
Lestarikan Bahasa Daerah, Jalan Seorang Guru Temukan Jati Diri
Sumberpost.com | Banda Aceh – Bahasa daerah adalah akar identitas suatu bangsa. Namun, di era globalisasi ini, akar tersebut mulai rapuh. Banyak generasi muda, terutama di perkotaan, yang enggan menggunakan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari. Di tengah gempuran modernisasi, seorang guru asal Montasik, Aceh Besar berupaya menghidupkan kembali kecintaan terhadap bahasa daerah melalui karyanya.
Sejak kecil, Julian telah menunjukkan ketertarikannya terhadap bahasa Inggris. Ia ingat bagaimana dirinya selalu penasaran dengan kata-kata dalam bahasa asing yang ditemuinya. Kegemarannya ini semakin berkembang ketika duduk di bangku SD. Meski saat itu akses belajar masih terbatas, ia tetap berusaha memahami bahasa Inggris melalui buku-buku yang ada.
“Mungkin iya guru cita-cita sejak kecil, karena memang menyukai bahasa Inggris, jadi ingin mempelajarinya lebih dalam lagi,” ujarnya.
Saat menginjak SMP dan SMA, ia semakin serius dalam belajar. Tidak hanya mengandalkan pelajaran dari sekolah, ia juga belajar secara otodidak. Dengan keterbatasan teknologi saat itu, sumber utama belajarnya adalah buku.
“Dari guru-guru mungkin atau belajar otodidak, ya baca-baca buku karena pada zaman dulu kan belum secanggih sekarang teknologinya, ya paling belajar dari buku kalau dulu. Kan kalau sekarang bisa mencarinya di sosial media seperti YouTube, tikTok, dan lain-lain,” tambahnya.
Kecintaannya terhadap bahasa Inggris inilah yang kemudian membawanya mengambil jurusan FKIP Bahasa Inggris di Universita Bina Bangsa Getsempena (UBBG). Dengan semangat yang sama, ia terus mengasah kemampuan bahasanya dan akhirnya menulis buku untuk melestarikan bahasa daerah.
Julian tidak hanya mengajar, tetapi juga menulis. Dedikasinya terhadap kebahasaan melahirkan dua buku berharga. Buku pertamanya, Kamus Pocket 3 Bahasa: Aceh-Inggris-Indonesia, menjadi jembatan pembelajaran lintas bahasa. Sementara itu, buku keduanya, Meututo dalam 3 Bahasa: Aceh-Indonesia-Inggris Real-Life Conversations, hadir sebagai panduan percakapan yang memudahkan generasi muda memahami dan menggunakan bahasa daerah dalam keseharian mereka.
Keinginan Julian menulis buku lahir dari kepeduliannya terhadap bahasa Aceh yang semakin ditinggalkan.
“Saya melihat generasi muda, terutama di perkotaan, mulai gengsi menggunakan bahasa Aceh. Saya ingin memberikan sesuatu yang bisa menjadi pegangan bagi mereka agar tetap melestarikan bahasa daerah,” ujarnya.
Perjalanan kepenulisannya dimulai sejak 2019, hingga akhirnya buku pertamanya terbit pada 2022. Karya keduanya rampung pada 2024. Dalam prosesnya, ia berkolaborasi dengan dosennya, Mulyani, dalam penyusunan buku pertama. Sedangkan dalam buku kedua, ia juga bekerja sama dengan Yayasan Aneuk Muda Aceh Unggul Hebat (AMANAH), sebuah lembaga yang didirikan oleh Badan Intelijen Negara dan Presiden Joko Widodo.
Menulis buku tentu bukan perjalanan yang mudah. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi adalah menerjemahkan bahasa dengan akurat.
“Menerjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain itu tidak mudah. Kita harus mencari padanan kata yang tepat agar maknanya tetap terjaga,” ungkapnya.
Namun, kerja kerasnya membuahkan hasil. Buku-bukunya kini menjadi referensi yang bermanfaat bagi masyarakat umum dan pelajar. Beberapa eksemplar telah disumbangkan ke beberapa perpustakaan sekolah dan kampus. Respons dari masyarakat pun positif, terutama dari orang Aceh yang lahir di luar daerah dan ingin kembali memahami bahasa ibu mereka.
Kecintaan Julian terhadap bahasa dan budaya bukanlah hal baru. Ia pernah menjadi Duta Wisata Aceh Besar dan mengikuti pertukaran pemuda antar daerah pada 2018 di Bangka Belitung, di mana ia memperkenalkan budaya Aceh kepada peserta dari 34 provinsi di Indonesia. Tak hanya itu, ia juga pernah mengikuti ajang Duta Bahasa pada 2019 dan meraih posisi juara 5 sebagai Wakil 4 Duta Bahasa Provinsi Aceh. Semua pengalaman ini semakin memperkaya wawasannya dalam bidang kebahasaan dan budaya.
Sebagai seorang pendidik, ia memiliki harapan besar terhadap generasi muda Aceh. Ia ingin anak-anak muda tidak malu menggunakan bahasa Aceh dan tetap mempertahankan identitas budaya mereka.
“Minimal dalam kehidupan sehari-hari, kita harus tetap menggunakan bahasa daerah. Apalagi sekarang sudah ada kebijakan hari Kamis sebagai hari berbahasa daerah di beberapa daerah di Aceh,” tuturnya.
Ia juga menekankan pentingnya keberanian dalam belajar bahasa.
“Jangan takut salah. Bahasa itu harus dipraktikkan. Kalau tidak, kita tidak akan pernah bisa menguasainya. Yang penting niat dan konsistensi,” pesannya.
Bagi yang ingin belajar dari karyanya, buku Meututo dalam 3 Bahasa kini bisa diakses secara daring melalui website Amanah Library. Hal ini diharapkan dapat memudahkan lebih banyak orang dalam memahami dan melestarikan bahasa daerah.
Dengan semangat yang tak pernah padam, ia terus berkontribusi dalam dunia pendidikan dan kebahasaan. Ia bukan hanya seorang pendidik, tetapi juga inspirasi bagi banyak orang agar tetap mencintai dan menjaga warisan budaya melalui bahasa.
Julian adalah bukti bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi bagian dari jati diri yang harus dijaga. Dengan ketekunan dan kecintaan terhadap bahasa, ia telah mengukir jejak yang berarti bagi generasi mendatang, menjadi lilin yang menerangi jalan bagi generasi penerus agar tidak kehilangan identitasnya.
Reporter : Riska Amelia
Editor : Alya Ulfa