Sosok Cut Rahmah, Menjemput Gelar Impiannya dengan Air Mata di Sertai Doa

Sumberpost.com | Banda Aceh – Langkah kakinya terasa ringan, namun ada beban besar yang ikut bergerak di dalam dada. Suara namanya dipanggil di tengah gegap gempita auditorium, dan semua mata tertuju padanya. Cut Maulida Rahmah TM berjalan mantap ke atas panggung, membawa serta bukan hanya toga dan map ijazah, tapi juga seluruh kisah yang tak pernah sepenuhnya ia ceritakan, tentang bagaimana ia sampai di titik ini, tentang mengapa ia begitu mencintai belajar, tentang mengapa doa orang tua begitu kuat menegakkan punggungnya saat ia hampir roboh.

Ia lahir pada 8 Juni 2002 tepatnya di meulaboh, dan sekarang tinggal di Ujong Patihah, Nagan Raya. Bungsu dari empat bersaudara, anak dari bapak notaris bernama Teuku Mursalin, S.H., M.Kn., dan ibu guru SMA bernama Erdawati, S.Pd. Keduanya akan pensiun pada bulan yang sama ketika Icut diwisuda. Ada yang ganjil namun indah dari peristiwa ini, seolah hidup menyusun peralihan mereka dalam satu momen yang sama: orang tua mengakhiri masa tugas, anak menyongsong panggung masa depan.

“Saya anak keempat dari empat saudara, alias anak bungsu,” ucapnya tenang.

Ia memilih Fakultas Tarbiyah dan Keguruan bukan karena kebetulan. “Memang tujuannya masuk universitas yang memiliki fokus utama pada ilmu keagamaan Islam, dan jatuh pilihannya ke UIN Ar-Raniry. Jadi selain belajar teori secara sains, kita juga belajar tentang keislaman dan ada ditanamkan nilai-nilai keislaman.” Dan pilihannya jatuh pada PIAUD, bukan semata-mata karena tren pemerintah. “PIAUD itu zaman sekarang sangat digaung-gaungkan oleh pemerintah, kan ada program satu desa satu PAUD. Jadi itu yang melatarbelakangi saya mengambil jurusan PIAUD FTK, karena sangat menarik untuk dipelajari ilmu anak usia dini, dan juga selebihnya ilmu ini akan dipakai ketika ada anak sendiri.” Suaranya terdengar riang saat mengucapkan itu, tapi berubah teduh ketika ia berbicara tentang nilai pendidikan. “Anak pada usia 0-6 tahun golden age. Jika benar didiknya dari dasar, dari fondasi, maka akan terbentuk bangunan yang bagus kan,” katanya serius.

Dari balik meja kelas, Icut menyimpan lebih banyak cerita dari yang terlihat. Salah satu momen yang paling ia kenang adalah ketika mengambil mata kuliah Pembelajaran Bahasa Asing Anak Usia Dini. “Di sini kita bisa milih bahasa apa aja. Dan saya memilih Bahasa Arab, karena background saya adalah tamatan dari Dayah Insan Qurani. Karena juga jurusan di Insan Qurani saya MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan), jadi memang fokus ke Bahasa Arab.” Senyum muncul di wajahnya. “Tugas finalnya membuat video mengajar menggunakan Bahasa Arab, itu merupakan tantangan yang tak terlupakan, dan videonya di-upload ke YouTube. Di sini kita harus belajar lagi Bahasa Arab, harus atur-atur lagi agar Bahasa Arab-nya bagus waktu mengajar.”

Namun kuliah tidak selalu datang bersama tawa. “Tentunya ada, banyak sekali hambatan dan kendala di sana-sini. Tentunya setiap orang punya pengalaman yang berbeda-beda ya.” Ia berusaha menyelesaikan kuliah secepat mungkin, mengambil 24 SKS bahkan jika perlu ikut kelas kakak tingkat. Tapi meski cepat, ia tak pernah suka terburu-buru. “Saya itu bukan tipikal orang yang kebut semalaman. Jika ada tugas, saya langsung menyiapkannya.”

Tantangan terberat justru datang saat menyusun skripsi. Ia mengajukan tiga judul sekaligus, dan semuanya ditolak. “Tapi alhamdulillah dosen-dosen di UIN Ar-Raniry mau membantu, khususnya prodi PIAUD. Jadi saya diberikan judul dan ditetapkan pembimbing, dan langsung menulis.” Dua bulan setelah itu, ia langsung seminar proposal. Namun yang orang tak tahu, saat itu ia juga sedang menjalani KPM dan PPL secara bersamaan. “Kebayang kan capeknya. Harus KPM di situ, harus PPL di situ, harus penelitian di situ. Dan qadarullah-nya sakit pada saat itu. Jadi saya harus memutuskan PPL sementara dan hanya KPM saja, dan melanjutkan PPL pada semester genap bulan 1.”

