
Kisah Proposal Hidup Dedi, Wisudawan Terbaik UIN Ar-Raniry
Sumberpost.com | Banda Aceh – “Saya agak lama untuk belajar. Jika untuk memahami sesuatu bagi orang lain hanya butuh 1 jam, maka saya 2 jam,” ujar Dedi Wahyudi, wisudawan terbaik Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-raniry saat ditemui di wakop cut yah, Ulee kareng, Senin (26/08/2025).
Kalimat mengejutkan keluar dari Dedi, peraih IPK 4.00. Pria kelahiran tahun 1991, Kebumen, Jawa barat ini mengaku kelemahan tersebut memacu dirinya untuk giat belajar. Bahkan saat orang lain memilih untuk bermain.
Tiga kali beturut-turut Dedi memperoleh penghargaan wisudawan terbaik. Semua bermula dari strata 1. Ternyata, pencapaianya ini telah jauh-jauh hari ia tulis dalam sebuah catatan bertajuk proposal hidup Dedi. Disana, tertera juga namanya dengan gelar Pofesor. Target lanjutan sebelum menyentuh umur 40 tahun.
Melalui blognya berjudul “PODOLUHUR”, seluruh cita-cita dan harapan, Dedi tuangkan di sana. Hal tersebut terus ia perbaharui setiap satu tahun sekali. Kebiasan ini telah ia pupuk semenjak duduk di bangku Sekolah Menengah Keatas (SMA). Dahulu namanya dream book. Dedi SMA, waktu itu menulis sekaligus menghias buku itu. Banyak gambar-gambar idola yang dipotong lalu ditempelkan olehnya.
“Kalau baca itu, kaya dapat energi,” katanya.
Lahir dari pasangan yang bekerja sebagai penjahit dan pedagang pasar membuat Dedi harus mengolah uang yang dikirim oleh orangtuanya agar dapat memenuhi kebutuhanya sebagai mahasiswa. Disinilah awal mula perjuangan Dedi dimulai.
Saat S1, Dedi dikenal dengan sebutan konter berjalan. hasil bisnis jualan pulsa kecil-kecilanya saat itu ia gunakan untuk membeli buku atau sekedar jajan. Ditemani sepeda ontel, Dedi pulang pergi dari kos ke Universitas Islam Sunan Kalijaga (UINSUKA), Jogja. Tak jarang ia menempuh 97,5 KM hanya untuk sekedar kembali kampung halamannya menggunakan ontel.
Cita-citanya memperoleh gelar profesor membuatnya bertekat untuk melanjutkan studi S2. Meski dihadapi dengan kondisi ekonomi yang tidak mendukung. Dedi nekat mengambil pinjaman dan melanjutkan pendidikan magister di UINSUKA. Waktu itu, Dedi bekerja sebagai guru honorer.
“Gajinya gak seberapa. Saat itu saya berniat mengasah ilmu, karena cita-cita awal memang mau lanjut kuliah,” ujarnya.
Setelah mendapat gelar magister, ia merantau ke Lampung dan menikah di sana. Taklama setelah menikah, Dedi lulus menjadi Pegawai Sipil Negara (PNS) dan bertugas sebagai dosen di IAIN Metro, lampung. Perjuangan hidup Dedi justru lebih menantang saat itu.
Penglihatannya hampir hilang untuk seumur hidup. Ia divonis katarak dan harus operasi pada 2020. Dedi telah mengalamai keburaman penglihatan sejak bangku sekolah dasar. Katanya, semakin lama semakin tebal minusnya. Hingga saat dewasa, ia baru mendapat diagnosis katarak. Masa-masa sulit itu, Dedi harus mendekatkan buku atau layar ke beberapa senti di depan mata agar dapat membaca dengan jelas tulisan.
“Waktu itu saya khawatir. seorang Dosen harus banyak membaca, mengetik dan melihat wajah mahasiswa. Bagaimana jika kenikmatan itu diambil Allah,” ujarnya.
Dedi sadar, proposal hidupnya masih belum tercapai. Ada 2 gelar lagi yang ingin ia raih. Ia memutuskan operasi mata dan menjalankan penyembuhan sekitar 1 tahun. Tahun 2022, Dedi memperoleh Beasiswa Indonesia Bangkit (BIB) kementerian agama republik indonesia untuk melanjutkan Studi S3 di UIN Ar-Raniry.
Ia mendapatkan surat tugas dari IAIN Metro untuk melanjutkan studi, lalu berangkat ke tanah serambi mekah. Proposal hidup Dedi tahap tiga bermula di sini. Diperemukan dengan teman lintas daerah dan jurusan dalam satu kelas penerima beasiswa BIB membuat Dedi belajar akan banyak hal. Sampai ia bertekad lulus dengan jangka waktu 3 tahun dengan Tengku Mahdi, rekan seperjuanganya.
saat masa penyelesaian desertasi, ia dan Teungku Mahdi saban hari keperpustakaan. Bahkan sudah di sana sebelum jam buka. Hal ini terus berlanjut di hari-hari berikutnya. Pagi hingga petang mereka habiskan di ruangan multimedia lantai 3 perpustakaan wilayah.
Bagi Dedi, sosok Teungku merupakan teman sekaligus guru baginya. Teungku merupakan salah satu imam besar di salah satu mesjid di Bener Meriah. Kerap kali ia meminta doa dan terciprat kebiasaan-kebiasan baik Teungku. meskipun keduanya terpaut umur 17 tahun, Dedi dan Teungku memiliki komitmen untuk lulus bersamaan. Tak jarang ia menemani Teungku hanya untuk sekedar bimbingan. Masukan lebih banyak untuk desertasinya justru ia dapatkan dari promotor Tengku.
“Gak ada ruginya kita membantu orang. Saya mengenal banyak guru saat menemani Teungku bimbingan. belajar dari Profesor Jamaluddin, pembimbing Desertasi saya, Beliau selalu mempermudah mahasiswa yang hendak bimbingan,” ujarnya.
Sepak terjang S3 Dedi bisa dibilang dilalui atas bantuan dan dukungan yang sangat kompleks. Mulai dari dukungan istri, dosen, pembimbing, pimpinan hingga teman-temanya.
“Berbicara penyebab Kesuksesan itu sangat kompleks, tidak bisa dijabarkan hanya dalam beberpa poin saja. Saya juga dimudahkan oleh tempat dimana saya meneliti,” tuturnya.
Dedi melakukan penelitian di Sekolah menengah keatas (SMA) 13 Banda Aceh. Ia mengaku mendapat dukungan dari kepala sekolah, guru hingga siswa disana. Kata-kata profesol Jamaluddin hingga kini masih menuntun hidup Dedi, mudahkan orang lain. Maka Allah akan mudahkan hidup kita.
Tepat 27 Mei 2025, purna sudah amanah negara yang diberikan kepada Dedi. Ia berhasil memperoleh gelar Doktor program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI). sambil tesenyum sumrigah, Dedi menerima penghargaan lulusan terbaik dari Profesor Mujiburrahman, Rektor UIN Ar-Raniry. Kini, hanya ijazah yang menahannya untuk tetap di Aceh. Setelah mendapatkan hal tersebut, ia harus melanjutkan tugasnya sebagai dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Jurai Siwo Lampung yang dahulu dikenal dengan sebutan IAIN Metro.[]
Reporter : Rauzatul Jannah
Editor : Aininadhirah