Top Teupong Tradisi Masyarakat Aceh Menjelang Lebaran
Sumberpost.com | Aceh Utara – Top teupong (tumbuk tepung), merupakan rutinitas masyarakat Aceh yang dilakukan ketika menjelang hari lebaran. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan cita rasa kue yang lebih renyah karena tepung yang baru di tumbuk .
Top teupong, sudah menjadi tradisi masyarakat Aceh dari masa ke masa setiap menjelang lebaran Idul Fitri maupun Idul Adha.
Uniknya bagi masyarakat yang berada di pedesaan, proses top teupong dilakukan masih menggunakan alat bantu tradisional yang bernama Jingki, yang juga merupakan salah satu peninggalan budaya Aceh.
Salah satu daerah yang masih melestarikan kegiatan tradisional ini bisa ditemui di desa Mantang Mene, Kecamatan Tanah Luas, Kabupaten Aceh Utara.
Meskipun tidak semua rumah memiliki Jingki, namun mayoritas penduduk Matang Mane masih rutin melakukan top teupong menjelang lebaran.
Saat ini jumlah Jingki yang bisa dijumpai di desa Matang Mane sendiri sekitar enam buah, itu pun bisa dibilang lebih banyak dibandingkan dengan desa disekitarnya.
Hal tersebut proses top teupong menggunakan Jingki yang terkesan rumit membuat masyarakat Aceh jarang untuk melakukannya. Maka tidak heran juga sekarang lebih banyak ditekuni para lansia dibandingkan remaja, hal ini dikarenakan kepribadian para remaja sendiri yang terlalu sibuk dengan urusan mereka ataupun malas.
Sakiah, wanita berusia 40 tahun yang masih mempertahankan cara tradisional untuk menumbuk tepung, menjelaskan alasan ia masih menggunakan Jingki sebagai alat bantu menumbuk karena kualitas tepung yang dihasilkan dengan menggunakan Jingki jauh lebih bagus dari pada mesin.
“Untuk menghasilkan tepung dengan kualitas terbaik memang harus dilakukan dengan cara tradisional seperti ini, karena tepung yang dihasilkan bisa membuat beragam kue, tapi kalau misalnya saya membawa beras ke penggilingan tepung, takutnya tepung yang dihasilkan tidak bisa digunakan untuk membuat kue,” ungkapnya sembari menyaring tepung yang siap diolah menjadi aneka kue lebaran, Rabu (23/6/2022).
Namun meskipun kualitas tepung hasil dari Jingki lebih bagus, Sakiah menuturkan, saat ini ramai masyarakat lebih memilih memanfaatkan teknologi agar lebih mudah dan cepat.
“Karena menggunakan mesin itu lebih cepat, dan waktu yang dihabiskan lebih singkat, dibandingkan menggunakan jingki yang menguras energi dan menghabiskan banyak waktu,” ungkapnya.
Selain sebagai tradisi, proses top teupong dengan Jingki juga dimanfaatkan sebagian masyarakat Matang Mane sebagai mata pencaharian.
Tihajar, begitulah sapaan orang-orang bagi wanita 58 tahun ini.
Tihajar sudah lama menekuni profesinya sebagai orang top teupong tradisional, maka menjelang lebaran merupakan berkah baginya.
Namun menjelang lebaran seperti itu, ia sering kali merasakan kewalahan dengan orderan jasa menumbuk tepung. Hal tersebut karena ia diminta melakukan dua pekerjaan sekaligus menumbuk dan membuat kuenya.
“Walaupun sudah lama menekuni profesi ini, kadang kelimpungan juga, karena harus menerima pesanan kue sekaligus dengan pesanan tepungnya,” kata Tihajar saat diwawancarai Sumberpost.com.
Jumlah orderan tepung yang diterima Tihajar menjelang lebaran lebih banyak dibandingkan hari-hari biasanya. Walaupun demikian, Tihajar hanya mampu menumbuk satu kali dalam sehari, karena prosesnya yang terbilang lama dan menghabiskan waktu berjam-jam.
Harga yang ditawarkan juga beragam, mulai dari Rp 10.000 – Rp 25.000 per bambu (alat ukur beras yang digunakan masyarakat Aceh).
“Kalau misalnya tepung beras 2 bambu itu sekitar Rp 25.000, itu pun kalau saya yang mengeringkan tepungnya, kalau misalnya 1 bambu hanya Rp 10.000, yang Rp 25.000 itu sudah termasuk biaya pengeringan,” tambahnya.
Bagi sebagian orang meskipun tepung bisa diperoleh dengan mudah dipasaran, mereka tetap saja memilih menggunakan olahan tepung sendiri.
Seperti Rukiyah yang menggunakan jasa orang untuk top teupong karena ia tidak sempat melakukan sendiri.
“Terkadang saya tidak sempat untuk melakukannya sendiri apalagi prosesnya yang ribet, belum lagi tepung yang di tumbuk harus berulang kali lalu baru bisa disaring menggunakan kain, makanya saya mengupah orang lain,” tuturnya.
Bahan dasar yang digunakan untuk membuat tepung adalah beras. Tepung beras putih dan tepung beras ketan. Tepung dari hasil olahan beras tersebut memiliki kegunaan yang berbeda dalam mengolah berbagai olahan kue khas Aceh seperti timphan, keukarah (sarang burung), nyap (kue loyang), dan aneka kue khas Aceh lainnya. []
Reporter: Nurul Hidayah
Editor: Saadatul Abadiah