Aceh Bisa Berlari, Tapi Tangan dan Kaki Diikat
Sumberpost.com | Banda Aceh – Adzan magrib bersahutan antara satu mesjid dengan mesjid lain. Suara jangkrik dari tanah kosong di sebelah juga demikian. Matahari hampir tenggelam, sisa-sisa cahaya temaram menerangi sebuah tempat beratap daun kelapa kering. Dindingnya bertuliskan harapan orang-orang hebat untuk Aceh.Sesekali, angin menyentuh lembut belasan orang yang duduk berdekatan menghadap deretan meja yang disusun rapi di tempat itu. Pantas saja, hari mulai berganti malam. sesekali, tangan-tangan mereka mengambil beberapa cemilan yang tersedia di meja berwarna coklat itu. Disusul dengan meneguk segelas kopi hitam.
Lampu kuning di selimuti jaring-jaring daun kelapa menggantung di setiap sudut meja. Perlahan, cahayanya semakin jelas menerangi belasan orang disana. Mata mereka tertuju pada tiga orang tamu dari negara sebelah.
“Kenapa Indonesia maju, tapi yang kaya sedikit. Sedangkan masyarakat miskin nya ramai. Saya lihat, karyawan airport menggunakan inova. Sedihnya, ada anak-anak kita di Aceh besar bahkan tidak mampu makan. Mengapa bisa seperti ini, karena yang di atas menekan kamu semua jangan pintar. Tapi saya hadir kesini, saya ingin kita harus pintar untuk ubah suatu bangsa,” ujar pria bertopi hitam tersebut.
Pandanganya silih berganti menatap rekan diskusi disana.Suasana tiba-tiba sunyi menyisakan helaan nafas peserta diskusi, Beberapa detik berlalu begitu saja. Perkataan datok barusan membenarkan peristiwa yang ada di daerah Aceh.
“Kita harus jujur dengan diri sendiri, kemana kita harus bawa bangsa Aceh ini. Saya jatuh cinta dengan pulau Aceh. Pesona alam yang begitu luar biasa, harus dikelola dan dimajukan lagi. Infrastuktur itu penting,” tegasnya.
Tatapannya yakin, ia percaya, mereka yang berada di bawah atap yang sama pada saat magrib itu, bisa mengubah Aceh.Pria betopi hitam itu kerap disapa Datok Khairil Muzamil, pria beralis tebal pemilik SEMUAPAY DIGITAL PLT, sebuah aplikasi yang berdetak di negeri jiran.
“Kuliner Aceh oke, saya suka mie bangladesh, kuah beulangong, tapi tanpa ganja,” kelakarnya dalam diskusi.
Tawaan kecil belasan orang disana mencairkan suasana.
“Aceh pintar, tapi disekat kepintarannya. Karena itu, saya masuk ke Aceh melalui aplikasi pendidikan. Niat saya jadikan Aceh A new Tokyo Indonesia melalui digital,” kata Datok.
“ Aceh bisa berlari, tapi tangan dan kaki kita di ikat. Mari, yang sedang mengikuti diskusi ini, kita buka ikatan itu,” ujarnya sungguh-sungguh, masih meyakinkan belasan orang disana.
Katanya, Dunia ini berubah mengikuti zaman. Era saat ini digital. Kita harus belajar tentang Internet Of Thing (IOT) , Artificial Intelligence( AI). Software development dan segala hal yang berbau digitalisasi.
“Saya lihat di Aceh ini rata-rata pakaiannya bagus, tapi mohon maaf, kurang mengoptimalkan pemikiranya,” katanya sambil menunjukkan telapak tangannya kedepan.
“For future, teman-teman disini harus mengubahnya mulai malam ini. Saya masuk melalui pendidikan, kita mengubah suatu bangsa harus melalui roket pendidikan. Jadi caranya, saya digitalkan pendidikan melalui aplikasi smartpay. Sekolah saat ini sudah punya cashless sistem. Pembayaran siswa bisa secara online, jadi zero korupsi,”tutupnya.
Reporter: Rauzatul Jannah
Editor : Anzelia Anggrahini