Cerita Pewarta Foto Perempuan Aceh Raih Runner Up PPG 2019
Foto udara yang menggambarkan lahan pertanian dan lahan proyek pembangunan, seorang anak petani yang berlarian di tengah lahan, pasangan suami istri terlelap di sebuah rumah sederhana. Ini adalah beberapa gambar yang dipajang dalam pameran foto Permata Photojournalist Grant milik Riska.
Namanya Riska Munawarah, gadis kelahiran Banda Aceh, 20 Oktober 1998 ini adalah satu-satunya penerima perempuan dari Permata Photojournalist Grant (PPG) 2019. Jauh-jauh dari Aceh ke Jakarta bermodalkan kamera pinjaman.
“Aku nggak pernah punya kamera sendiri. Selalu minjem kamera abang. Tapi pengorbanan abang aku tu nggak sia-sia, sekarang aku punya kamera sendiri,” kata Riska.
Pameran ini merupakan capaian seorang Riska setelah menjalani pendidikan foto jurnalis selama tiga bulan di Jakarta.
“Ketakutan terbesar aku adalah kalau aku gagal dan nggak lulus untuk ikut pameran,” katanya.
Riska merupakan pewarta foto lepas yang ada di Aceh, sekaligus demisioner Pimpinan Redaksi di Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Sumberpost UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Ia memotret apa yang ia lihat, ia abadikan apa yang ia suka. Riska merekam dari setiap peristiwa yang dia temukan sepanjang perjalanannya. Setalah belajar dari seorang kakak laki-laki, karirnya kemudian dimulai di luar rumah.
Beberapa waktu yang lalu, ketika menjalankan program wajib asrama di perguruan tinggi yang ia tempuh, ia juga memotret beberapa sahabatnya untuk mengisi kejenuhan selama menjalankan program itu. Foto ini kemudian dipajang dalam pameran InSumatera Photo Festival. Riska tak pernah berhenti mengabadikan peristiwa dan menjadikan karyanya sebagai perantara mata orang lain.
Kemarin malam, Kamis (5/3/2020) Riska mendapat penghargaan sebagai Runner Up Permata PhotoJournalist Grant (PPG) 2019. Riska mendapat penghargaan langsung dari Wilson Gunawan dari Leica Store, dan berhak membawa pulang kamera Leica.
Penghargaan itu diraih Riska atas rangkaian laporan foto mengenai Urban Farming. Sebuah karya yang ia beri judul Land Of My Land.
Kisah petani urban kota Jakarta yang terkena dampak dari pembangunan. Mereka memilih untuk tetap bertahan menjadi petani meski harus berpindah-pindah lahan. Pembangunan kota ini terus berdampak pada lahan pertanian. Luas lahan perkebunan di Jakarta tiap tahunnya terus mengalami penyusutan. Akibatnya, dalam kurun waktu 2014-2018, produksi sayur-sayuran di kota ini terus menurun.
Pertanian urban juga seringkali dilakukan di lahan yang tidak digunakan (lahan tidur). Keberadaan lahan tidur ini sering kali meningkatkan kekhawatiran konflik antar individu terkait status kepemilikannya dan perencanaan fungsi tata ruang kota yang sering digagas berbagai pemimpin daerah. Para petani yang kepemilikan lahannya belum jelas itu dipaksa memutar otak untuk tetap bertahan bertani di kota Jakarta.
Mereka kian berpindah-pindah mencari lahan kosong untuk digarap. Riska mengikuti kegiatan petani selama empat hari berturut-turut, ia menginap di rumah petani yang kini sudah seperti keluarga baginya.
Empat hari yang ia lewati tak mudah. Ia harus menghadapi keadaan tempat tinggal petani yang tidak terbiasa bagi dirinya.
Program beasiswa yang ia ikuti ini merupakan impian Riska sejak lama. Ia sempat mendaftar di tahun sebelumnya, namun saat itu keberuntungan belum berpihak kepadanya. Kemudian ia mendaftar lagi di akhir tahun 2019. Bermodalkan uang tabungan, yang juga hadiah lomba foto, Riska akhirnya berangkat ke Jakarta.
