
Aku, Kau & Kamu
Sumberpost.com | Banda Aceh – Tapi,
Ku dengar-dengar namaku kau sebut.
Masih kau ikut sertakan dalam setiap pembicaraan.
Kenapa?
Aku masih belum kau lupa?
Atau kau butuhkan aku untuk memperindah laku-mu.
Ya.
Maaf.
Kalau kenyataannya aku masih tak terganti.
Jika realita berkata, aku berharga.
Dan jelas tak kau temu peduli-peduli seperti yang pernah ku beri.
“Dan aku, antagonis itu.
Penyebab dirimu menderita.
Alasan kamu memeluk lara.
Serta biang dari luka-luka menganga”
Begitu kan?
Cerita yang kau bawa-bawa.
Tak apa.
Aku terbiasa disalahkan.
Bahkan.
Sebelum datangnya perpisahan.
Aku penanggung jawab dari salah-salah yang kau lakukan.
Aku, perban usang yang dipakai berkali-kali membalut irisan sakitmu.
Dan aku, payung yang kau buang sesuai hujan reda.
Ku dengar.
Kau juga sempat menjalin ikatan dengan orang baru.
Katanya,
Di hubungan itu namaku juga masih kau sebut.
Tak apa. Aku terbiasa disalahkan.
Ternyata pikirku melesat.
Kau sebut baik-baik ku. Untuk apa?
Nyatanya, kau pinta ia untuk jadi diriku?
Setidaknya seperti diriku?
Sedikit meniru aku?
Ayolah.
Hidup ini bukan hanya tentang mu.
Tentang peduli-peduli ku.
Jelas tak bisa kau dapat dari orang baru.
Hidup ini bukan hanya tentang mu.
Kau paksa mereka jadi diriku?
Kau lihat sendiri. Mereka pergi.
Ya. Mereka, tak hanya ia.
Karena selepas aku berhenti ada di hidup mu.
Ternyata banyak orang baru yang kau cari, lalu kau paksa-paksa jadi pengganti ku.
Sudah sadarkah.
Aku masih kau butuh?
Aku menghantui pikir mu.
Menjelma mimpi-mimpi setiap tidur mu.
Berwujud setiap tingkah yang pernah kau dapat.
Keliru.
Caramu itu salah.
Kau cerita buruk-buruk ku untuk sebuah simpati.
Seolah kau yang retak terluka paling tersakiti.
Kalau kau bercerita baik-baik ku. Itu untuk menuntut peduli?
Kau pinta mereka menjadi aku yang begitu berperhati.
Baiklah
Aku takkan banyak cerita.
Satu pesan ku.
Jangan banyak tingkah.
Aku tidak membutuhkanmu.
Aku, hanya memilih mu.
Ketika pilihan itu tak lagi tepat.
Ku pikir, aku masih bisa bertahan.
Nyatanya?
Kau yang memilih melepaskan.
Tali tempat ku berpegang terputus.
Sandaran itu patah.
Bahkan, bongkahannya menusukku.
Retak, berhamburan berserak.
Berdarah-darah ku pungut satu-satu remah hati yang hancur.
Tanpa ada yang perlu tahu, ku balut luka-luka dengan rapalan “Aku baik-baik saja”
“Aku baik-baik saja”
“AKU BAIK-BAIK SAJA???”
Sembari terhuyung tubuh meminta jatuh.
Ku peluk sisa-sisa remuk di tengah dinginnya malam.
Tak bercahaya, ku tuntun ia terus berjalan.
Sesekali tersandung.
Dua kali terjatuh.
Tiga kali terkapar.
Teriak tak bersuara.
Muak.
Lesu. Terbisu, tak perlu ada yang tahu.
Kepingan hati yang semula di peluk tak berbentuk.
Kini terbentur. Jatuh. Berserak. Tumpah ruah.
Dan kau bilang hidupku mudah?
Aku? Patah-patah tak berarah.
Salahku, kenapa tak bertujuan.
Aku. Hancur-hancur yang lebur.
Salahku, kenapa tak kuat.
Aku, genangan tangis tiada henti.
Kepalan lemah tak bertenaga.
Asa yang tak berdaya.
Dan sia-sia yang nyata.
Menepi.
Di sela dada sesak tak beruang.
Biar sesegukan.
Tertahan.
Bahu ikut terguncang.
Sunyi.
Tangis tak bersuara.
Sedang tenggorokan tercekat.
Sangat.
Mati tak bernama.
Hanya saja.
Untung rapalan-rapalan itu berguna.
Bak doa.
Ia mencoba untuk tak membawa pulang kecewa.
Mengembalikan apa-apa.
“Bangun”
Sedang mataku tak berbuka.
Tanganku berhenti gerak.
Tekulai.
Terbengkalai.
“Bangun”
Satu desir angin mulai bisa ku rasa.
“Bangun”
Tetes embun gua membasahi pelipis.
“Bangun”
Nafas berat, setidaknya kembali bisa kutarik.
Bangun.
Aku sudah berdiri.
Lunglai melangkah.
Menyingkirkan sakit tak berperi.
Melupakan perih telapak kaki yang terluka berbalut nyeri.
Perih.
Berjalan. Patah-patah. Berjalan. Jatuh. Berjalan. Lutut menompang tubuh. Berjalan. Memperbaiki peluk yang menggenggam sisa-sisa ringkih hati yang lebur.
Hingga.
Cercah cahaya menyilaukan satu mataku.
Bayarannya mahal sekali.
Untuk keluar dan jadi bugar.
Sebelah mataku buta.
Ia dipaksa luka.
Katanya, agar aku tak lagi melihat derita.
Sisa satu mata.
Seperti yang kau lihat sekarang.
Tiada tangis.
Tiada berkaca-kaca.
Kau bilang hidupku mudah?
Hidupmu juga indah.
Bedanya,
Mudah-ku tak ku dapat dengan cara menjatuhkan mu.
Tak ada yang perlu tahu.
Pun, tak perlu.
Aku membayarnya mahal.
Sangat bahkan.
Sedang indahmu?
Dari kau sebut-sebut aku dalang sial mu.
Kau benar.
Bahkan aku membawa sial untuk diriku.
Dengan menemui mu.
Sedang indah hidupmu.
Dari kau panggil nama ku sebagai penyebab sengsaramu.
Kau dapat simpati. Kau dapat pendukung. Kau dapat penyelamat. Kau dapat penyembuh.
Aku yang terluka.
Dan kau yang diobati.
Sedang indah hidupmu.
Hasil dari kau dengung kan akulah antagonis paling mematikan.
Semoga benar ucapan mu.
Aku, pelaku dari kenapa kamu tersakiti.
Sengsara lah. Menderita lah. Lara lah.
Terluka. Disayat. Perih. Teriris. Tertatih-tatih.
Dan lihat aku yang buta sebelah.
Tanpa tangis.
Tanpa berkaca-kaca.[]
Penulis : Rauzatul Zahra