Fenomena KDRT dalam Belenggu Patriarki

Sumberpost.com | Banda Aceh – Berdasarkan Survey Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2021 yang dilakukan oleh Kementrian Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) menyebutkan, 1 dari 4 perempuan dengan rentang usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan dalam hidupnya. Dan berdasarkan Survey Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) menyebutkan, 4 dari 10 anak perempuan dan 3 dari 10 anak laki-laki pernah mengalami kekerasan, dimana tingkat kekerasan yang tinggi terjadi di perkotaan.

Kasus kekerasan terhadap perempuan di Aceh sempat turun saat covid. Namun, di tahun-tahun selanjutnya terus meningkat, hal ini dituturkan langsung oleh Tiara Sutari selaku Pelaksana Tugas (Plt). Kepala bidang perlindungan perempuan dan anak DP3A Aceh melakukan diskusi kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalisme Independen (AJI), jumat, (30/08/2024).

“Di tahun 2024, dalam rentang januari hingga juni, terlapor 550 kasus,” ujar Tiara.

Namun, ini hanya yang terlihat di permukaan. Saat korban tidak berani melapor, sebenarnya yang hilang ialah hak pemulihan bagi korban. Salah satu faktor penting yang menimbulkan KDRT secara global ialah budaya patriarki yang begitu kental. Dimana memposisikan laki-laki sebagai raja. Padahal, dalam Islam mengajarkan bahwa suami dan istri memiliki peran yang sama dalam rumah tangga.

“Namun jika kita lihat fenomena sekarang, bapak-bapak muda dengan kisaran umur 30 sepertinya sudah terbentuk sikap untuk membantu istrinya, berbeda dengan kisaran umur 40 yang masih mempertahankan patriarki dalam rumah tangga,” ujar Tiara.

Perlu kita pahami bersama, KDRT tidak hanya merenggut korban perempuan, tetapi juga anak. KDRT juga harus dipahami sebagai seluruh kekerasan yang terjadi di dalam rumah, termasuk bagaimana tuan rumah memperlakukan Asisten Rumah Tangga (ART), menantu, mertua, ipar.

“Terkadang, masyarakat belum mengerti bentuk kekerasan itu apa saja. Jadi DP3A terus berupaya mengedukasi masyarakat. Kita juga dorong adanya alokasi anggaran gampong untuk isu perlindungan perempuan dan anak,” papar tiara.

Dalam hal ini, perlu dipahami bahwa ada beberapa bentuk kekerasan terhadap anak, diantaranya Kekerasan psikis,Kekerasan fisik, Pelecehan seksual, Sexual (incess), Sodomi, Trafficking, Penelantaran, Ekploitasi ekonomi, Eksploitasi seksual, KDRT, Pemerkosaan, Anak berhadapan dengan hukum (ABH), Hak asuh anak.

Dan beberapa kekerasan hidup terhadap perempuan meliputi diantaranya KDRT, Kekerasan fisik, kekerasan psikis, Penelantaran, Pemerkosaan, Seksual, Trafficking, Eksploitasi seksual.

Di saat yang bersamaan, Siti Farahsyah Addurunnafis selaku pengabdi bantuan hukum di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Aceh juga turut memberikan pandangannya terkait isu ini. Menurutnya, isu KDRT harus senantiasa digaungkan setiap hari.

“KDRT terus menjatuhkan korban, tanpa mengenal strata. Bahkan, banyak yang tidak menyadari telah menjadi korban KDRT. Contohnya, parenting jaman dahulu itu jauh berbeda dengan ilmu parenting saat ini,” ujar Farah.

Fenomena kekerasan terhadap perempuan dan anak bagai gunung es, dimana hanya sedikit yang terlihat di permukaan dan ditindak lanjuti. Selebihnya, banyak kasus yang belum terlaporkan. Sejak kasus kekerasan seksual diberitakan di berbagai media massa dan sosial, positifnya masyarakat semakin melek akan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Sehingga, keberanian muncul untuk melapor dan bersuara

“Fenomena gunung es itu akan selalu terjadi, karena untuk korban melapor butuh berbagai pertimbangan. Banyak pelaku yang tidak bisa dijerat karena sampai saat ini korban masih beranggapan kasus KDRT itu aib,”kata Farah.

KDRT di Aceh tidak terlepas dari adanya sistem patriarki yang kental dan anggapan bahwa semua perempuan merupakan objek bisa diperlukan semena-mena. Sistem patriarki membuat perempuan menjadi subordinat, dalam artian tunduk pada otoritas yang lebih tinggi yang dalam hal ini diartikan sebagai suami.

“Sejauh ini, bentuk kekerasan yang kerap ditangani LBH yaitu KDRT dan kekerasan seksual terhadap anak. Kasus kekerasan seksual di Aceh rata-rata dilakukan oleh orang terdekat, kekerasan seksual berakar dari KDRT. Dimana, KDRT itu korbannya pasti ganda,”ungkap Farah.

Dalam hal ini, LBH memiliki 3 mekanisme dalam menangani kasus diantaranya :

  1. Laporan langsung dari korban
  2. Mitra yang berjejaring dengan LBH
  3. Jemput bola, dimana ketika mengetahui salah satu kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak lebih sendiri yang mendatangi Tempat Kejadian Perkara (TKP).[]

Reporter: Rauzatul Jannah
Editor: Anzelia Anggrahini