Pemberdayaan Nelayan Melalui Pendekatan Bottom-Up dalam Mengatasi Kemiskinan Pesisir

Sumberpost,com | Banda Aceh- Indonesia menempati posisi kedua garis pantai terpanjang di dunia. wilayah perairan laut yang luas menjadikannya memiliki potensi besar dalam sektor perikanan. Ironinya sebagian besar nelayan hidup dalam kemiskinan. Data BPS tahun 2014 menunjukkan bahwa 23,79% rumah tangga nelayan laut dan 24,98% rumah tangga nelayan di perairan umum tergolong miskin. Melansir portal Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia ada sebanyak 2,7 juta nelayan di Indonesia menyumbang 25% terhadap angka kemiskinan nasional. ketidaksejahteraan menjadi permasalahan ditengah-tengah sumberdaya yang melimpah, terdengar aneh tapi fakta dilapangan sepeti itu.


Beberapa hari lalu, dalam sebuah ruang diskusi kuliah, seorang mahasiswa dari wilayah pesisir, sebut saja dian, ia bertanya “indonesia kaya sumberdaya, termaksud tempat saya di sektor perairan laut, bagaimana masyarakat bisa sejahtera, tata kelolanya seperti apa?, saya saja menghindari makanan-makanan seperti udang dan beberapa jenis ikan karena mahal sekali harganya”. “Kok bisa?” terbersit dalam benak, sejenak saya berpikir bagaimana bisa seorang anak nelayan, penghasil tangkapan laut seperti udang, gurita, dan ikan tapi kesulitan untuk menikmatinya. Pertanyaan tersebut membawa kita pada kenyataan ekonomi dan kemampuan pengelolaan sumber daya perairan. Dalam konteks ekonomi saat ini, di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok, para nelayan harus menyiapkan uang di sakunya untuk biaya operasional melaut.

Siklus “gali lobang tutup lobang’’ kerap menjadi pola belanja harian di masyarakat nelayan karena tingginya biaya operasional, sementara penghasilan yang tidak menentu.
Sebagian besar nelayan tradisional di Indonesia sangat bergantung pada ketersedian sumberdaya ikan langsung dari alam bebas, minimnya penggunaan teknologi modern membuat mereka rentan mengalami kerugian, baik akibat perubahan musim, iklim, lokasi penangkapan, harga ikan, maupun jumlah hasil tangkapan yang tidak menentu, sehingga pendapatan mereka sering kali lebih kecil dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan. Tidak mengherankan hal itu bisa terjadi, sebab banyak nelayan masih bergantung pada intuisi dan pengalaman untuk menentukan lokasi penangkapan ikan, berbeda dengan nelayan modern yang menggunakan teknologi canggih sehingga lebih efisien.


Ekonomi sektor perikanan telah menjadi sumber penghidupan bagi banyak keluarga. Perikanan mencakup semua aktivitas pemanfaatan sumberdaya perairan yang berkaitan dengan penangkapan, budidaya, pengolahan, hingga pemasaran. Perairan laut indonesia memiliki zona litoral & zona sublitoral/neritik yang sangat luas, menjadikannya modal dasar dalam pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan seperti budidaya ikan, avertebrata laut seperti timun laut/teripang, dan Crustacea yaitu lobster, kepiting dan lainnya. Namun, potensi ini tidak otomatis meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa adanya pengelolaan yang baik serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM).


Selama ini, upaya pemberdayaan masyarakat nelayan sudah lama menjadi perhatian pemerintah, terutama nelayan-nelayan yang masih dibawah garis kemiskinan. berbagai macam program yang dilakukan dengan kucuran dana sekian. Sayangnya, banyak dari program tersebut masih bersifat top-down, sehingga masyarakat hanya sebagai penerima dan menunggu, bukan pelaku aktif, akibatnya, efektivitas program tidak selalu optimal, bahkan tidak berkelanjutan. Dalam pendekatan pemberdayaan masyarakat, konsep bottom-up menjadi salah satu cara pandang yang seharusnya lebih diutamakan, pendekatan bottom-up secara prinsip memposisikan masyarakat sebagai subyek baik dalam proses perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, hingga evaluasi program. Alasan mendasar konsep bottom-up ini sangat relevan diterapkan karena masyarakatlah yang lebih mengenali kondisi wilayahnya, memahami kebutuhannya serta keberlanjutan berada di tangan masyarakat itu sendiri.


Selanjutnya, di sinilah peran pemerintah sebagai yang memfasilitasi bukan hanya sebatas menyediakan sarana berupa pembiayaan, akan tetapi bagaimana dapat membangun kolaborasi dengan akademisi, ahli dan berbagai pemangku kepentingan. Tujuannya agar pemberdayaan yang dilaksanakan punya pengaruh besar dan berpeluang besar berhasil. Optimalisasi kapasitas nelayan dapat dilakukan melalui penyuluhan rutin, membentuk kelembagaan nelayan untuk berusaha, adanya pelatihan penggunaan alat teknologi serta evaluasi dan tindakan lanjutan yang melibatkan mereka secara aktif. Dengan upaya-upaya seperti inilah yang mendorong para nelayan untuk mampu mengatasi permasalahan sosial ekonomi mereka secara mandiri. Nelayan tidak hanya menjadi penerima manfaat, tetapi juga penggerak utama dalam proses perubahan. Maka, pemberdayaan nelayan berbasis pendekatan bottom-up bukan sekadar pilihan, tapi keharusan untuk membangun kemandirian dan keberdayaan yang berkelanjutan.[]

Penulis : Idaman Syahputra Caniago (Mahasiswa Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh)

Editor : Aininadhirah