Vihara Dewi Samudra Bertetangga dengan Vihara, Gereja dan Masjid di Banda Aceh
Sumberpost.com | Banda Aceh – Aceh, sebagai satu-satunya daerah di Indonesia yang menerapkan syariat Islam. Aceh, sering dipersepsikan oleh orang luar Aceh sebagai wilayah yang tidak toleran. Hal ini muncul karena adanya anggapan bahwa syariat Islam yang diterapkan di Aceh membatasi hak-hak umat non-Muslim. Namun pada kenyataannya, pemberlakuan syariat Islam hanya berlaku bagi umat Islam dan tidak berlaku bagi umat non-Muslim.
Selain persepsi tentang syariat islam yang keliru hingga membuat Aceh dianggap intoleran, fakta sebaliknya menggambarkan toleransi di Banda Aceh melalui keberadaan rumah ibadah yang letaknya berdekatan. Contohnya, Vihara Dewi Samudra yang beralamat di Jl. Pucot Baren, Kampung Mulia, Banda Aceh. Vihara ini bertetangga dengan Vihara Maitri, Vihara Sakyamuni, GPIB (Gereja Protestan Indonesia Barat) Banda Aceh, dan GMI (Gereja Methodist Indonesia) Banda Aceh. Selain itu, lokasinya juga dekat dengan Masjid Babuzamzam dan Masjid Al-Anshar di Kampung Mulia.
Toni Lu, Wakil Ketua Yayasan Vihara Dewi Samudra, menceritakan sejarah vihara tersebut.
“Vihara Dewi Samudra dibangun pada tahun 1993 di atas lahan seluas sekitar 300-400 meter persegi. Proses pembangunannya didukung oleh dana dari yayasan, umat Buddha, dan masyarakat sekitar, termasuk umat Muslim. Sebelum pindah ke lokasi saat ini, vihara tersebut awalnya berada di area yang kini menjadi Gereja GPIB dan perpindahannya dilakukan melalui proses tukar tanah. Sebelumnya lagi, vihara ini pernah terletak di kawasan Ulee Lheue, meskipun informasi mengenai keberadaannya pada masa itu tidak terdokumentasi dengan jelas,” ujar Toni dalam wawancara pada 17 Oktober 2024 di salah satu warung kopi di Banda Aceh.
Vihara Dewi Samudra memiliki satu lantai dan mampu menampung sekitar 100 umat Buddha untuk beribadah. Mayoritas umat yang beribadah di vihara ini berasal dari suku Hainan. Toni Lu menjelaskan tentang keberadaan suku Hainan di Banda Aceh.
“Suku Hainan berasal dari Hainan, provinsi paling selatan dan terkecil di Tiongkok. Saat ini, jumlah penduduk suku Hainan di Banda Aceh hanya sekitar 25 keluarga, dengan total sekitar 75 jiwa,” ungkap Toni.
Toni juga menyampaikan selain didominasi oleh suku Hainan, vihara ini juga terbuka bagi umat Buddha dari suku lain. Bahkan beberapa pengurus vihara berasal dari suku selain suku Hainan, seperti suku Hakka dan Hokian.
Vihara Dewi Samudra tidak memiliki Bhiksu dan pandita. Kegiatan ibadah dipimpin oleh seorang Upasika yang bernama Upasika Rita. Ibadah di vihara ini didedikasikan menyembah Dewi Mak Co, yang memiliki nama asli Tian Shang Sheng. Ia dikenal karena menjalani kehidupan sederhana dan melakukan perbuatan baik, sehingga masyarakat menyebutnya Lin San Ren, yang berarti “Lin orang baik.” Dewi Mak Co juga dipuja sebagai Dewi Laut, pelindung para pelaut, serta penjaga komunitas Tionghoa di wilayah selatan dan para imigran di Asia Tenggara. Kultus pemujaan Tian Shang Sheng Mu berkembang terutama di daerah pesisir, di mana masyarakat sangat bergantung pada kehidupan laut.
Setiap tanggal 23 Maret dalam kalender lunar, umat Buddha di Vihara tersebut merayakan ulang tahun Dewi Mak Co dengan upacara khusus. Selain dibuka untuk merayakan ulang tahun Dewi Mak Co, vihara dibuka untuk kegiatan ibadah rutin pada tanggal 1 dan 15 setiap bulan lunar. Kemudian setiap Jumat malam dan Sabtu sore, vihara ini mengadakan sekolah keagamaan. Namun, kegiatan di vihara tersebut terbatas karena belum ada penjaga tetap
Ketua Harian Vihara Dewi Samudra, Akiun, menyampaikan kondisi vihara saat berlangsungnya kegiatan ibadah.
“Walaupun berdekatan dengan masjid, gereja, dan vihara lainnya, kami tidak pernah mengalami dampak negatif. Terlebih lagi, kami merasakan suasana ibadah yang sangat nyaman,” ungkap Akiun.
Akiun juga berpesan, rasa nyaman yang diciptakan tersebut terus dijaga antar umat demi menjaga toleransi beragama di Banda Aceh. Hal serupa disampaikan Toni, yang berharap keharmonisan dapat terus terjaga di antara semua umat beragama.
“Keharmonisan yang sudah ada harus terus kita jaga bersama di Banda Aceh,” tutup Toni.
Dari Kiri ke kanan : Akiun (Ketua Harian Vihara Dewi Samudra), Toni Lu (Wakil Ketua Yayasan Vihara Dewi Samudra), dan Agamna Azka (Reporter Sumberpost).[]
Reporter : Agamna Azka
Editor : Anzelia Anggrahini