Pameran Musik Bredelan Masa Konflik Jadi Media Memorialisasi Anak Muda

Sumberpost.com | Banda Aceh – Dalam upaya memorilisasi anak muda melalui karya-karya musik lokal, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh menggelar diskusi dan pameran musik lokal. Acara ini berfokus pada upaya menghidupkan kembali memori kolektif masyarakat Aceh terhadap peristiwa masa lalu dan diadakan di Pelataran KontraS Aceh, Lamlagang pada Selasa, (10/12/2024).

Kurator acara, Rino Abonita, menjelaskan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk mendokumentasikan kembali sejarah melalui seni musik dan menjaga warisan sejarah agar dapat terus dikenang dan menjadi pelajaran bagi generasi mendatang.

“Lagu memiliki daya tarik yang lebih populer dibandingkan laporan tertulis. Hal ini membuatnya lebih mudah diakses oleh masyarakat, khususnya generasi muda,” ujar Rino.

Pameran ini menampilkan sejumlah lagu dari periode 1989 hingga 2003, masa yang ditandai oleh konflik bersenjata di Aceh. Salah satu lagu yang diangkat adalah “Ie Mata Janda” karya Nur Hasanah Tala, yang mengisahkan perjuangan seorang perempuan yang kehilangan suaminya akibat operasi militer. Lagu ini menggambarkan bagaimana perempuan tersebut harus bertahan secara sosial dan ekonomi di tengah konflik, mencerminkan realitas pahit masa itu.

Rino mengungkapkan bahwa hanya sepuluh lagu yang ditampilkan dalam acara ini karena keterbatasan sumber daya dan kendala terkait hak cipta.

“Kami tidak bisa menampilkan lagu tanpa memastikan kepemilikan atau izin dari pencipta maupun ahli warisnya. Hal ini dilakukan untuk menjaga etika dan menghormati karya seni tersebut,” jelas Rino.

Penyelenggaraan acara ini bertepatan dengan peringatan Hari Hak Asasi Manusia Internasional pada 10 Desember. KontraS memilih mengangkat pameran musik untuk menunjukkan bahwa seni dalam bentuk lagu, dapat menjadi media perlawanan sekaligus pengingat akan pentingnya pengetahuan tentang masa konflik Aceh dulu.

Rino juga menyoroti bahwa banyak lagu yang diciptakan selama masa konflik di Aceh memiliki muatan politis.

“Lagu-lagu ini tidak hanya menjadi ekspresi seni, tetapi juga alat untuk menyuarakan aspirasi masyarakat dan menuntut hak-hak yang selama ini terabaikan,” katanya.

Sejalan dengan pernyataan tersebut, Fuadi Mardhatillah, Wakil Koordinator KontraS Aceh, menambahkan bahwa para musisi sering menghadapi tekanan besar ketika menciptakan lagu-lagu yang berkaitan dengan konflik nyata.

“Musisi kerap dipanggil oleh tentara-tentara dan lagu-lagunya dilarang (dibredel) agar masyarakat tidak mengetahui situasi sebenarnya di daerah itu,” ungkap Fuadi.

Sejumlah seniman, budayawan, dan tokoh masyarakat turut hadir, di antaranya Azharul Husna selaku Koordinator KontraS Aceh, Ahmad Sajali, Cut Aja Rizka, Joe Samalanga, Putra Hidayatullah, dan Abu Bakar Ar. Diskusi dipandu oleh moderator Fuadi Mardhatillah. []

Reporter: Rayhan Reza (Mag)