Yang Luput dari Pandangan, Sebuah Kisah Dibalik Semarak Sampah PBAK 2024

Sumberpost.com|Banda Aceh – Semarak sampah di depan Auditorim Ali Hasyimi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry sore itu memang tak elok dipandang seusai kegiatan Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK). Sampah berhamburan, tergeletak di halaman Auditorium. Hembusan angin kala itu tidak terlalu kencang, hingga hanya beberapa sampah ringan berterbangan tipis.

Benda berwarna warni itu bak ditinggal tuannya pergi. Tergelatak beramai-ramai tanpa pemilik seolah tidak pernah berguna. Sayup-sayup, langkah kaki gerombolan Mahasiswa baru (Maba) terdengar semakin menjauh. Pantas saja, kegiatan hari itu telah usai.

Tepat di sebelah parkiran yang terletak di gedung Auditorium, terdapat dua bak sampah besar, Isinya tampak penuh hingga menjorok ke bagian luar. Disana, sepasang suami istri tanpak ligat bekerja memunguti botol dan kardus seolah dikejar oleh waktu magrib. Kecepatan tangannya mengabarkan bahwasannya ada target yang harus di capai di sore itu.

Tangan kanannya, ditemani satu bilah silet sibuk melucutkan label dari botol-botol disana. Kurang dari satu detik, goresan silet berhasil melepaskan setiap label pada botol. Mata mereka tajam bak mampu menyenter target dalam sekejap. Tampaknya, tak ada satu botol dan kardus pun yang bisa lolos dari pandangan mereka. 

Dari parkiran Auditorium, aku menimbang-nimbang untuk menghampiri mereka. Pikirku, mereka ligat bekerja karena ingin cepat-cepat pulang. Namun, sepertinya kali ini badanku mengalahkan pikiran. Langkahku pasti, sedikit demi sedikit menghampiri mereka.

“Permisi, maaf mengganggu pekerjaannya, apakah ibu dan bapak hanya mencari botol dan kardus saja. Saya mau bilang kalau di halaman depan Auditorium banyak kardus,” ujarku memberitahukan mereka.

Rasa takut karena telah mengganggu pekerjaan mereka masih menghantui pikiranku hingga detik itu dan benar saja, pekerjaan mereka terhenti lalu mereka menatapku heran. Dari tumpukan sampah disana, seorang perempuan paruh baya mendekatiku perlahan. “Iya” jawab perempuan itu, masih dengan raut heran.Tak mau kehilangan kesempatan, aku langsung bertanya.

“Ibu selalu, mengambil sampah disini ya?,” tanyaku barusan membuka percakapan santai kami di sore itu.

“Iya, kami setiap hari disini. Ambil-ambil botol, sampah aqua gelas dan kardus disini, selalu disini,” jawab mereka sambil mengerjakan pekerjaannya.

Aku kembali memberikan informasi bahwasannya, tepat di depan gedung Auditorium Ali Hasyimi terdapat banyak kardus dan botol.

“Iya dek, disana banyak,” ujar laki-laki paruh baya yang setuju dengan perkataan ku barusan. Tak lama dari itu, pria paruh baya itu menghampiri kami.

“Nanti ya dek kami ambil disana, kami bereskan sampah yang ada di sini dulu,” ujar perempuan paruh baya itu, Nurjannah namanya.

Aku kembali bertanya ” Ibu sudah lama ya disini,”

“Udah lama, tiap hari disini. Sudah beberapa tahun. Kalau gak ada acarapun kami kesini, tiap hari kami disini. Kalau lagi acara seperti ini dapat banyak,” ujarnya.

Saat itu, kami sudah berdiri berhadap-hadapan bagai posisi orang yang sedang berdiskusi. Perasaan memang tak enak, karena menganggu mereka bekerja. Namun, tanpaknya mereka rasa penasaranku dengan tangan terbuka.

“Kalo acara besar seperti ini memang dapatnya sampai berton-ton ya pak,” tanyaku melantur.

Pertanyaan ini langsung mendapat gelengan kepala sekaligus lambaian tangan dari sepasang suami istri didepanku.