Penelitiannya berbasis kualitatif, dan hasilnya berhasil dimuat di Jurnal Murhum yang terindeks Sinta 3. “Alhamdulillah lulus tanpa skripsi. Dan dalam artikel itu banyak saya mengutip daftar pustaka, sekitar 41 dari berbagai jurnal.”

Yang membuatnya bisa terus bertahan bukanlah keajaiban, tapi kebiasaan kecil yang konsisten. Ia selalu datang satu jam sebelum kelas dimulai, membuka pintu kelas, dan mengisi waktunya dengan membaca jurnal. “Saya masuk sebelum waktunya sehingga kelas masih belum ada mahasiswa. Saya yang bukakan pintunya. Dan mengisi waktunya dengan membaca jurnal. Di waktu malam kalau saya sempat, saya akan baca jurnal, jadi besok paginya saya bisa diskusikan dengan dosen. Jadi ketika bicara sama dosen, nyambung.” Ia tersenyum ringan. “Dan juga jangan lupa minta doa sama orang tua, karena kita bisa sejauh ini karena doa orang tua.”

Ia tidak aktif dalam organisasi karena alasan kesehatan, namun waktu luangnya selalu penuh makna. Sampai di rumah, ia langsung membuka tas dan membaca ulang materi hari itu. Ia menghindari janji temu dengan teman jika tugasnya belum selesai. Dan satu hal yang ia pegang teguh: bangun pagi. “Karena subuh itu menentukan. Kalau kita bangun telat, seharian itu akan suram, tidak tertata. Sedangkan kalau kita bangun pagi, kita bisa melakukan banyak hal, seperti olahraga, belajar, dan badan kita juga lebih fresh. Kunci kesuksesan itu di pagi hari.”

Ia belajar dengan gaya visual dan auditori. Pernah kehilangan catatan saat ujian, tapi tetap bisa belajar lewat YouTube. Meski begitu, ia tetap percaya bahwa catatan tangan tak tergantikan. “Alhamdulillah saya masih menulis, malahan saya masih ada catatan dari semester 1 sampai akhir semester. Karena menurut yang saya pelajari bahwa ilmu itu lebih mudah dipahami kalau kita menulisnya di buku, karena ilmu itu seperti hewan buruan sedangkan tulisan adalah tali ikatannya.”

Ia tak banyak bicara tentang motivasi, tapi tindakannya mengajarkan. “Bangun di pagi hari, terus utamakan prioritas, jangan jalan-jalan dulu, selesaikan dulu tugas. Kalau sudah siap baru main. Dan belajar disiplin dari salat lima waktu, karena ibadah itu salah satu pendidikan kepada pribadi kita.”

Kini, gelar telah digenggam, tapi mimpi belum selesai. “Insya Allah lanjut S2 sesuai dengan bidang sekarang. Rencana mau sambung di UIN, cuma karena di UIN belum dibuka PIAUD untuk magisternya, maka rencana mau lanjut di Malaysia.” Ia juga berharap bisa mendapat beasiswa. “Kalau bisa pakai beasiswa, lebih baik menggunakan beasiswa.”

Ia tidak menyebutkan satu profesi tertentu sebagai tujuan, karena yang ia kejar lebih besar dari itu. “Mau jadi dosen ataupun lainnya, yang utamanya adalah cita-cita yang bisa memberikan sumbangsih kepada pendidikan.” ujarnya lagi.

Dan di akhir, ia menitipkan pesan bagi adik-adik yang akan melanjutkan jejaknya. “Rajin-rajin belajar, rajin-rajin ibadah, rajin-rajin berdoa, karena Anda semua adalah calon pendidik maka jaga sikap, jaga akhlak, karena Anda akan jadi teladan untuk siswa-siswa Anda nanti.”

Lalu icut pun memberikaan pesan juga untuk almameternya, kampus yang telah menempanya. “Baik untuk FTK maupun universitas, semoga selalu berjaya, semakin terkenal mengukir prestasi baik di bidang nasional dan internasional. Dan bisa menarik minat orang-orang baik nasional maupun internasional agar berkuliah di kampus kita ini.”

Cut Rahmah Bersalaman dengan Ibunya di Teras Auditorium Ali hasymi (Sumberpost.com/Nurul Azkia)

Hari itu, ketika ia mencium tangan ibunya yang memegang map ijazah dengan percaya diri, dan ayahnya berdiri di samping dengan tegak, tak ada yang lebih jelas dari satu hal: gelar ini bukan hadiah. Ini adalah hasil dari ketekunan yang sunyi, dari catatan yang ditulis di pagi hari, dari tangan yang tak pernah lelah memegang pena, dan dari doa yang tanpa suara, tapi menggetarkan semesta.[]

Reporter : Nurul Azkia

Editor : Aininadhirah