
Terjajah Sejak 1948, Kapan Kita Sadar bahwa Palestina Bukan Sekadar Isu Musiman?
Sumberpost.com | Banda Aceh – Pada 28 Mei 2025 lalu, Presiden terpilih Republik Indonesia, Prabowo Subianto, membuat pernyataan yang sontak memicu gelombang reaksi publik. Dalam konferensi pers bersama Presiden Prancis Emmanuel Macron di Istana Merdeka, Jakarta. Prabowo menyatakan bahwa Indonesia siap membuka hubungan diplomatik dengan Israel, jika Palestina telah benar-benar merdeka sepenuhnya. Menurutnya, “solusi dua negara” (two-state solution) adalah jalan terbaik menuju perdamaian di Timur Tengah.
Pernyataan in segera menuai reaksi beragam. Ada pihak yang menyambutnya, seperti Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf yang menilai pernyataan itu sejalan dengan sikap NU, dan MUI pun menilainya sebagai strategi-diplomatik, bukan dukungan terhadap Israel. Namun, tak sedikit pula yang mengkritik. PKS dan Wakil Ketua MPR menganggap itu pernyataan premature dan berisiko mengaburkan perjuangan Palestina. (Lihat di : https://www.tempo.co/politik/kontroversi-pernyataan-prabowo-soal-indonesia-siap-akui-israel-jika-palestina-merdeka-1603327/)
Di Tengah kontroversi ini, perdebatan tentang “solusi dua negara” Kembali mencuat. Banyak aktivis Palestina dan organisasi pro-kemanusiaan menolak solusi ini karena dianggap tidak adil. alih-alih menciptakan perdamaian sejati, solusi dua negara justru dinilai membuka peluang terbentuknya negara palestina yang lemah, tanpa kedaulatan penuh, dan mudah dikendalikan oleh kepentingan Israel.
Bagi mereka, solusi semacam ini hanya bentuk baru dari ketidakadilan historis. Mereka mengingatkan bahwa inti persoalan bukan sekadar tentang batas wilayah atau peta politik, tetapi tentang hak asasi, pengusiran paksa, kolonisasi, dan impunitas yang terus dibiarkan. (Lihat di : https://depokraya.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-3299374936/solusi-dua-negara-bukan-jawaban-untuk-konflik-palestina-israel).
Di tengah silang pendapat ini, kita perlu mengajukan pertanyaan yang lebih dalam, kapan terakhir kali kita benar-benar peduli pada Palestina? Bukan hanya peduli karena ramai di linimasa, tapi peduli yang hadir dari nurani. Sebab setiap kali bom meledak di Gaza, kita terhenyak. Media sosial berubah jadi lorong duka. foto jenazah anak-anak, suara ibu menjerit, video reruntuhan rumah dan sekolah. Kita ikut marah. Kita ikut bersedih.
Lalu kita menulis bermacam-macam tagar seperti #SavePalestine #Stopgenocide #Freepalestine dan sebagainya. Kita kirim doa. Kita bahkan rela mengganti foto profil dengan bendera Palestina. Tapi semua itu layaknya musim yang datang dan pergi, hangat sesaat, lalu lenyap.
Dan disitulah letak persoalannya. Palestina seolah hanya hadir dalam kesadaran kita Ketika algoritma memutuskan itu penting. Saat sudah tidak lagi trending, kita kembali pada rutinitas, scroll Media Sosial, nonton komedi receh, hingga debat pasal tim bola kesayangan. Padahal, penderitaan Palestina tak pernah benar-benar berhenti. Yang berhenti, atau setidaknya meredup, adalah perhatian kita. hilang, tapi ingatan kita yang mudah surut, itulah yang membahayakan.
Ini bukan soal menyalahkan siapa pun. Ini soal kita semua. Tentang bagaimana di zaman digital ini, kemanusiaan kita kini diatur oleh algoritma, tentang bagaimana empati menjadi musiman. Seolah-olah penderitaan Palestina hanyalah episode Panjang dari drama global yang hanya kita tonton saat jeda iklan dalam kesibukan hidup kita.
Padahal, kisah ini sudah berlangsung lebih dari satu abad. Akar luka ini tertanam dalam Sejarah Panjang kolonialisme. Pada tahun 1917, Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour, mengeluarkan Deklarasi Balfour, yang menyatakan dukungan atas pendirian “tanah air bagi bangsa Yahudi” di Palestina, tanpa persetujuan penduduk aslinya yang mayoritas Arab. Dari situlah kolonisasi sistematis dimulai.
Puncaknya terjadi pada 1948, Ketika Israel diproklamasikan secara sepihak. Palestina terpecah, lebih dari 750.000 warga Palestina terusir dari tanah kelahiran mereka. Peristiwa ini dikenang dengan Nakba (malapetaka atau bencana). Malapetaka besar yang menandai awal dari penderitaan panjang rakyat Palestina yang hingga kini belum usai. (Lihat di : https://ppimalaysia.or.id/perang-dan-perdamaian-menggali-akar-konflik-israel-palestina-yang-tak-berujung/)
Palestina bukan isu yang bisa dianggap selesai hanya karena gencatan senjata sementara. Ini adalah luka panjang yang tak kunjung sembuh, karena penindasannya tidak pernah benar-benar berhenti. Bahkan hingga tahun 2025 ini, ribuan warga sipil telah terbunuh hanya dalam beberapa bulan terakhir. Sebagian besar mereka adalah perempuan dan anak-anak.
Namun, suara mereka sering terkalahkan oleh hiruk-pikuk media sosial, konten lucu, dan gosip selebriti. Kita terlalu cepat puas. Seolah membagikan ulang video duka atau menulis caption puitis sudah cukup menunjukkan kepedulian.
Padahal, yang dibutuhkan Palestina bukan sekadar suar sesaat, melainkan kesadaran yang tak padam. Kesadaran bahwa mereka bukan hanya korban, tapi symbol dari banyak hal: ketimpangan global, kagagalan diplomasi, dan ujian bagi hati nurani dunia.
Solidaritas bukanlah tren. Ia seharusnya menjadi komitmen. Tidak harus semua orang turun ke jalan atau menjadi aktivis. Tapi kita semua bisa berperan dengan membaca, memahami sejarah yang benar, mendidik anak-anak untuk tidak bersikap apatis, mendukung media yang jujur, dan yang paling penting, tidak menormalkan penderitaan.
Kita tidak boleh menunggu Gaza dibombardir lagi untuk kembali peduli. Kita tidak boleh hanya peduli ketika ada video yang cukup viral untuk memantik air mata kita. Kepedulian sejati adalah ketika kita tetap bersuara meski tidak ada yang melihat. Ketika kita tetap menyumbang meski tak diberi lencana “donatur terpuji.” Ketika kita tetap ingat, meski dunia memilih untuk lupa. Di situlah kemanusiaan sejati diuji.
Palestina bukan isu. Ia adalah nurani. Dan selama Nurani itu belum benar-benar mati, kita masih bisa merasakan bahwa nyawa manusia lebih berharga daripada keheningan kita, selama itu pula harapan masih ada, di antara puing-puing, di antara air mata, di antara doa-doa yang tak pernah berhenti dikirimkan. []
Penulis: Nurul Azkia, Mahasiswi Pendidikan Teknologi Informasi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
Editor: Rauzatul Jannah