Staf Khusus Wakil Presiden RI: Moderasi Agama Hadir untuk Mencegah Terorisme

Sumberpost.com | Banda Aceh – Moderasi beragama menjadi salah satu isu penting di dunia islam sebagai respon terhadap pengeboman World Trade Center (WTC) 2021 silam, para tokoh islam serta pemerintah memberikan respon bahwasanya tindakan yang dilakukan oleh sekelompok ekstrem tersebut bukanlah berasal dari ajaran islam, hal ini dituturkan oleh Masykuri Abdillah, selaku staf khusus wakil presiden RI yang menjadi narasumber pada forum moderasi beragama yang yang berlangsung di gedung teater Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Jumat (18/07/2024).

Masykuri mengatakan, moderasi agama menjadi pogram Kementrian Agama pada 2018 silam, sebagai respon dari munculnya kelompok ekstrem yang memahami Islam secara radikal.

“Kelompok yang memahami Islam secara radikal ada dimana-mana, kelompok ekstrem menganggap kebenaran hanyalah milik mereka, kelompok yang memiliki pemahaman bertentangan dengan mereka akan dimusuhi, jika aksi mereka dilakukan dengan kekerasan maka akan menjadi terorisme,” ujarnya pada forum ini.

Ia mengungkapkan moderasi beragama kurang dapat di terima dikalangan masyarakat lantaran sejarahnya berasal dari Amerika. Padahal, di dalam Islam dikenal dengan sebutan wasathiyah.

“Moderasi beragama hadir untuk merespon dan mencegah gerakan-gerakan terorisme,” lanjutnya.

Lebih lanjut, Masykuri menerangkan ada tiga konteks yang perlu dipahami dalam moderasi bergama:

1.⁠ Konteks dengan manusia itu berdasakan dengan prinsip toleransi dan menghargai perbedaan.
2.⁠ ⁠Bisa menerima sistem negera, termasuk idologi negara.
3.⁠ ⁠Penerimaan modernisasi dan budaya lokal yang tidak bertentangan dengan budaya lokal.

Dalam hal ini, Masykuri menegaskan, moderasi beragama bukanlah menggabungkan antar agama.

“Moderasi beragama merujuk pada Qur’an Surat Al-Kafirun ayat 6, bagimu agamu dan bagiku agamaku,” katanya.

Sejalan dengan hal tersebut, Faisal Ali selaku ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh yang turut menjadi narasumber pada forum ini mengungkapkan hal yang sama. Ia berpendapat bahwasanya masalah yang muncul merupakan akibat dari keberpalingan masyarakat terhadap peninggalan ulama terdahulu.

“Saya melihat problem-problem yang muncul kekinian, baik itu bersifat liberal bahkan radikal itu karena kita sudah meninggalkan Turats yang ditinggalkan oleh ulama,” tuturnya.

Ia mengungkapkan masyarakat saat ini cenderung mengikuti tafsir dan kajian yang melepaskan diri dari kajian ulama terdahulu.

“Coba kita kembali pada turats ulama. Contohnya, tidak ada landasan aqidah yang membenarkan memberontak kepada pemerintah yang sah,“ kata Faisal.

Dalam hal ini, Faisal mengungkapkan beberapa tahun silam, Nahdatul Ulama (NU) mengalami musibah yang cukup besar, dimana Gusdur diturunkan. NU hanya melawan sebelum kejadian penurunan tersebut. namun setelah Gusdur berhasil diturunkan, semua ulama NU tidak memberontak dan menerima keputusan tersebut. Hal ini karena keilmuan turats yang diwariskan oleh ulama kita tidak boleh memberontak dengan pemerintah yang sah.

“Jika kita kembali kepada turats, insyaallah moderasi akan terwujud,” ujarnya.

Faisal menerangkan menghargai Aceh sebagai daerah pelaksana syariat islam adalah bentuk moderasi beragama. Jika pemerintah pusat tidak mengakui kearifan Aceh sama saja tidak mengamalkan moderasi beragama.

“Melalui undang-undang 44 tahun 1999, bahwa kita Aceh diberikan keleluasaan dalam memformalitaskan syariat islam dalam pemerintahan. Sesuatu yang menentang semangat syariat Islam yang ada di Aceh berarti melanggar undang-undang tersebut,” pungkasnya. []

Reporter: Rauzatul Jannah