Kisah Dinda, Wisudawan Terbaik Fakultas Ushuluddin UIN Ar-Raniry

Sumberpost.com | Banda Aceh – Pagi itu, Dinda dengan raut wajah berseri berbalut haru, kala dipanggil ke depan sebagai wisudawan terbaik di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry gelombang II. Disaksikan keluarga dan ratusan wisudawan lain dengan wajah sumringah dan damai, balutan jubah hitam berpadu hijau dan garis kuning melekat di tubuh dengan toga hitam bertengger di kepala. Serta disaksikan oleh tamu undangan di Auditorium Ali Hasyimi.

Dia Dinda Septiawati, anak pertama dari tiga bersaudara, anak dari pasangan anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) bapak Dedi Efrianto dan ibu Waljiati. Anak sulung kelahiran Bireun, September 2003 itu menjadi wisudawan terbaik Fakultas Ushuluddin dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,90 predikat cumlaude.

Dengan tutur kata yang lembut dan wajah berbinar, wanita asal Bireun itu bercerita bagaimana perjuangannya menyelesaikan Sarjana (S1) Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) sambil bekerja mengajar di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) dan menjalani organisasi.

“Organisasi nggak banyak, tepat pada semester 3, tahun 2022 pernah join anggota Himpunan Mahasiswa Prodi (HMP), di tahun yang sama juga masuk ke anggota Lembaga Dakwah Kampus (LDK), dan jadi kepengurusan di anggota Lembaga Dakwah Fakultas (LDF),” katanya dengan suara riang.

Namun di balik senyum dan pencapaian itu, Dinda tidak menutupi bahwa ada masa-masa sulit yang harus dilewati. Ia bercerita bagaimana menyeimbangkan antara organisasi dan tugas kampus menjadi tantangan tersendiri.

“Masa sulitnya itu waktu ngejalanin organisasi, nah itu kan tanggung jawab juga, dan harus bisa menyesuaikan antara organisasi dan tugas kampus. Kan itu harus manajemen waktu, mungkin itu yang paling keteteran,” ujarnya.

Dinda membuktikan bahwa dengan bekerja dan berorganisasi juga bisa menyelesaikan kuliah tepat waktu dan menjadi wisudawan terbaik. Dengan sedikit tertawa riang, ia kembali mengingat masa-masa sulit itu bisa diatasi dengan mengatur waktu sebaik-baiknya.

“Ada bekerja mengajar di TPA yang di samping asrama Universitas Syiah Kuala (USK) sejak tahun 2022. Untuk mengatur waktunya, mungkin bisa dimulai dari saat pengisian KRS, saya memilih mata kuliah di pagi hari, sehingga siang hari bisa digunakan untuk istirahat. Sore harinya saya memang tidak pernah mengambil mata kuliah, karena waktu tersebut untuk mengajar. Biasanya untuk kegiatan organisasi diatur di sela-sela waktu antara kuliah dan mengajar. Sedangkan untuk menyelesaikan tugas kampus, saya usahakan langsung dikerjakan ketika ada waktu dan tidak menunda-nunda. Menurut saya, sistem kebut semalam seringkali hasilnya tidak maksimal. Jadi, kalau memang tidak bisa dikerjakan di hari yang sama, saya tidak akan memaksakan diri. Karena bagaimanapun kita juga harus menjaga diri sendiri,” ujarnya dengan tegas.

Dinda juga menceritakan masa-masa menjelang ujian final menjadi salah satu momen yang cukup menguras tenaga dan pikiran.

“Mungkin untuk yang lainnya itu pas final harus belajar lebih ekstra, tapi sebenarnya ini bukan cuma untuk mendapatkan nilai yang terbaik. Kita harus memahami materi untuk diri kita sendiri, nah masa-masa sulitnya,” ucapnya dengan wajah damai.

Ia juga berbagi waktu yang tepat untuk belajar. Walaupun Setiap orang berbeda. Setiap pagi, selepas salat subuh, Dinda menyempatkan diri membaca materi kuliah atau artikel sebelum berangkat ke kampus.

Baginya, pagi adalah waktu terbaik untuk menyerap ilmu, sebuah kebiasaan kecil yang perlahan menjadi bekal besar. Ketika dosen mulai menjelaskan, ia sudah lebih dulu membuka pintu-pintu pemahaman dari bacaannya sendiri.

Di malam hari, jika suasana mendukung, ia juga tenggelam dalam jurnal-jurnal. Sunyi malam memberinya ruang untuk merenung, menelaah, dan merangkai mimpi. Salah satu mimpinya yaitu melanjutkan studi S2 dengan beasiswa.

“Kalau ada jalannya, ingin coba LPDP atau beasiswa lain. Tapi ya itu, kita cuma bisa rencana, takdir siapa yang tahu,” tuturnya dengan nada pasrah yang diselipi harapan.

Plan A nya adalah melanjutkan S2 di dalam negeri, restu orang tua menjadi pertimbangan utama.

“Mereka mendukung, tapi tetap ada kekhawatiran karena saya perempuan. Kalau bisa, jurusan yang diambil nanti masih selaras dengan ilmu tafsir,” tambahnya.

Dengan wajah raut wajah girang, ia menitip pesan yang dalam untuk mahasiswa-mahasiswa terutama mahasiswa baru untuk jangan takut mencoba.

“Nikmati aja proses kuliah. Coba ikut organisasi dan perlombaan, apa saja. Jangan takut gagal, kalau misalnya nggak sesuai target yang penting kita kan udah mencobanya, jangan pernah meletakkan ekspektasi lebih tapi harus usaha lebih. Biar diri kita tidak terkejut oh ini nggak sesuai ekspektasi. Kalau misalnya ada rezeki pasti kita juga dapat. Dan jangan lupa jaga diri sendiri. Karena sekarang ini banyak yang sampai stres karena kuliah, padahal semua bisa dijalani dengan lebih enjoy,” ujarnya dengan nada semangat.

Sejak semester enam, Dinda mulai menargetkan setiap mata kuliah harus A. Tidak ada cara lain selain belajar ekstra dan berdoa.

“Karena usaha tanpa doa itu sombong, dan doa tanpa usaha itu bohong,” tutupnya dengan wajah tenang.

Namun lebih dari sekadar nilai atau gelar, yang paling ia kenang dari masa kuliahnya adalah kebersamaan.

“Waktu Ramadhan, anak-anak LDK sering bikin acara buka bersama. Di momen-momen itu terasa banget kebersamaan dan kekeluargaannya,” tutupnya dengan sayu dan sedikit tersenyum.[]

Reporter : Riska Amelia

Editor : Aininadhirah