“Oh enggak dek, kalau acara besar seperti ini kami dapat sekitar dua karung ini. Bersihnya sekitar 5 kilo, paling tinggi 10 kilo,” ujar lelaki paruh baya bernama Amiruddin menunjuk karung putih berukuran besar di becaknya.

Ternyata, proses menukarkan sampah dengan uang tidak sesedarhana itu. Pak Amiruddin mengungkapkan semua sampah yang mereka kumpulkan harus dibersihkan terlebih dahulu. Label pada sampah botol gelas harus di buang terlebih dahulu. Botol dan tutupnya pun harus dipisahkan di tempat yang berbeda.

“Lama dek kerjanya, harus kami simpan dulu untuk bersihkan ini. Setelah itu baru kami jual di tempat sampah,” ujar Amir.

Meskipun telah lama bekerja memilih dan memilah sampah, Amir dan Nurjannah tetap konsisten memakai masker saat bekerja. Hal ini dilakukan agar bau sampah tidak terlalu tercium.

Sampah tak selalu dapat di artikan sebagai barang yang tak bernilai. Di Tanah Serambi Mekkah ini, masih banyak masyarakat yang menjadikan sampah sebagai sumber penghasilan untuk menyambung hidup di esok hari. Banyaknya sampah, sisa acara PBAK 2024 ternyata membawa kebahagian bagi sepasang suami istri yang berdomisili di Darussalam ini.

“Senang kalo banyak sampah gini, kerja lain pun kami tidak bisa. Jadi lebih banyak pendapatan. Sampai 80 ribu. Kalau lagi tidak ada acara, paling dapat 20 ribu. Walaupun begitu yang penting kerja halal, dari pada mencuri,” tutur Amir.

Senangnya lagi, ternyata tidak semua orang dapat mengambil sampah di UIN Ar-Raniry. Ternyata Amir dan Nurjannah telah mendapat izin dari satpam dan pengelola untuk dapat mengambil sampah setiap harinya .

“Malahan kami boleh ambil semua sampah yang ada di UIN. Kalau becak lain diberhentikan di pos satpam, karena waktu itu UIN pernah kehilangan besi. Cuma kami yang boleh masuk, makanya di becak kami ada logo UIN,” ujar Amir sambil menunjuk logo UIN di spanduk yang tertempel sempurna pada becaknya dengan bangga.

Ternyata, awal mula Amir diberikan izin untuk mengambil sampah di lingkup UIN karena keikhlasan hatinya dalam membantu seseorang yang tidak dikenalnya untuk membawa kursi ke UIN Ar-Raniry.

“Waktu itu hari jumat, jadi ada yang minta bantu untuk bawa kursi ke UIN. Sayang ibu itu ditinggalkan pick-up di persimpangan. Jadi saya bantu bawa kursi ke UIN mengunakan becak saya. Sesampainya disini, saya juga bantu angkat kursi itu ke lantai 2,” papar Amir.

Saat hendak pulang di hari itu, Amir melihat tumpukan kardus disana. Ia pun meminta izin untuk mengambil kardus tersebut. Semenjak saat itu, Amir diberikan izin untuk mengambil sampah di UIN.

“Ternyata, ibu yang saya bantu itu bos. Tapi saya gak ingat lagi orangnya. Sudah 3 tahun yang lalu,” ujar Amir.

Diskusi kami disore itu begitu alot, Amir dan istrinya banyak menceritakan pengalaman mereka saat mengambil sampah di UIN. Hingga cerita merembet ke anakAmiruddin yang ternyata dahulu sempat kuliah di UIN Ar-Raniry untuk beberapa semester. Namun, karena kendala biaya, anak Amir harus berhenti kuliah dan berkerja hingga sekarang.

“Dulu anak saya disini juga kuliah. Tapi berhenti, karena saya ga punya biaya. Sekarang dia kerja di suatu toko pakaian di Banda Aceh,” pungkas Amiruddin.[]

Reporter: Rauzatul jannah
Editor: Anzelia Anggrahini