
Menakar Dinamika Penerapan Syariat Islam di Aceh Antara Idealitas dan Realitas
Sumberpost.com | Banda Aceh – Aceh sering disebut sebagai “Serambi Mekkah” bukan tanpa alasan. Provinsi ini merupakan satu-satunya wilayah di Indonesia yang diberi kewenangan khusus untuk menerapkan hukum syariat Islam secara formal dalam sistem pemerintahannya. Namun, di balik keistimewaan ini, terdapat dinamika yang kompleks yang patut menjadi perhatian publik nasional.
Sejak masa Kesultanan Aceh Darussalam, Islam telah menjadi fondasi utama pemerintahan. Sultan kala itu bukan hanya pemimpin politik, tetapi juga pemimpin spiritual yang menerapkan hukum Islam secara menyeluruh. Peran ulama begitu sentral, bahkan bisa disebut sebagai mitra strategis kekuasaan. Sistem ini membentuk kesadaran kolektif yang kuat bahwa agama dan negara bukanlah dua entitas yang terpisah.
Namun, sistem ini mulai mengalami erosi sejak kedatangan kolonial Belanda, yang membawa sistem sekuler dan secara perlahan meminggirkan hukum Islam dari sistem kenegaraan. Meski demikian, perlawanan terhadap kolonialisme justru menguatkan posisi ulama sebagai penjaga marwah Islam di tengah tekanan asing.
Pasca-reformasi, momentum kebangkitan identitas Islam Aceh kembali menguat. Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, Aceh diberi otonomi khusus, termasuk hak untuk menegakkan hukum Islam melalui qanun. Mahkamah Syariah, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), dan perangkat hukum lainnya dibentuk untuk mengawal implementasinya. Salah satu langkah paling kontroversial adalah diberlakukannya Qanun Jinayat, yang mencakup pidana seperti zina, khamar, dan khalwat.
Namun, di sinilah muncul pertanyaan mendasar: apakah penerapan hukum Islam di Aceh benar-benar mencerminkan cita-cita keadilan dan kesejahteraan yang menjadi ruh dari syariat itu sendiri?
Ulama di Aceh kini berada di persimpangan. Mereka tak lagi hanya sebagai penjaga moralitas, tetapi juga aktor politik dan kebijakan publik. Di satu sisi, ini membuka ruang partisipasi. Namun di sisi lain, menimbulkan risiko politisasi agama. Jika ulama terlalu dekat dengan kekuasaan, independensi dan legitimasi moral mereka bisa tergerus.
Namun demikian, ulama juga memiliki potensi besar sebagai agen moderasi. Dalam banyak negara, seperti Maroko dan Tunisia, otoritas keagamaan mengambil peran aktif dalam mengharmoniskan syariat dengan nilai-nilai demokrasi dan HAM. Hal ini bisa menjadi inspirasi bagi Aceh.
Sudah saatnya Aceh bergerak dari simbolisme hukum menuju substansi keadilan. Syariat bukan hanya soal hukuman, tetapi nilai yang membebaskan, mencerdaskan, dan menyejahterakan. Dalam konteks ini, beberapa hal perlu menjadi prioritas:
- Pendidikan Islam yang Kontekstual Kurikulum madrasah dan pesantren harus diperkuat dengan pendekatan sejarah, HAM, dan fikih sosial agar siswa memahami Islam secara komprehensif dan relevan.
- Pemberdayaan Ekonomi Syariah Penerapan syariat harus menyentuh aspek ekonomi. Penguatan zakat produktif, koperasi syariah, dan keuangan mikro dapat mengurangi ketimpangan sosial yang menjadi sumber ketegangan.
- Pendekatan Hukum Restoratif Qanun Jinayat bisa ditinjau ulang agar lebih berorientasi pada pemulihan, bukan hanya pemidanaan. Mediasi, konseling, dan rehabilitasi seharusnya menjadi bagian dari penegakan hukum Islam yang ideal.
- Dialog Terbuka antar Stakeholder Pemerintah, ulama, akademisi, dan masyarakat sipil perlu duduk bersama secara rutin untuk mengevaluasi pelaksanaan syariat agar tidak stagnan dan terus adaptif terhadap perubahan zaman.
Penerapan sistem pemerintahan Islam di Aceh adalah sebuah proses panjang yang penuh dinamika. Ia bukan proyek selesai, melainkan perjalanan terus-menerus untuk mencari bentuk Islam yang adil, inklusif, dan memanusiakan. Keberhasilan syariat Islam di Aceh tidak bisa diukur dari jumlah qanun yang disahkan atau jumlah cambuk yang dijatuhkan, melainkan dari sejauh mana masyarakat merasa diperlakukan adil, dihormati, dan sejahtera.
Jika itu belum tercapai, maka Aceh masih punya pekerjaan rumah besar. Dan kita semua wajib mengingatkan bahwa Islam sejatinya adalah rahmat bagi seluruh alam—bukan alat kekuasaan[]
Penulis : Zul Fatmi
Editor : Aininadhirah