Pria Tidak Boleh Bercerita? Menjawab Stigma Negatif Tentang Pria

Sumberpost.com | Banda Aceh – Di era masyarakat yang masih dipengaruhi dengan stereotip gender, muncul sebuah stigma yang diam-diam membentuk karakter laki-laki sejak kecil. Pria tidak boleh bercerita, atau yang akrab dikenali dengan curhat. Jika ada pria yang bercerita dianggap seperti perempuan atau feminim. Apakah ini sesuatu yang alamiah? Atau justru konstruksi sosial yang berbahaya?

Ungkapan pria tidak boleh bercerita berasal dari norma budaya patriarki yang menuntut pria untuk selalu kuat, tidak cengeng, dan tidak menunjukkan emosi. Sejak kecil, pria sering dididik untuk menahan perasaan agar dianggap “jantan”, misalnya dengan kalimat seperti “jangan nangis, kamu kan cowok.” Norma ini membentuk maskulinitas tradisional yang menganggap kerentanan sebagai kelemahan.

Secara sosial, pria sering diidentikkan dengan kekuatan, ketegasan, dan dominasi. Ini bagian dari konsep maskulinitas, yang pada dasarnya bukan hal negatif. Namun, ketika maskulinitas dipaksakan secara sempit dan kaku, lahirlah fenomena toxic masculinity.

Dikutip dari KlikDokter.com Menurut psikolog Iswan Saputro, M.Psi., toxic masculinity adalah tekanan sosial bagi laki-laki untuk selalu tampil kuat, berkuasa, dan tidak menunjukkan kelemahan. Ekspresi seperti sedih atau takut dianggap tidak laki-laki. Inilah yang menyebabkan banyak pria menutup diri, menekan emosi, dan enggan meminta bantuan bahkan ketika sedang dalam krisis.

Kita harus melawan toxic masculinity karena hal tersebut dapat menghambat kesehatan mental, membatasi ekspresi emosi, menghambat hubungan sosial, dan menghambat pertumbuhan pribadi. Dengan melawan toxic masculinity, kita dapat membantu pria menjadi lebih sehat, lebih bahagia, dan lebih seimbang dalam menjalani hidup.

Dampak Psikologis dari Diamnya Pria

Tuntutan untuk selalu kuat membuat pria lebih rentan terhadap gangguan kesehatan mental, seperti depresi, stres kronis, hingga kecenderungan bunuh diri. Karena tidak dibiasakan bercerita, banyak pria menanggung tekanan dalam diam.

Iswan juga menyatakan, laki-laki hidup dalam ekspektasi orang lain terus. Itulah yang membuat mereka cenderung memendam perasaan dan sulit terbuka dalam mengomunikasikan pikirannya.

Bercerita sebagai Problem Solving

Dalam psikologi, bercerita dikenal sebagai self-disclosure, yakni tindakan membuka diri dan membagikan pengalaman emosional. Ini terbukti efektif sebagai strategi problem solving, karena dapat mengurangi tekanan mental, membantu memahami masalah secara lebih jernih, membuka peluang untuk mendapatkan dukungan sosial dan solusi, serta meningkatkan kesadaran diri dan empati.

Penelitian oleh Pennebaker & Seagal (1999) menunjukkan bahwa orang yang rutin mengekspresikan emosinya, baik secara verbal maupun tertulis, memiliki kesehatan mental dan fisik yang lebih baik. Pria juga butuh didengar. Bercerita bukan tanda kelemahan melainkan bentuk kekuatan emosional.

Stigma bahwa pria tidak boleh bercerita adalah warisan sosial yang perlu dibongkar. Seorang pria boleh menangis, mengeluh, meminta tolong, dan tetap menjadi laki-laki sejati. Maka, saat seorang pria mulai bercerita, hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah mendengar, bukan menghakimi.

Pria perlu bercerita karena bercerita dapat membantu mengurangi tekanan mental, mendapatkan dukungan sosial, dan meningkatkan empati. Dengan bercerita, pria dapat menjadi lebih sehat, lebih bahagia, dan menjadi diri sendiri tanpa takut dihakimi.[]

Reporter: Riska Amelia

Editor : Aininadhirah