Mengupas Sejarah THR dari Kebijakan Pemerintah hingga Tradisi Masyarakat

Sumberpost.com | Banda Aceh Tak terasa Ramadhan telah memasuki penghujungnya. Dalam hitungan kurang dari seminggu lagi, umat Muslim akan menyambut Hari Raya Idul fitri pada 1 Syawal, momen kemenangan yang penuh kebahagiaan. Hari raya menjadi saat istimewa karena kita dapat berkumpul dengan keluarga, saling memaafkan, dan mempererat silaturahmi.

Berbicara tentang hari raya, bagi masyarakat Indonesia pasti tidak asing dengan Tunjangan Hari Raya (THR). Menurut Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia (RI) No. 6 Tahun 2016, THR adalah hak pekerja berupa tunjangan yang wajib diberikan paling lambat tujuh hari sebelum hari raya.Namun, THR tidak hanya diterima oleh pekerja. Mahasiswa, remaja, anak-anak, atau pelajar juga sering mendapat THR dalam bentuk uang saku dari keluarga atau kerabat.

Meskipun tidak bersifat wajib, tradisi ini mempererat kebersamaan keluarga saat lebaran.Tradisi pemberian THR dimulai pada era Perdana Menteri Soekiman Wirjosandjojo dari Partai Masyumi yang dilantik Presiden Soekarno pada April 1951. Salah satu program kerja kabinet Soekiman adalah meningkatkan kesejahteraan Pamong Pradja atau sekarang dikenal dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Tujuannya adalah meningkatkan kesejahteraan PNS menjelang hari raya. Besaran tunjangan saat itu berkisar antara Rp125 hingga Rp200, yang setara dengan nilai sekitar Rp1,1 juta hingga Rp1,75 juta saat ini. Pada tahun 1952, pekerja sektor swasta juga menuntut tunjangan serupa.Pada tahun 1954, Menteri Perburuhan mengeluarkan surat edaran yang menganjurkan perusahaan memberikan “Hadiah Lebaran” sebesar seperdua belas dari upah pekerja.

Pada tahun 1994, istilah ini resmi diubah menjadi “Tunjangan Hari Raya”. Pemberian THR memiliki berbagai manfaat, baik bagi individu maupun perekonomian. Bagi pekerja, THR membantu memenuhi kebutuhan hari raya, seperti membeli keperluan lebaran, membayar zakat, atau menabung. Sementara itu, meningkatnya daya beli masyarakat berdampak positif pada perputaran ekonomi menjelang hari raya.

Meski sudah diatur pemerintah, pemberian THR masih menghadapi tantangan, seperti keterlambatan pembayaran atau perusahaan yang tidak membayarkannya. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah membuka posko pengaduan bagi pekerja yang tidak mendapatkan haknya. Sementara itu, pekerja sektor informal sering kali tidak memiliki jaminan mendapatkan THR karena tidak adanya regulasi yang mengaturnya.

Sebelum adanya kebijakan resmi, masyarakat Indonesia telah memiliki tradisi memberikan hadiah atau bantuan kepada sanak saudara dan tetangga menjelang hari raya. Bentuknya bisa berupa makanan, pakaian, atau uang sebagai wujud kepedulian dan silaturahmi. Namun, pemberian ini bersifat sukarela dan tidak terstruktur seperti kebijakan THR saat ini.

Seiring waktu, THR telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi lebaran di Indonesia dan beberapa negara lainnya. Selain sebagai bentuk apresiasi bagi pekerja, THR juga mencerminkan nilai kebersamaan dan kepedulian sosial yang memperkuat makna hari raya.[]

Reporter : Riska Amalia

Editor : Aininadhirah