“Aku pernah submit tahun lalu. Nggak keterima. Ku coba lagi. Kalaupun waktu itu aku nggak keterima, aku akan coba tahun kedepannya, sampai orang itu bosan liat nama aku pokoknya,” ujarnya, Jum’at (6/3/2020).
Setelah dinyatakan lulus serta bisa mengikuti pameran, ia kembali ke Aceh untuk sementara. Sebulan setelahnya ia kembali lagi ke Jakarta. Tujuan Riska hanya satu, hanya untuk menghadiri pameran foto miliknya. Ia tidak berharap lebih, apalagi berharap untuk bisa membawa pulang kamera Leica.
“Aku nggak ada kepikiran harus bawa pulang kamera Leica, sedikitpun nggak ada. Yang aku pikirin, aku harus bisa lulus dan ikut pameran,” ujarnya.
Menurut Riska, kebanyakan orang tidak mau belajar dengan alasan keterbatasan alat. Baginya yang paling utama adalah belajar untuk mendalami skill. Alat akan menyusul setelah skill itu ada.
“Aku awalnya nggak punya alat, tapi ada usaha buat ngecapai itu semua. Aku bersyukur dikelilingi orang-orang baik, termasuk abang aku yang mau ngesuport aku, bantu biaya aku di Jakarta, termasuk minjamin kamera. Belajar aja dulu, alat akan nyusul kamu kok, kalau kamu usaha. Asah terus skillnya,” katanya.
Apa yang telah dicapai Riska tak lepas dari doa dan dukungan orang-orang di sekitarnya. Serta kemauan dan usaha yang dimilikinya.
“Aku bangga. Aku liat langsung progres dia. Aku sempat ngikut dia motret saat nyelesaikan project PPG ini. Pagi, siang, malam dia curhat tentang keluh kesahnya takut nggak lulus PPG. Aku selalu bilang ke dia ‘lu lulus, dan lu bawa pulang Leica, yakin itu,” kata Raudhatul Jeumala, sahabat dekat Riska.
Jeumala juga merupakan salah satu pewarta foto perempuan di Aceh. Meskipun dalam karir Riska dan Jeumala saling kejar-kejaran, tapi mereka juga saling support.
“Jumala sampai nyamperin aku ke Jakarta waktu itu,” kata Riska.
Penulis juga sempat mengikuti kegiatan Riska ketika memotret setahun yang lalu. Saat itu, jarak 73 KM dari Kota Banda Aceh menju Aceh Jaya, dengan rute perjalanan di kelilingi hutan dan pegunungan yang terjal, di tengah derasnya hujan menggunakan sepeda motor, Riska terus bertanya sepanjang perjalanan.
“Sal, tas aku basah nggak? Aku takut kamera abang aku kena hujan,” katanya.
Penulis sempat menyinggung, yang seharusnya dikhawatirkan adalah dirinya yang mengendarai sepeda motor di tengah derasnya hujan ketimbang kameranya. Tapi, berkali-kali jawabannya sama.
“Aku nggak papa. Kamu duduk aja, liat-liat tas aku, takut kenak air. Kamera abang aku tu, nggak sanggup ku ganti kalau rusak,” katanya.
Kami memilih terus melanjutkan perjalanan meskipun hujan, karena tak ingin bermalam di jalan.
Menginap semalaman di tempat yang akan Riska abadikan, penulis melihat bagaimana seorang Riska memainkan lensanya untuk menjadi prantara mata orang lain.
Kami juga harus bangun pagi, agar tak kehilangan moment ketika matahari terbit yang juga menjadi bagian dalam cerita foto yang akan dia buat.
Saat itu, hanya kami berdua tamu perempuan yang menginap di tengah hutan dengan keterbatasan sinyal.
“Kamu takut ya? Kalau mau jadi wartawan nggak boleh takut, ini masih rame, tempatnya juga kayak rumah. Belum ada apa-apanya,” katanya.
Tekadnya yang kuat tak menyurutkan semangat Riska untuk berkarya. Kini ia akan semakin terus berkarya. Baginya project PPG akan menjadi project awal untuk memulai project-project selanjutnya yang lebih besar.[]
Penulis : Cut Salma H.A