Literasi dan Zaman

Sumberpost.com | Banda Aceh – Keriput di wajahnya mulai terukir, sudah 15 tahun lamanya ia mendongeng di Perpustakaan Soeman HS . Ditemani Tanjau Melayu, Dahrial Iskandar terus mengumandangkan dongeng di depan puluhan anak TK Nurul Anwar. Suaranya sesekali berubah ubah. Tanda boneka di tangannya berbicara. Binaran mata terpancar jelas ke arah Dahrial. Bola mata mereka sesekali bergerak ke arah Dadang dan bonekanya.

Meriah tepuk tangan menggema di ruang baca anak, tempat Dahrial menceritakan kisah penuh makna. Usai melakukan itu, tangan Dahrial menarik pelan resleting ransel hitam miliknya. Perlahan tangan dadang meletakkan teman berdongengnya ke dalam tas. Benda lembut itu lalu kembali dibungkus dalam balutan tas.

“Terima kasih, Kak Dadang,” ujar anak-anak serentak, suara mereka yang memenuhi ruangan.

‘Dadang Dongeng’ nama panggungnya. Ia melambaikan tangannya dan beranjak dari kursi kecil. Usai mendengarkan cerita, anak-anak langsung berhamburan menyerbu buku di rak ruang baca anak. Telunjuk kecil mereka mulai mengarah pada gambar-gambar yang tertera di sana.Tak berjangka lama, jari jemari mungil membuka dan menutup satu per satu buku-buku yang tersusun rapi.

“Kami menerima permintaan sekolah untuk dibacakan dongeng. Dua peserta yang mendengarkan pun tak masalah,” kata Dadang.

Dadang menghela napas miris. Anak-anak sekarang tidak memperoleh kedekatan dengan orang tua. Dahulu, ia selalu dibacakan dongeng oleh nenek sebelum tidur. Kesibukan orang tua yang menjadi musuhnya. Gawai yang menjadi tumbalnya.Padahal, dongeng merupakan langkah awal untuk mengenalkan anak pada buku dan literasi. Juga melatih keseimbangan otak kiri dan kanan. Saat mendengar dongeng, anak-anak akan diajak untuk berfantasi.

“Ada makna-makna terselip di balik dongeng,” katanya.

Alasan ini yang membawa Dadang menjadi pendongeng andal sejak muda. Ia mengikuti pelatihan pustakawan di Surabaya. Setelah mengetahui di sana telah menerapkan membaca dongeng puluhan tahun, Dadang kembali percaya. Ada harapan, anak-anak memperoleh fantasi dan makna dari sebuah kisah dongeng.

“Dongeng itu tidak harus dibaca oleh orang tua, guru juga dapat membacakan ini di sela-sela kelas,” ucap Dadang.

“Ucapkan terima kasih pada Kak Dadang,” ujar wanita paruh baya berhijab hijau itu.

Ia Badriyah, kepala TK Nurul Anwar. Suara itu sukses mengalihkan pandangan Dadang. Senyuman terukir di wajahnya. Tangannya meraih satu persatu anak yang berbaris didekatnya. Sesekali tangannya membelai pelan kepala anak-anak itu.

“Teman-teman, tidak ke jalan,” kata Badriyah dengan nada rendah.

Tak lama, anak yang tadinya berjalan ke tangga halaman perpustakaan kembali ke barisan. Langkah-langkah kecil menyusuri teras dan berlabuh pada teras belakang perpustakaan. Ditemani pemandangan pepohonan, Badriyah memimpin doa.“Aamiin,” serentak mereka.

Satu per-satu kotak bekal terbuka dan disantap oleh tuannya. Gelak tawa kembali menghiasi suasana saat saus menjorok ke luar mulut salah-satunya dan dengan sigap Badriyah menyapunya dengan sapu tangan.

“Ibu, dia mengambil nasinya yang jatuh lalu memakannya,” celetuk salah satu anak.

Badriyah tersenyum “Jangan dimakan lagi, ya nak,” ujarnya ditambah senyum lembutnya.

Kunjungan ke perpustakaan merupakan puncak dari tema yang mereka pelajari bulan ini. Anak-anak selalu belajar di lingkungan sekolah. Kunjungan ini bertujuan melatih kemandirian dan keberanian anak untuk keluar dari zona nyaman.

“Kita ke sini menggunakan angkot, tapi angkot itu mulai punah di sini. Kita harus mengenalkan pada anak-anak bahwasannya kendaraan itu merupakan kearifan lokal Riau,” ujar Badriyah.

Selain mengenalkan literasi, Badriyah menginginkan generasi penerus mengenal hal-hal yang mulai punah di tanah Melayu ini. Meskipun harus dipadukan dengan syariat. Contohnya tarian Melayu yang mengenakan pakaian adat yang tidak berjilbab tetapi di TK Nurul Anwar, anak-anak diwajibkan memakai jilbab saat mereka tampil.[]

Reporter : Rauzatul Jannah

Editor : Anzelia Anggrahini