5 November 2024 Oleh Redaksi Sumberpost Off

2 Akademisi UIN Ar-Raniry Soroti Kondisi Kebudayaan dan Pendidikan di Aceh, Ini Respon CAWAGUB

Sumberpost.com | Banda Aceh – Melansir dari data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, Aceh dalam Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) menduduki peringkat ke-22 nasional dengan perolehan nilai 53,33.

Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Reza Idria menyebut pada perolehan nilai tersebut masih terdapat permasalahan dalam pengelolaan kebudayaan di Pemerintah Aceh.

“Ketika kita melihat indeks pembangunan kebudayaan Aceh itu, berbanding lurus dengan indeks tingkat pembangunan tradisional berada di posisi yang ke-22. Ini ada pertanyaan, ini ada masalah dengan bagaimana tata kelola kita, bagaimana cara kita untuk melihat fungsi dari nilai dan benda budaya yang dimiliki Aceh,” tuturnya ketika menjadi narasumber dalam Dialog Ke-Acehan, di Auditorium Ali Hasymi, UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Senin (04/09/2024).

Reza mengatakan kurangnya pemahaman terhadap nilai dan fungsi kebudayaan menjadi ancaman dicabutnya sebuah situs budaya yang sudah diakui, seperti tarian Saman Aceh. Ia menambahkan pengakuan dari United Nations Educational, Scientific and Cultural (UNESCO) tidak bersifat abadi, hal tersebut akan sewaktu-waktu dicabut jika tidak dikelola dengan baik.

“Apabila sampai saat ini misalnya kita tidak lagi memahami nilai dan fungsi dari saman itu di dalam masyarakat Aceh, bisa jadi pada suatu hari pengakuan UNESCO terhadap karya saman Aceh itu dicabut,” jelasnya.

Disaat yang bersamaan, Prof. Habiburrahim, menyebutkan persoalan pemerataan pendidikan di Aceh yang belum terselesaikan hingga saat ini.Data BPS Aceh yang dirilis pada 2023 lalu menunjukkan Angka Partisipasi Sekolah (APS) tingkat Sekolah Dasar (SD) secara keseluruhan menduduki angka 99%. Hal ini tak jauh berbeda dengan APS tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) menduduki 98,58 %. Namun, APS menurun pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Maka disini terjadi penurunan angka akses terhadap pendidikan hingga 20%.

“Angka 20% ini besar. Dalam artian, masih ada masyarakat Aceh yang tidak sekolah atau putus sekolah,” ujarnya.

Berangkat dari hal tersebut, Habiburrahim juga menyoroti angka melek huruf di Aceh yang belum merata.

“Masih ada beberapa daerah atau kabupaten di Aceh yang memiliki angka melek huruf yang rendah. Seperti di Aceh Jaya, Gayo Lues dan Pidie Jaya. Dalam artian tidak bisa membaca atau membutuhkan kemampuan literasi dan numerasi,” ujarnya.

Lanjutnya, merujuk pada data tersebut, Aceh masih mengalami akses pendidikan terbatas di daerah-daerah tertentu. Kualitas pendidikan Aceh sampai saat ini masih berada di 10 besar dibawah.

“Padahal Aceh adalah daerah istimewa bidang pendidikan, agama dan budaya,” katanya.

Kemudian, kata Habiburrahim, Sumber Daya Manusia (SDM) guru dan sarana pendukung pendidikan masih berbasis fisik.

“Setiap ada dana pasti menuju pada pembangunan yang bersifat tidak menyentuh pada subtansi dari pengembangan guru,” ujarnya.

Paparan masalah yang diutarakan oleh dua akademisi UIN Ar-Raniry ini mendapat respon langsung dari dua Calon Wakil Gubernur (Cawagub) yang dalam Dialog Ke-Acehan.

Muhammad Fadhil Rahmi, selaku Cawagub nomor urut 01 menyebutkan, pendidikan sangat berkaitan dengan kemiskinan.

“Buktinya tingkat kemiskinan di Banda Aceh paling rendah di Aceh, sedangkan data yang ditampilkan tadi menyebutkan Banda Aceh menduduki tingkat pendidikan paling tinggi,” katanya.

Menurut Fadhil, pendidikan itu harus menyentuh tiap darah yang ada di Aceh tanpa pengecualian.

“Idealnya, Aceh ini tidak ada diskriminasi dalam mendapatkan kesempatan pendidikan sekecil apapun. Sama kualitasnya dimanapun. Baik itu di pedalaman, di pesisir maupun di pulau. Kita yakin, dengan meningkatkannya derajat pendidikan di Aceh ini akan menyelesaikan banyak masalah,”ujarnya.

Fadhil juga menyebutkan kedepannya, tidak ada anak Aceh yang tidak menyelesaikan pendidikan di tingkat SMA.

“Jangan ada anak Aceh yang tidak menyelesaikan SMA. Kita ingin tingkat SMA untuk menyelesaikan persoalan minat bakat dari pelajar. Dimana persoalan minat dan bakat harus dirangkul dan diidentifikasi,” tutupnya.

Di saat yang bersamaan, Cawagub nomor urut 02 menyoroti informasi pendidikan yang begitu terbatas di Aceh.

“Armenia setiap tahun membuka peluang beasiswa untuk negara luar. Saat saya berkunjung kesana, hanya satu dari mereka berasal dari Aceh. Itupun informasinya didapatkan karena mahasiswa tersebut telah lama di Jakarta. Hal yang sama terjadi di Arab Saudi, Berlin dan banyak negara lain,”ujarnya.

Menurutnya, pemerintah harus andil dalam memberikan informasi beasiswa yang ada di luar negeri kepada anak-anak Aceh.

“Kita harus punya informasi yang cepat,” katanya.

Berangkat dari hal tersebut, ia juga menyoroti persoalan pemuda Aceh yang masih menganggur di negeri sendiri.

“Perusahaan besar seperti tambang, itu punya dan CSR. Dimana 2 % keuntungan perusahaan itu wajib diberikan. Dari sana, akan kita bangun sekolah vokasi kepemudaan,” pungkasnya.[]

Reporter : Rauzatul Jannah

Editor : Anzelia Anggrahini