Gayo Itu Ada karena Ada Bahasanya, Gayo Itu Hilang karena Bahasanya Tidak Terdengar Lagi
Sumberpost.com | Banda Aceh – Takengon dan Bener Meriah, merupakan dua kabupaten yang ada di wilayah Aceh bagian tengah. Kabupaten Aceh Tengah, Takengon diresmikan pada 14 April 1948. Adapun kabupaten Bener Meriah yakni merupakan kabupaten muda di Provinsi Aceh.
Berdiri sejak tahun 2003, kabupaten Bener Meriah merupakan pemekaran dari pada Kabupaten Aceh Tengah. Pembentukan Kabupaten Bener Meriah berdasarkan UU No. 41 Tahun 2003 tentang pembentukan kabupaten Bener Meriah di Provinsi Aceh, diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri tanggal 7 Januari 2004.Takengon dan Bener Meriah dihuni oleh mayoritas suku Gayo.
Suku Gayo adalah suatu kelompok etnik yang mendiami dataran tinggi di provinsi Aceh. Mayoritas suku Gayo memakai bahasa tersendiri yakni berbahasa Gayo.Bahasa Gayo berbeda dengan bahasa lain, yang ada di pulau Sumatra. Bahasa ini sama tuanya dengan keberadaan orang Gayo itu sendiri di Indonesia dan tidak dapat dipisahkan keduanya.
Di Aceh, suku Gayo mendiami tiga kabupaten, yakni Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Kabupaten Gayo Lues. Suku Gayo juga mendiami beberapa desa di Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh Tamiang, Kecamatan Beutong di Kabupaten Nagan Raya dan Kecamatan Serba Jadi di Kabupaten Aceh Timur.
Kemudian, orang Gayo merupakan suku asli yang terletak di Aceh. Mereka memiliki bahasa, adat istiadat sendiri, yang membedakan identitas mereka dengan suku-suku lain yang ada di Indonesia.Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Gayo terus mengalami perubahan hingga saat ini, yakni sesuai dengan perkembangan, serta melalui perubahan dari proses zamannya.Kemudian, perubahan tersebut juga dipengaruhi dari aspek budaya, serta kebiasaan luar yang mempengaruhi ke dalam bahasa, yang seharusnya digunakan oleh masyarakat Gayo itu sendiri. Terlebih jika sudah lama tinggal diluar daerah, hal tersebut juga sangat mempengaruhi bahasa, serta adat dan budaya masyarakat Gayo yang sudah ada.
Terfokus pada bahasa, banyak sekali dari masyarakat Gayo yang didaerah perkotaan sudah sangat jarang melakukan interaksi dengan anggota keluarga menggunakan bahasa Gayo, yang merupakan bahasa indatu munyang nya sendiri.Sekarang, di perkampungan bahasa Gayo sudah mulai jarang digunakan, karena faktor masuknya pengaruh dari luar sehingga bahasa Gayo itu sudah mulai tidak terdengar lagi. Atau bisa jadi sebab malu mengakui identitas dirinya sebagai orang Gayo “Urang Gayo”.
Entahlah, yang terpenting adalah jangan sampai karena terpengaruh nya budaya dari luar, sehingga mempengaruhi adat istiadat kita yang sudah ada sejak nenek moyang.Identitas orang Gayo yang terakhir adalah pada bahasanya, hilang bahasanya maka hilang pula Gayo nya. Meskipun kita tahu bahwasanya suku Gayo memiliki banyak sekali kekayaan alam serta kearifan lokal dan kekayaan budaya, namun warisan tersebut hanya dijadikan sebagai aksi seremonial dan sebagai pelengkap identitas pelakunya. Karena, pada esensinya mereka jauh dari keluhuran nilai-nilai lokal tersebut.
Kami sangat berharap, kepada Majelis Adat Gayo (MAG), Masyarakat Dataran Tinggi Tanah Gayo, serta mahasiswa yang khususnya berasal dari Gayo, untuk selalu menjaga, kemudian melestarikan warisan adat dan budaya Gayo. Dengan melakukan berbagai macam cara yakni seperti mewajibkan atau menambah mata pelajaran bahasa daerah di tingkat SD, SMP dan SMA, dengan begitu siswa serta tenaga pengajar dapat merasakan yang kemudian akan menumbuhkan jiwa Nasionalisme ke Gayo-an nya. Kita berharap agar bahasa serta budaya ini dapat di jaga dan dilestarikan seiring dengan perkembangan teknologi global dan perkembangan zaman yang ada. []
Penulis : Aula Eswin