Eksistensi Partai Politik Lokal di Aceh Dalam PILKADA 2024
Sumberpost.com | Banda Aceh – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di Aceh menjadi momentum penting bagi eksistensi partai politik lokal, yang lahir dari kesepakatan Helsinki. Kesepakatan ini, ditandatangani pada 15 Agustus 2005, memberikan Aceh otonomi khusus dan hak untuk mendirikan partai lokal sebagai bagian dari proses rekonsiliasi pasca-konflik. Menciptakan ruang bagi masyarakat untuk mengekspresikan aspirasi politik mereka.
Dalam pemilihan ini, Enam partai lokal, termasuk Partai Aceh dan Partai Adil Sejahtera Aceh, berkompetisi dalam pemilu ini, mencerminkan harapan masyarakat untuk representasi yang lebih baik. Namun, tantangan seperti penurunan kepercayaan publik dan korupsi tetap mengancam keberlanjutan mereka dalam politik daerah. Dan,menunjukkan kekuatan dan tantangan yang dihadapi dalam mempertahankan relevansi di tengah persaingan dengan partai nasional.
Partai lokal di Aceh merupakan salah satu dari proses perdamaian yang terjadi setelah perdamaian konflik bersenjata yang berkepanjangan. Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki pada tahun 2005, dimana Aceh diberikan otonomi khusus yang memungkinkan pembentukan partai lokal, keberadaan partai-partai ini, seperti partai Aceh dan Partai Adil Sejahtera(PAS)mencerminkan masyarakat untuk memiliki representasi politik yang lebih sesuai dengan identitas dan aspirasi lokal mereka.
Penduduk lokal di Aceh dapat membentuk partai politik lokal di Aceh, Partai Lokal atau Parlok didirikan oleh sekurang-kurangnya 50 orang Warga Negara Indonesia (WNI) yang berusia 21 tahun dan berdomisili tetap di Aceh dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%(ps 75 ayat 2).
Parlok bukanlah hadiah dari pemerintahan Indonesia,tetapi buah dari perdamaian. Pemilu Indonesia pertama tahun 1955 diikuti oleh partai politik berbasis kedaerahan seperti Partai Rakyat Desa, Partai Rakyat Indonesia Merdeka, Gerakan Pilihan Sunda, Partai Tani Indonesia, Gerakan Banten di Jawa Barat, Partai Gerinda di Yogyakarta dan Partai Persatuan Dayak di Kalimantan Barat. Bahkan pembentukan Partai Persatuan Dayak menunjukkan semangat etno-sentrisme yang dalam praktiknya tidak membahayakan. Kehadiran parlok di Aceh juga membuat rekrutmen politik menjadi isu yang signifikan hadirnya Parlok di Aceh yang dimanfaatkan langsung oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada Pemilu 2006.
Parlok mendominasi suara di beberapa daerah dengan menguasai kursi. Ada 20 parlok yang deklarasi, tapi hanya 12 parlok yang daftar ke KIP, hingga pada akhirnya hanya 6 partai yang mengikuti Pemilu. Pada awal pembentukan memiliki 266 suara di DPRK atau 40% partai lokal, kini menurun menjadi hanya 160 kursi. Dimana kehilangan 100 kursi di DPR. Kegagalan ini disebabkan oleh masalah internal manajemen dan kurangnya dukungan masyarakat, terutama di Aceh. Minimnya dukungan dari warga Aceh terhadap Parlok menunjukkan perlunya fokus yang lebih besar pada parlok dibandingkan Partai Nasional (Parnas).
Penurunan perolehan kursi parlok dalam pemilu terakhir mencerminkan krisis kepercayaan masyarakat, di mana banyak partai lokal memainkan peran penting dalam memengaruhi kebijakan nasional. Dengan demikian, keberadaan partai lokal memperkaya dinamika politik dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil mencerminkan kebutuhan masyarakat setempat merasa partai lokal tidak memenuhi aspirasi mereka. Oleh karena itu, warga Aceh seharusnya mendukung parlok yang lebih memahami kebutuhan lokal dan berkomitmen untuk memperjuangkan kepentingan rakyat Aceh, agar dapat kembali berperan dalam pembangunan daerah.
Untuk Pilkada 2024, partai lokal masih memiliki peluang untuk memperbaiki citra dan meraih dukungan publik,mari sama-sama kita kawal pilkada 2024 semoga melahirkan pemimpin yang lebih baik dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Dalam konteks ini, penting bagi warga Aceh untuk aktif mengawasi proses pemilihan, memastikan transparansi dan mendukung calon yang memiliki visi untuk kemajuan daerah.
Persaingan antara calon gubernur, seperti Muzakir Manaf dan Bustami Hamzah, menunjukkan dinamika politik yang menarik, dengan partai lokal yang memainkan peran kunci dalam menentukan arah kebijakan Aceh ke depan. Dapat kita lihat di era sekarang, banyak masyarakat bahkan mahasiswa masih tidak peka terhadap isu politik yang ada di Aceh, padahal betapa pentingnya pendidikan bagi masyarakat perihal calon, namun persaingan sering terjadi antar parlok yang memunculkan konflik, penyebabnya karena kurang pengetahuan anggota legislatif dalam menjalankan persaingan politik yang sehat. Konflik antar parlok dan tidak ada inisiatif membangun hubungan yang baik antar parlok.
Kita sebagai calon politisi muda kedepannya diharuskan peka dan jeli terhadap isu politik di daerah, terutama menjelang Pilkada 2024. Pemuda memiliki peran krusial dan dapat menjadi agen perubahan dengan menyuarakan aspirasi masyarakat. Mereka harus aktif terlibat dalam diskusi politik dan memahami kebutuhan pemilih muda, yang kini mencakup lebih dari 55% suara. Dengan mengedepankan ide-ide segar dan berani menolak praktik politik yang tidak etis, politisi muda dapat membawa perubahan positif dalam sistem politik Indonesia. []
Penulis : Ella Tursina