Menuntaskan Stigma Negatif Masyarakat, Pantaskah Siswa SMA Dikatakan Generasi Cemas Hanya Karena Trend Tiktok ?

Sumberpost.com | Banda Aceh – Remaja usia 17 Tahun yang tengah menempuh sekolah menengah ke atas (SMA) identik dengan masa pencarian jati diri. mereka memasuki masa-masa perkembangannya di era digital membuat Kehidupan mereka tidak lepas dari pengaruh media sosial terutama pada trend aplikasi maya. Hal ini membuat tekanan yang diterima remaja bukan hanya dari segi sosial masyarakat, melainkan dunia maya.

Trend video tahunan angkatan akhir-akhir ini sedang ramai diperbincangkan di berbagai platform media sosial yang sedang populer. Seperti instagram dan tiktok. Kebijakan pemerintah terkait efesiensi turut merambah pada ritual akhir tahun siswa yang hendak lulus di jenjang pendidikan tertentu.

Hal ini yang akhirnya memicu perdebatan publik lantaran masih banyak siswa yang tetap membuat buku tahunan dan bahkan lebih kreatif dari yang sebelumnya. Video ini dapa kita lihat di tiktok dengan tanda #yearbook #videoangkatan.

Beberapa tahun terakir, video lipsing dipadukan dengan lagu yang sedang viral menjadi ramai diikuti oleh banyak khalayak, terutama siswa. Video tersebut menampilkan gerakan baru yang variatif.

Masa remaja merupakan waktu yang tepat untuk diberi ruang berekspresi agar dapat mengenali diri. kesalahan merupakan kesempatan belajar dari proses untuk menjadi lebih baik di usia kedepanya. Namun kehidupan digital membuat banyak siswa SMA merasa harus tampil sempurna, dan menunjukkan sisi terbaik mereka demi mendapatkan pengakuan.

Hal ini memunculkan tekanan sosial, stigma, serta ekspektasi yang sering tidak realistis di lingkungan masyarakat baik secara offline dan online. Maka, penting bagi lingkungan sekitar seperti keluarga, guru, dan masyarakat untuk mendampingi, bukan menghakimi.

Fenomena Platform Digital yang Sedang Populer Pada Masanya

Seiring berkembangnya zaman, platform media digital seperti Tiktok mengalami peningkatan minat di dunia maya. Hal ini disebabkan karena isi konten menjelma menjadi ruang hiburan, ekspresi, sekaligus sumber informasi yang serba cepat, kreatif, dan mudah diakses tak heran digemari pengguna dari berbagai kalangan usia.

Siswa SMA tentunya ikut terlibat dalam membuat konten trend yang sedang viral. Mereka bukan sekadar ikut-ikutan, tapi sedang menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman yang bergerak dinamis.

Trend tiktok seringkali tidak memiliki batas usia. Namun, pengguna media sosial kini didominasi oleh gen-Z. Dalam hal ini, remaja saat ini memiliki kemampuan dan akses untuk mengoperasikan sosial media dengan baik. Hal ini menyebabkan siswa SMA lebih dominan dalam hal update trend. Dipernik dengan visual yang kekinian dan kreativitas, terciptalah konten yang digemari oleh pengguna sosmed tertentu.

Tiktok juga menjadi platform yang banyak digunakan oleh siswa SMA untuk mendokumentasikan masa-masa SMA yang hanya terjadi sekali seumur hidup. Berjamur pula akun-akun kelas yang mengunggah keseharian mereka dalam belajar dan menjalani hidup di sekolah.

Namun, sering kali pula ekspresi mereka dianggap “berlebihan” oleh masyarakat. sehingga memunculkan stigma negatif terhadap usianya. Ditambah lagi, algoritma media sosial seperti TikTok juga cenderung memunculkan konten dari pengguna muda karena dianggap paling aktif dan menarik perhatian. Hal ini memicu media menyoroti perbandingan antara generasi sekarang dengan generasi yang dulu.

Kenapa Siswa SMA Sering Disalahkan

Trend yang viral dikalangan siswa SMA kerap kali menjadi sorotan negatif publik. Mereka kerap dihakimi sebagai “generasi menurun” atau “tidak tahu sopan santun” tanpa melihat konteks perkembangan usia yang mereka alami.

