Nepotisme : Kanker yang Gerogoti Kepercayaan Masyarakat

Sumberpost.com | Banda Aceh – Nepotisme, bagaikan benalu yang menempel erat di tubuh demokrasi dan meritokrasi Indonesia. Praktik mementingkan keluarga dan kerabat dekat dalam pengangkatan jabatan, alih-alih berdasarkan kompetensi dan kualifikasi, bagaikan kanker yang menggerogoti fondasi keadilan dan kesetaraan.

Di berbagai sektor, dari politik hingga bisnis, nepotisme merajalela. Kursi-kursi penting diduduki bukan oleh mereka yang paling cakap dan berintegritas, melainkan oleh mereka yang memiliki koneksi darah atau kedekatan personal dengan penguasa. Hal ini menciptakan jurang ketidakadilan yang lebar, merampas hak dan peluang bagi rakyat yang kompeten namun terpinggirkan.

Tak jarang, dinasti politik terjadi di mana anak, menantu, atau kerabat dekat pejabat tinggi menduduki jabatan politik penting tanpa melalui proses seleksi yang transparan dan akuntabel. Contohnya, kasus pencalonan anak perempuan mantan Presiden Soeharto, Tutut Soeharto, sebagai calon presiden pada tahun 2004, yang menuai kecaman publik karena dianggap sebagai bentuk nepotisme.

Sudah banyak pemberitaan yang mengabarkan bahwa praktik nepotisme telah kembali dilakukan oleh penguasa tertinggi di negara ini. Awalnya hanya anak pertama yang diberikan kekuasaan dinasti, namun sekarang sang adik dan keponakan pun akan diberikan golden tiket untuk menjadi pemimpin.

Hal ini juga bisa akan berdampak pada lapangan pekerjaan yang mana saat ini sedang sulitnya mencari pekerjaan. Namun disaat ada lowongan kerja disitulah para nepotisme ini bermain dan merugikan orang lain.

Bahkan dalam lingkungan bisnis, perusahaan milik keluarga (konglomerat) mengangkat anggota keluarga mereka sebagai direksi tanpa mempertimbangkan kualifikasi dan pengalaman yang dibutuhkan. Hal ini dikhawatirkan dapat menghambat kinerja perusahaan dan merugikan pemegang saham.

Dampak nepotisme tak hanya merugikan individu, tapi juga bangsa secara keseluruhan. Kurangnya profesionalisme dan akuntabilitas dalam instansi pemerintahan dan perusahaan akibat nepotisme menghambat kemajuan dan mengikis kepercayaan publik. Demokrasi pun tercoreng, diwarnai politik dinasti dan oligarki yang menindas suara rakyat.

Memerangi nepotisme membutuhkan upaya kolektif dan berkelanjutan. Diperlukan regulasi yang tegas dan transparan dalam proses rekrutmen dan penempatan jabatan. Penegakan hukum yang konsisten dan tanpa pandang bulu juga menjadi kunci.

Namun, regulasi dan hukum tak cukup. Kita, sebagai masyarakat, perlu berani menyuarakan penolakan terhadap nepotisme. Budaya nepotisme harus diubah dengan menjunjung tinggi meritokrasi dan profesionalisme.

Selain regulasi, penegakan hukum, dan edukasi, terdapat beberapa solusi alternatif yang dapat diupayakan untuk memerangi nepotisme di Indonesia. Salah satunya adalah membangun budaya whistleblowing yang aman dan terlindungi bagi para pegawai yang ingin melaporkan praktik nepotisme di tempat kerja.

Kita juga dapat melakukan membentuk organisasi masyarakat sipil yang fokus pada pemberantasan nepotisme. Dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya nepotisme dan mendorong partisipasi aktif dalam upaya pemberantasannya.

Pendidikan anti-nepotisme pun perlu digalakkan. Kita harus menanamkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan sejak dini, mendidik generasi muda untuk berkompetisi secara sehat dan menghargai kompetensi.

Melawan nepotisme adalah perjuangan panjang. Tapi, dengan tekad dan komitmen bersama, kita bisa membangun Indonesia yang adil dan meritokratis, di mana kesempatan terbuka bagi semua, bukan hanya segelintir elit yang berkuasa.

Bersama, kita ciptakan Indonesia yang bebas dari nepotisme, di mana prestasi dan dedikasi dihargai, dan keadilan ditegakkan.[]

Penulis : Azharil Hidayat