
Aceh Bukan untuk Dipertaruhkan, Tolak Klaim 4 pulau di Singkil
Sumberpost.com | Banda Aceh – Ingatlah bahwa ada pahlawan yang pernah berjuang mati-matian untuk kemerdekaan wilayah Aceh ini, bagaimana perasaan mereka jika tau apa yang terjadi sekarang?
Tentunya merasa sangat prihatin dan kecewa melihat situasi saat ini. Wilayah yang dulunya diperjuangkan dengan penuh pengorbanan, kini menjadi objek perebutan yang seolah-olah tidak menghargai sejarah dan nilai-nilai perjuangan yang telah ditanamkan.
Aceh bukan hanya sekadar wilayah geografis. ia adalah simbol dari identitas, budaya, dan sejarah yang telah dibangun oleh para pendahulu kita. Ketika wilayah-wilayah seperti Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang diperebutkan tanpa mempertimbangkan akar sejarah dan perjuangan masyarakat Aceh, kita seolah-olah mengabaikan makna dari kemerdekaan itu sendiri.
Perjuangan untuk kemerdekaan Aceh bukanlah sekadar perjuangan fisik, tetapi juga perjuangan untuk mengakui hak-hak dan martabat masyarakat Aceh. Setiap tetes darah yang tumpah, setiap nyawa yang hilang, adalah pengorbanan untuk memastikan bahwa generasi mendatang dapat hidup dalam kebebasan dan kehormatan.
Namun, ketika wilayah-wilayah ini diperlakukan sebagai barang dagangan dalam permainan politik, kita merusak warisan yang telah dibangun dengan susah payah. Hal ini menciptakan luka yang dalam di hati masyarakat Aceh, yang merasa bahwa perjuangan mereka tidak dihargai dan diabaikan.
Pernyataan Mendagri Tito Karnavian yang menyebut perlunya peninjauan batas wilayah antara Aceh dan Sumatera Utara, khususnya soal empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil, bukan hanya memicu keresahan masyarakat, tapi juga menyulut kritik dari kalangan mahasiswa. Empat pulau yang dimaksud: Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang sejak lama masuk dalam wilayah administratif Aceh, tepatnya di Kabupaten Aceh Singkil.
Sebagai mahasiswa Aceh, kami menilai bahwa pernyataan Mendagri membuka ruang klaim oleh Sumatera Utara, yang justru bisa memperkeruh hubungan antarprovinsi. Bukannya menyelesaikan, wacana semacam ini justru bisa memicu konflik baru yang tidak perlu.
Dari segi sejarah dan administrasi, pulau-pulau tersebut sudah tercatat dalam peta resmi pemerintah pusat dan dokumen Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai bagian dari Aceh. Bahkan, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang kode wilayah, keempat pulau itu tercantum dalam peta Aceh Singkil. Lalu atas dasar apa dipertanyakan kembali?
Lebih jauh, Aceh memiliki status otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Artinya, segala bentuk pengelolaan wilayah harus melibatkan Pemerintah Aceh secara langsung, bukan diputuskan sepihak oleh pusat atau berdasarkan tekanan dari pihak lain. Mengabaikan kewenangan ini sama saja merusak semangat perdamaian pasca-konflik Aceh.
Sebagai mahasiswa, kami tidak menolak dialog, tetapi menolak segala bentuk klaim sepihak. Apalagi jika didasarkan hanya pada alasan “kedekatan geografis” atau “hubungan sosial,” karena hal tersebut tidak bisa menggeser batas hukum dan sejarah. Aceh bukan tanah kosong yang bisa ditarik garis ulang sesuka hati.
Kami menegaskan bahwa empat pulau di Aceh Singkil adalah milik Aceh, bukan wilayah abu-abu yang bisa dinegosiasikan demi kepentingan politik atau administrasi. Pernyataan Mendagri harus diklarifikasi dan disikapi dengan hati-hati, karena menyangkut harga diri, sejarah, dan hak masyarakat Aceh. []
Penulis : Alqadri Naufal Akbar (Ketua DEMA FISIP UIN Ar-Raniry 2025)
Editor : Alya Ulfa