Jangan Salahkan Cermin yang Retak!

Sumberpost.com | Banda Aceh- Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Daud, Rasulullah SAW bersabda, “Seorang mukmin adalah cermin bagi saudaranya. Jika ia melihat sesuatu yang buruk padanya, maka ia akan memperbaikinya.”

Hadis ini terkesan sederhana, tetapi mengandung muatan sosial yang sangat dalam. Ia tidak hanya berbicara tentang relasi antarpersonal dalam Islam, tetapi juga menawarkan paradigma etis dalam membangun masyarakat yang sehat: masyarakat yang menjadikan koreksi sebagai bentuk kepedulian, bukan penghakiman.

Cermin adalah metafora yang indah. sebagaimana fungsinya, menampilkan wajah kita secara objektif. Cermin tidak menutupi noda, Ia menunjukkan realitas apa adanya tetapi juga tidak mempermalukan, tidak juga melebihkan atau menyebarkan aib. Ia tidak bicara, dan tidak mencela. Namun, kehadirannya mampu membuat kita menyadari kekurangan agar kita yang bercermin bisa memperbaiki diri.

Seorang mukmin seharusnya memiliki sensitivitas sosial serupa. Membantu saudaranya menyadari kekeliruan, bukan untuk mempermalukannya, melainkan untuk memperbaiki. Inilah yang seharusnya menjadi dasar dalam relasi sosial di antara sesama mukmin. Saling menasihati dengan kejujuran yang tidak menyakitkan, dengan tujuan memperbaiki, bukan mencela.

Cermin yang ideal adalah cermin yang peduli, tidak diam ketika melihat kekeliruan, tetapi juga tidak menyerang dalam menyampaikan kebenaran.
kritik dalam Islam bukanlah hak prerogatif moral orang yang lebih saleh, tetapi tanggung jawab sosial yang dilandasi kasih sayang dan persaudaraan.

Namun, kenyataan hari ini kerap berbeda. Dalam ruang-ruang digital yang semakin terbuka, kita lebih sering menjumpai “cermin retak” yang tajam dan melukai. Kesalahan individu tidak jarang langsung dilempar ke publik, dibicarakan, diviralkan, bahkan dijadikan komoditas hiburan. Alih-alih memperbaiki, kritik yang muncul malah menjauhkan dan memperburuk. Hal inilah yang menjadikan umat manusia yang bergama semakin hari semakin berpecah belah.

Padahal, dalam hadis lain Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barangsiapa menutupi aib saudaranya, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim). Menasihati secara diam-diam memang lebih berat, karena membutuhkan kesabaran, niat tulus, dan adab. Tapi justru di situlah letak kedalaman nilai Islam, yaitu memperbaiki tanpa mempermalukan, menegur tanpa merendahkan.

Islam memiliki adab dalam menasihati. Menurut Imam Syafi’i, “Barang siapa menasihati saudaranya secara diam-diam, ia telah menasihatinya dengan penuh kasih sayang. Tapi barang siapa menasihatinya di depan publik, ia telah mempermalukannya.” Koreksi sosial dalam Islam bukan hanya soal menyampaikan yang benar, tetapi juga bagaimana cara dan waktunya tepat. Koreksi yang dilakukan tanpa empati, meskipun niatnya baik, bisa menghasilkan luka yang dalam.

Bayangkan jika setiap kita benar-benar menjadi “cermin” bagi sesama, jujur, halus, dan penuh empati. Maka akan terbentuk suatu masyarakat yang tidak hanya kritis terhadap kesalahan, tetapi juga memberi ruang untuk memperbaiki dan memaafkan. Dalam masyarakat seperti ini, kesalahan tidak menjadi akhir dari harga diri, tetapi awal dari perubahan yang dibimbing dengan kasih sayang.

Jika kita mampu merepresentatifkan hadis ini ke ruang-ruang sosial yang lebih luas dalam keluarga, komunitas, organisasi, hingga negara, maka kita akan menciptakan masyarakat yang sehat secara etika. Masyarakat yang siap dikritik dan siap memperbaiki, bukan karena takut dijatuhkan, tetapi karena sadar akan pentingnya saling menjaga.

Dalam konteks berbangsa, prinsip “cermin” ini juga berlaku. Rakyat berhak mengkritik pemerintah, sebagaimana pemerintah wajib mendengar suara rakyat. Namun semua pihak harus melakukannya dalam bingkai tanggung jawab moral, bukan dengan saling merendahkan. Kritik menjadi kontribusi, bukan ancaman. Ia menjadi perekat, bukan pemecah.

Hadis tentang mukmin sebagai cermin bagi saudaranya adalah ajaran yang sangat kontekstual dalam dunia hari ini yang penuh penilaian, penghakiman, dan eksposur digital. Ia menuntut kita untuk menjadi pribadi yang tidak hanya peduli pada kebenaran, tetapi juga pada cara menyampaikannya.

Menjadi cermin berarti siap berkata jujur, tapi juga siap melindungi. Karena mencintai saudara bukan berarti membiarkan dalam kekeliruan, tetapi juga tidak menyakitinya dalam proses memperbaiki. Inilah adab dalam koreksi yang diajarkan Nabi: tajam dalam isi, lembut dalam cara.[]

Penulis : Wilda Sofia (Mahasiswa Program Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh)

Editor : Aininadhirah