin Calter memenangkan Putlizer dengan foto sadisnya: seorang anak kecil Afrika yang hampir mati kelaparan diikuti burung pemakan bangkai. Film lain tentang fotografer yang saya suka adalah Under Fire (1983).
Sejak tiba di ruangan ini sejam yang lalu, saya sudah berbaring di atas karpet berwarna coklat dan lalai dengan gawai. Matahari yang malas dan malu hari ini, adalah suasana yang pas untuk juga bermalas-malasan. Saya memasang headset dan membuka Youtube dan memutar The GodFather Theme—Cello Cover, dimainkan wanita bule berakun Vesislava Todorova. Gesekan cello yang dimainkan Todorova dan diiringi suara piano itu, membuat pikiran terbang kemana-mana, dan saya berakhir ke alam mimpi. Begitu indah, tapi kata Jason Ranti dalam satu lirik lagunya, “…mimpi semalam harus cari di mana…”
Setelah membentak Afni dengan wajah serius dicampur sedikit candaan. Saya melangkah ke toilet untuk buang air kecil. Beberapa menit kemudian, kembali ke ruangan ini, dan duduk di kursi yang diduduki Indra tadi. Kini Indra berbaring dan masih asyik dengan gawainya.
“Ndra motret yok!” kata saya, bersikap santai di atas kursi.
Indra menjawab dengan penuh semangat lalu menambahkan kemalasan yang basi bagi saya, “tapi mataharinya gak bagus hari ini.” Betapa kasihannya orang-orang yang beranjak memotret hanya ditentukan dengan, apakah sinar matahari akan tengelam dengan senja yang indah? Padahal ada banyak kehidupan lain yang indah dan bergerak. Semua tergantung Si Fotografer, bagaimana membingkai gerak manusia dan lingkungannya dengan berkali-kali klik. Ditambah kepekaan saat meilhat momen di sekitar. Kepekaan itu dapat Anda latih dengan pacar Anda, setidaknya. Nasihat seperti itu sering saya dengar saat berdiskusi dengan banyak pewarta foto di Aceh.
“Gapapa, kita cari warna Biru Magrib.” Saya berusaha mematahkan kemalasannya. “Kalau beuntung juga dapat senja nanti, gerak aja dulu yok.”
“Yoklah!” katanya sambil membereskan barang-barang.
“Bentar lagi lah! Roh aku belum balek lagi.”
“Eh tapi nanti kita singgah dulu di Natural Kosmetik, di Setui ya.”
“Ngapain?”
“Beli bedak.”
“Hah? ke pakek bedak…”
“Untuk kakak aku.”
“Ohhh…”
“Hahahah..hahah!” tawaku.
KAMI tiba dan memakirkan sepeda motor di depan deretan toko berwarna biru, bagunan ini bergaya arsitektur Cina. Jauh sebelum kami tiba di Pasar Peunayong Banda Aceh, dengan sepeda motor Spacy putih milik Indra, saya membaca satu penilitian, Pelestarian Bangunan dan Lingkungan Kawasan Pecinaan Peunayong Kota Banda Aceh Pasca Gempa dan Tsunami (2010). Yang ditulis Nanda Indira Sari, Antariksa, dan Dian Kusuma Wardhani. Ketiganya dari jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Brawijaya. Jurnal yang berjumlah sepuluh halaman itu: memperlihatkan toko-toko yang masih berkarakteristik arsitektur Cina dan saya melihatnya sekarang.
Gempa dan tsunami Aceh 2004 menyapu bersih bangunan dan lingkungan kawasan Peunayong ini. Kini bencana dahsyat itu akan berumur 15 tahun pada 26 Desember mendatang.
Saya berjalan menuju lorong di samping kiri bagunan biru ini. Indra mengikuti, pelan-pelan ia mengeluarkan kamera dari tasnya. Bau pasar yang khas mulai tercium; sayur-sayuran, buah-buahan, Tahu, Ikan, ditambah bau parit dan becek. Jika kau sering ke pasar pasti tahu baunya seperti apa.
“Piyoh bang,” kata pedangang buah-buahan saat saya sudah bertemu persimpangan lorong itu. Saya hanya mengangguk dan melebarkan pipi. Sejurus kemudian saya mengeluarkan kamera. Indra yang puluhan langkah dari saya, mengarahkan kamera ke arah kakak pedangan sayuran, pedangang itu sedang melayani pembeli. Saya melihat ke sana, warna-warna buah dan sayur itu menarik perhatian, jekrek! Setelah kurang lebih 20 menit di sana. Kami bergerak menuju jembatan Peunayong. Indra menghentikan langkahnya, dan memotret mural keberagaman di kirinya.
Tepat di depan saya, ada mobil truk dengan kuli yang sedang mengeluarkan kardus-kardus dari gerobak truk itu. Pelan-pelan saya membingkai adegan itu, agar adegan iti terbingkai rapi di kamera saya. Setelah menyakini kerapian itu, saya menyusul Indra yang sudah jauh kedepan.
Kami menuju ke Jembatan.
Seorang laki-laki yang kelihatan tidak jauh lebih tua dari saya dan Indra, mengangkat papan dan ember yang berisi ikan. Ia hendak berjualan ikan hasil tanggapannya di pedestarian jembatan ini. Kami menyandarkan tubuh di besi bercat hijau itu, setelah lelah memotret beberapa aktivitas di situ. Semakin banyak penjual ikan yang berdatangan. Laki-laki yang tadi, terliaht tidak tenang, ia melikirik kiri-kanan.
“Pakeun bang?”
“Hana sapu dek.”
Sepertinya ia bersikap waspada terhadap Satpol PP. Saya pernah meilhat sebuah foto yang diupload akun Instragram infobandaaceh. Foto tersebut mengambarkan adegan kecarkecaran antara Satpol PP dengan seorang penjual ikan. Penjual ikan itu membawa jualannya, satu ikan berukuran sedang jatuh. Mereka dilarang berjualan di sini. selain membuat suasana tidak indah, bau bekas ikan akan sangat menyengat.
Kami menyebrang dan turun menyusuri koridor Kreung Aceh, tepat di bawah kanan jembatan ini. Pemandangan yang ditawarkan adalah sungai, pohon-pohon dan kubah Mesjid Raya Baiturahhman. Kami santai di sini. Indra berbicara dengan pemancing di situ. Lalu, saya mengabadikan pemandangan di depan.
Selepas dari sana, kami beranjak pulang. Hari semakin gelap. Saya dan Indra sudah menepi di warung kopi dan memilih foto-foto. Dari puluhan foto, hanya dua belas yang menurut kami layak tayang. Maka, nikmati saja foto yang jelek-aja-belum-ini!
Foto-foto dipotret: Indra Wijaya dan Adli Dzil Ikram
Naskah ditulis: Adli Dzil Ikram