Salah satu alasan kenapa anak SMA sering disalahkan dalam hal ini ialah karena mereka berada di fase yang masih dianggap “belum cukup dewasa”, atau pemikiran yang masih “labil” sehingga dikhawatirkan terjerumus ke hal-hal negatif atau tidak di inginkan.

Setiap tindakan yang dianggap tidak biasa langsung dikaitkan dengan moral, pendidikan, atau kegagalan pembinaan di lingkungan keluarga nya. Masyarakat juga cenderung menggeneralisasi melalui media sosial, tanpa memisahkan antara ekspresi kreatif dengan pelanggaran nilai.

Akibatnya, anak-anak SMA tidak hanya menerima kritik, tapi juga cap sosial seperti “kurang berpendidikan” atau “tidak bermoral”, meskipun kenyataannya mereka sedang dalam tahap belajar mengenali batas di era sekarang.

Hubungan Dengan Rendah Nya Pendidikan di Indonesia

Pendidikan seorang anak memang tidak hanya dari sekolah, melainkan bisa dari rumah melalui Orangtua, dan Lingkungan lain nya. Namun, sekolah merupakan bentuk tanggung jawab negara untuk membentuk karakter dan moral penerus bangsa.

Namun, terdapat beberapa sekolah belum optimal dalam membina perilaku siswa di luar jam belajar nya, termasuk aktivitas mereka di media sosial. Hal ini membuat Aturan hanya bersifat formalitas, tanpa disertai pendekatan yang mendidik dan membimbing.

Dari masalah di atas, dapat kita tarik benang merah, bahwasanya Fenomena siswa SMA yang aktif mengikuti trend platform di TikTok sebenarnya bukan hal yang sepenuhnya negatif. Namun, sering kali konten yang mereka buat justru menuai hujatan dan dianggap mencerminkan rendahnya kualitas pendidikan.

Padahal, munculnya konten yang dianggap tidak pantas tersebut tidak lepas dari kondisi pendidikan di Indonesia terutama di sekolah yang masih belum merata atau belum sepenuhnya mampu membekali siswa dengan keterampilan literasi digital dan pemahaman etika bermedia meskipun tidak semua sekolah di Indonesia.

Lantas Siapa yang patut disalahkan?

Pada dasarnya, Tidak sepenuhnya bisa dikatakan siswa SMA yang salah. pemikiran remaja dan dewasa cenderung memiliki orientasi yang berbeda. hal ini membuat siswa SMA menganggap stigma negatif bagai ancaman baginya untuk bertumbuh dan membuktikan jati dirinya. Ada banyak pula faktor yang terlibat dalam kondisi ini. kita hanya perlu melihat akar masalahnya secara lebih luas lagi.

  1. Pandangan Masyarakat atau konsumen media sosial yang kurang luas.

Sebagian masyarakat yang memberikan komentar atau langsung melabeli anak SMA sebagai pihak yang salah cenderung memiliki sudut pandang yang kurang mengexplore lebih dalam terkait anak SMA ini di Indonesia.

Mereka tidak menggali lebih dalam mengenai latar belakang dan kondisi psikologis remaja di Indonesia secara utuh. Karena dengan mudah nya Media kerap menyajikan informasi dengan fokus pada sisi sensasional atau negatif dari suatu peristiwa, sehingga membentuk opini publik yang bias.

  1. kesadaran sosial penting dipupuk sejak dini

Meskipun di satu sisi anak SMA juga terlibat secara langsung dalam trend media sosial ini, bukan berarti semua kritik sepenuhnya tidak berdasar.

Perlu diakui bahwa ada sebagian dari mereka yang tampil secara berlebihan atau tidak mempertimbangkan etika dalam membuat konten trend dimana, jenis trend yang muncul ini yg dapat membuat generasi mereka di negatifkan.

Oleh karena itu, sudah seharusnya dalam diri setiap pelajar, khususnya anak SMA, tertanam rasa peka dan kesadaran sosial terhadap apa yang mereka tampilkan di ruang publik digital.

Dalam proses belajarnya remaja harus bisa untuk membedakan antara kebebasan berekspresi dan etika bermedia, kemudian mereka juga harus memahami bahwa sebagai pelajar, ada aturan dan batasan yang melekat pada identitas mereka, baik dari sisi norma sosial, nilai moral, maupun aturan sekolah terkait semua konten yang sedang viral dikuti.

