18 Mei 2022 Oleh Redaksi Sumberpost Off

Serba Serbi Mahasiswa Banten Kuliah di Tanah Rencong, Hingga Alami Culture Shock

Sumberpost.com | Aceh – Selain terkenal dengan sebutan nama tanah rencong, Aceh juga disebut sebagai salah satu daerah dengan nuansa keagamaan, ketaqwaan dan keimanan yang ketat dengan gelar kota ‘serambi mekah’.

Sebagai penerus bangsa, Soleman, salah satu mahasiswa asal Banten memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke salah satu Universitas ternama Aceh, di UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Ia mempunyai impian besar untuk mewujudkan cita- citanya. Maka dari itu, merantau ke luar pulau jawa menjadi pilihan baginya untuk melanjutkan pendidikan Strata Satu (S1). Ia kuliah di 3 Fakultas sekaligus, yakni Fakultas Ushuluddin, Fakultas Ekonomi dan Fakultas Dakwah.

Selama berada di Aceh, Soleman menemukan banyak hal baru yang memaksakan dia untuk dapat menyesuaikan diri terhadap culture yang ada di kota serambi mekah ini.

Seperti kebiasaan masyarakat Aceh dalam hal masak-memasak.

Saat pertama kali menginjakkan kaki di Aceh, Soleman enggan untuk menerima kenyataan mengenai rasa makanan yang ada di Aceh, namun seiring berjalannya waktu ia terbiasa dan dapat menerimanya, walaupun sampai sekarang belum ada makanan yang 100% sepenuhnya cocok di lidah soleman.

“Rata-rata makanan di Aceh itu asam sama pedas, kalo manis memang masakan daerah Banten, ” ujarnya melalui sambungan WhatsApp.

Bagi Soleman, hal tersebut membuat ia merasa sedikit shock karena tidak mudah untuk menemukan makanan yang cocok dengan lidahnya. Oleh karena itu, Soleman harus bisa memaksakan lidahnya untuk dapat beradaptasi dengan makanan yang ada di Aceh. Menurutnya hal itu salah satu pilihan terbaik. Seperti pepatah yang mengatakan, “Kita bisa karena terbiasa”.

“Kalo untuk saya sendiri sampai sekarang belum ada makanan yang cocok, selama 5 tahun lebih gak ada satupun yang cocok di lidah saya,” lanjutnya.

Namun berbeda dari Soleman, Faizi yang juga mahasiswa asal Banten mengaku makanan yang ada di Aceh cocok di lidahnya.

“Kalo makanan Aceh sih masih masuk yaa apalagi saya suka pedas,” sebutnya via WhatsApp.

Namun di sisi lain, walaupun Faizi menyukai dan merasa cocok dengan makanan Aceh. Ada juga beberapa makanan yang memang kurang cocok atau kurang pas dengan lidahnya, salah satu diantaranya ialah makanan telur kelapa goreng.

“Paling ada beberapa yang engga suka, kaya telur dadar pake kelapa,” jelasnya lagi.

Menurut Faizi yang menjadi penghambat baginya selama tinggal di Aceh bukanlah soal makanan, melainkan dari segi kondisi sosial.

Karena memang culutre di Banten dan Aceh ini jelas berbeda. Perbedaan dari sifat, personal, kebiasaan, adat istiadat, budaya dan lainnya.

“Cuma berbeda budaya dan sifat pribadi,” ujar faizi.

Maka dari itu, faizi harus dapat memaksimalkan diri untuk beradaptasi ketika tinggal di kota serambi mekah ini agar culture Aceh dapat melekat di jiwanya dan kemudian akan terbiasa.

Pendapat lain datang dari Sayyeda Zahra dari Fakultas Adab dan Humaniora, ia juga mahasiswa asal Banten yang berkuliah di Universitas Islam Negeri Ar-raniry Banda Aceh.

Sayyeda Zahra mengaku tidak ada yang berbeda antara makanan Aceh dan makanan Banten, ia merasa nyaman dengan makanan-makanan yang ada di Aceh.

“Karena orang tua saya dari aceh, jadi di rumah (Banten) makanannya pun sama saja dengan disini (Aceh) jadi menurut saya sama saja,” kata Sayyeda.

Justru Sayyeda Zahra lebih merasa terhambat dengan perbedaan jadwal waktu shalat antara Aceh dan Banten.

“Jauh dari orang tua dan waktu jam shalat yang berbeda,” sebutnya.

Karena perbandingan jadwal waktu shalat antara Aceh dan Banten itu kurang lebih berbeda 1 jam. Contohnya, jadwal shalat maghrib di Banten pukul 17.55 WIB sedangkan jadwal shalat maghrib di Aceh pukul 18.50 WIB.

Maka dari itu, Sayyeda Zahra merasa terhambat dengan perbedaan jadwal shalat tersebut, namun seiring berjalannya waktu ia dapat mengadaptasikan dirinya terhadap culture shock tersebut.

Sedangkan untuk bahasa sehari-hari di Aceh, Sayyeda Zahra tidak merasa terhambat karena di lingkungan kampus dan lingkungan sekitar, umumnya menggunakan Bahasa Indonesia.

“Karena di kuliah semua pakai Bahasa Indonesia jadi tidak ada hambatan bagi saya,” sambungnya.

Selain itu, ada juga penghambat lain menurut Sayyeda Zahra. Dimana jarak antara pulau jawa dengan pulau sumatera yang sangat jauh ketika pulang kampung. Hal itu membuat dirinya merasa sedikit kesulitan.

“Biaya tiket yang mahal dan jaraknya jauh,” sebutnya.

Seperti kita ketahui, Aceh berada di ujung pulau sumatera dan Banten berada di ujung pulau jawa, sehingga membuat dirinya lebih banyak mengeluarkan biaya tiket yang lumayan mahal ketika hendak pulang kampung dari Aceh ke Banten begitupun sebaliknya.

Sebagai harapannya, pemerintah daerah dapat mengalokasikan penyaluran dana khususnya kepada para mahasiswa rantau yang sedang berjuang di negeri seberang.

Karena para mahasiswa ini sedang berjuang mencari ilmu, yang menjadi salah satu generasi untuk membawa nama baik bangsa pancasila yaitu negara Indonesia, baik di tingkat nasional maupun internasional. []

Reporter : Herman (Mag)

Editor: Saadatul Abadiah