Kisah Arya, Menebas Keraguan Untuk Ikuti Semangat Kemanusian

Ombak sore itu menghempas lembut di bibir pantai. Langit yang memerah mulai menyelimuti mereka yang duduk berjejer di atas pasir basah. Tawa riang terdengar, tetapi di balik kebahagiaan itu, ada perjalanan panjang yang telah mereka tempuh. Perjalanan penuh peluh, air mata, dan tekad yang tak tergoyahkan. Di antara mereka, ada seorang anak yang berjuang lebih keras dari siapa pun—sebutlah namanya Arya.

Sejak kecil, Arya bercita-cita menjadi seorang pahlawan kemanusiaan. Baginya, menyelamatkan nyawa dan membantu orang lain adalah panggilan hidup. Maka, ketika ia melihat kesempatan untuk bergabung dalam Pendidikan dan Latihan Dasar Korps Sukarela Palang Merah Indonesia (Diklatsar KSR PMI) di kampusnya, ia tak ragu mendaftarkan diri.

Hari pertama dan kedua Diklatsar terasa seperti mimpi buruk bagi mereka. Mereka digembleng dengan latihan fisik yang luar biasa berat. Arya, yang tubuhnya tidak sekuat peserta lain, sering tertinggal. Berkali-kali ia jatuh dalam latihannya, berkali-kali pula tubuhnya gemetar kelelahan saat melakukan push-up. Namun, setiap kali pikirannya berkata untuk menyerah, ia mengingat satu hal—mimpi kecilnya untuk menjadi seorang sukarelawan.

“Jika kau tak mampu bertahan, kau tak akan bisa menolong orang lain,” kata Koordinator Lapangan (Korlap) suatu malam ketika Arya hampir menyerah.

Kata-kata itu membakar semangatnya. Hari-hari berlalu dengan lebih banyak tantangan. Materi kepalangmerahan, pertolongan pertama, manajemen bencana, hingga kepemimpinan menjadi menu utama pelatihan. Dengan tekad baja, Arya terus berlatih dan menantang batas dirinya sendiri.

Puncak Diklatsar adalah simulasi gempa. Para peserta ditempatkan di sebuah lokasi yang telah disiapkan untuk menguji kemampuan mereka dalam menangani situasi darurat. Begitu sirene berbunyi, mereka harus segera mencari tempat berlindung, mengevakuasi korban, dan memberikan pertolongan pertama.

Di tengah kekacauan simulasi, Arya melihat seorang peserta yang berpura-pura menjadi korban dengan luka parah. Tanpa ragu, ia berlari dan segera melakukan tindakan pertolongan pertama. Tangannya gemetar saat membalut luka dan menstabilkan posisi korban. Adrenalin mengalir deras, tetapi pikirannya berusaha tetap fokus. Meski ini hanya simulasi, situasi terasa begitu nyata. Arya sadar, dalam kejadian sesungguhnya, ia harus mampu bertindak cepat tanpa keraguan. Ia semakin yakin bahwa ini adalah jalan yang ingin ia tempuh.

Sore itu, di pantai, mereka duduk bersama. Beberapa senior memberikan evaluasi, ada juga yang hanya menikmati suasana. Arya tersenyum lebar, menatap laut yang luas diiringi suara ombak. Perjalanan ini bukanlah akhir, tetapi awal dari pengabdiannya.

“Arya, bagaimana rasanya sampai di sini?” tanya salah satu senior.

Arya menghela napas, lalu menjawab,

“Rasanya seperti mimpi yang jadi kenyataan. Aku sadar, menjadi relawan bukan tentang seberapa kuat tubuh kita, tapi seberapa besar hati kita untuk terus berjuang.”

Semua tersenyum mendengar jawabannya. Matahari semakin tenggelam, meninggalkan semburat jingga di langit. Di antara deburan ombak dan gelak tawa perpisahan, Arya tahu, ini adalah awal dari kisahnya sebagai seorang pahlawan kemanusiaan.

Penulis : A. Fatwa Umara

Editor : Alya Ulfa