Menurut Data Survei dari World Population Review tahun 2025 menunjukkan bahwa rata-rata IQ di Indonesia adalah 93,18, menempatkan Indonesia pada peringkat ke-98 dari 199 negara. (lihat selengkapnya di. The World Ranking+4worldpopulationreview.com+4Instagram+4)

Meskipun data menunjukkan tantangan, penting untuk melihatnya sebagai peluang untuk perbaikan. Dengan dukungan yang tepat dari keluarga, sekolah, dan masyarakat, serta peningkatan dalam kurikulum yang menekankan pada pengembangan keterampilan berpikir kritis dan kreatif, siswa SMA di Indonesia memiliki potensi besar untuk berkembang.

  1. Peningkatan Literasi Digital di Sekolah

Sekolah perlu mengintegrasikan pendidikan literasi digital dan etika bermedia ke dalam kurikulum. Pembelajaran juga harus mencakup cara menggunakan media sosial dengan bijak, memahami dampak dari setiap unggahan, dan membedakan antara konten positif dan negatif.

Tidak cukup hanya melarang atau menghukum, tetapi juga membekali siswa dengan pemahaman dan keterampilan untuk menjadi pengguna aktif yang bertanggung jawab.

  1. Penguatan Pendidikan Karakter dan Moral

Pendidikan karakter harus diperkuat secara menyeluruh dan lebih tegas, baik di sekolah maupun di rumah. Nilai-nilai seperti tanggung jawab, empati, sopan santun, dan kesadaran diri harus ditanamkan sejak dini.

Mereka paham batas dan nilai yang dianut masyarakat, mereka akan lebih bijak dalam mengekspresikan diri di dunia maya tanpa melupakan identitasnya sebagai pelajar.

  1. Peran Orang Tua yang Aktif dalam Pengawasan dan Pendampingan

Orang tua tidak boleh menyerahkan sepenuhnya pendidikan pada sekolah. Orang tua perlu menjadi pendamping aktif yang memahami dunia digital anak remaja, memberikan arahan, sekaligus menjadi tempat diskusi ketika anak mengalami tekanan dari media sosial.

Komunikasi terbuka antara anak dan orang tua sangat penting untuk membentuk pemahaman dan kesadaran bersama.

  1. Media dan Masyarakat Harus Lebih Bijak dalam Menyikapi Tren Anak Muda

Media memiliki peran besar dalam membentuk opini publik. Dimana informasi media bersifat cepat. Oleh karena itu, media harus menyajikan pemberitaan yang seimbang dan mendidik, tidak hanya menyoroti sisi kontroversial tetapi juga menampilkan sisi positif dari aktivitas anak muda.

masyarakat juga perlu mengubah cara pandangnya, dari mudah menghakimi menjadi lebih memahami dan mendukung proses tumbuh kembang generasi muda.

Bagaimanapun, mereka adalah penerus bangsa ini. Sebagai masyarakat yang terbilang dewasa, menghakimi mereka bukan langkah yang tepat. Penting bagi kita dalam membangun ruang diskusi untuk membahas fenomena ini dengan mempertimbangkan banyak segi kehidupan.

Masa remaja dapat dikatakan sebagai masa golden age tahap dua setelah balita. Remaja merupakan generasi bangsa yang harus diperhatikan dari segi perkembangan mental dan emosionalnya. Masalah mental emosional pada remaja merupakan sesuatu hal yang menghambat seseorang dalam usahanya menyesuaikan diri dengan lingkungan dan pengalamannya. (baca di: https://journal.upgripnk.ac.id/index.php/sosial/article/download/50/49).

Video tren yang ditampilkan di tiktok satu sisi merupakan bentuk ekspresi. di sisi lain, tidak menutup kemungkinan pula mengarah ke konten berlebihan dan tidak sesuai dengan nilai yang ada dalam masyarakat. Meskipun demikian, hal tersebut tidak layak mendapat repon negatif dari masyarakat.

Stigma negatif masyarakat tentang generasi yang saat ini berkembang tidak boleh kita biarkan. Karena dengan mebiarkan hal tersebut, akan membentuk tembok pemisah antara dua generasi yang hidup dalam satu waktu yang sama. Hal ini akan menyulitkan masyarakat untuk bekerjasama untuk membangun bangsa kedepan.[]

Penulis : Raihani Aisyah (Mahasiwi program studi Komunikasi Penyiaran Islam. Unversitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh raihaniaisyahh@gmail.com)

Editor : Aininadhirah