Pelarangan “Film Pesta Oligarki” Sebuah Tindakan Pembatasan Ekspresi
Sumberpost.com | Banda Aceh – Himpunan Mahasiswa Hukum Tata Negara (HIMATARA) Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh baru-baru ini tidak di izinkan untuk memutar film di kampus UIN Ar-Raniry. Ini adalah keputusan kontroversial dengan melarang pemutaran film dokumenter Pesta Oligarki yang diproduksi oleh Watchdoc di kampus. Keputusan tersebut menimbulkan reaksi keras, terutama dari kalangan sineas,Selasa,(05/11/2024).
Davi Abdullah, seorang filmmaker/sineas independen dan jurnalis asal Aceh menyayangkan sikap kampus yang dinilai masih membatasi kebebasan ekspresi.
“Film adalah produk budaya modern yang seharusnya menjadi bagian dari ruang akademik yang bebas dan terbuka untuk berbagai kritik sosial. Pelarangan seperti ini justru menunjukkan adanya sekat-sekat dalam ruang ekspresi yang seharusnya dijaga di kampus,” ujar Davi Abdullah.
Film Pesta Oligarki yang mengangkat tema tentang pengaruh oligarki dalam sistem politik dan demokrasi di Indonesia dianggap sebagai karya yang memiliki nilai kritis tinggi, menyajikan fakta-fakta yang mengungkap hubungan antara kekuatan politik dan pengaruh oligarki. Davi, yang dikenal lewat karya-karya dokumenternya, menekankan bahwa kampus seharusnya menjadi tempat yang aman bagi film-film kritik yang bertujuan membuka mata masyarakat terhadap isu-isu penting, termasuk soal politik dan ketidakadilan.
Davi Abdullah yang baru saja menyelesaikan studi magister seni dengan karya penciptaan film dokumenter tentang eksploitasi anak di ranah budaya, tentunya memiliki pandangan spesifik tentang kebudayaan dan film.
“Hal ini memberikan saya pemahaman yang mendalam bahwa film harus diberi tempat khusus dalam kebudayaan kita. Kampus mestinya menjadi ruang yang aman untuk menyuarakan kritik melalui medium film,” tambah Davi Abdullah.
Sebagai seorang jurnalis dan pembuat film, Davi juga menegaskan pentingnya menjaga kebebasan berekspresi dalam dunia akademik.
“Ketika film seperti Pesta Oligarki dilarang, itu bukan hanya membatasi kebebasan para pembuat film, tetapi juga mahasiswa dan civitas akademika yang seharusnya diberi kebebasan untuk berpikir kritis dan mencerna informasi dari berbagai sudut pandang,” katanya.
Pelarangan ini mengundang perdebatan tentang sejauh mana kampus-kampus di Indonesia dapat menjadi ruang yang kondusif bagi pengembangan pemikiran kritis melalui karya seni dan budaya. Banyak pihak berharap agar kebijakan seperti ini dapat dipertimbangkan kembali agar tidak menghambat kebebasan berpendapat dan berekspresi di lingkungan akademik.
“saya sangat mendukung rencana HIMATARA UIN Ar-Raniry yang ingin memutarkan film tersebut. Semoga pelarangan seperti itu tidak terjadi lagi di Aceh, jika kampus tidak mengizinkan, saya memiliki ruang untuk pemutaran film, jadi bisa dimanfaatkan,”tutupnya. [Rel]