
Marginalisasi Suara Rakyat Dalam Keputusan Pemindahan 4 Pulau di Singkil
Sumberpost.com | Banda Aceh – Polemik pemindahan empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil ke wilayah administratif Sumatra Utara, khususnya Kabupaten Tapanuli Tengah, merupakan sebuah keputusan yang patut dipertanyakan. Berdasarkan putusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 tahun 2025, yang dikeluarkan pada 25 April 2025, langkah ini tampaknya diambil tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan kultural yang lebih luas.
Keputusan sepihak ini berpotensi merusak hubungan antar daerah dan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah pusat. Masyarakat Aceh, yang telah lama menjalin ikatan historis dan kultural dengan pulau-pulau tersebut, merasa terpinggirkan dan diabaikan. Kekhawatiran mereka bahwa keputusan ini akan menjadi preseden buruk bagi pengelolaan wilayah di masa depan sangatlah beralasan.
Pemerintah seharusnya menyadari bahwa setiap kebijakan yang diambil tidak hanya berdampak pada aspek administratif, tetapi juga pada kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Mengabaikan suara rakyat dan nilai-nilai sejarah yang telah terjalin selama ini adalah sebuah kesalahan fatal. Keputusan ini seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk lebih mendengarkan aspirasi masyarakat dan menghormati kearifan lokal dalam setiap kebijakan yang diambil.
Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah untuk melakukan dialog yang konstruktif dengan masyarakat Aceh, agar keputusan yang diambil tidak hanya mencerminkan kepentingan administratif semata, tetapi juga menghormati hak dan aspirasi masyarakat yang terdampak. Tanpa adanya pendekatan yang bijak dan inklusif, pengalihan wilayah ini akan terus menjadi sumber ketegangan dan ketidakpuasan di kalangan masyarakat.
Saya merasa bahwa keputusan ini juga mencerminkan pengkhianatan terhadap MoU Helsinki, yang seharusnya menjadi landasan bagi penyelesaian konflik dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat Aceh. MoU tersebut menekankan pentingnya dialog dan penghormatan terhadap kearifan lokal, namun langkah ini justru menunjukkan sebaliknya. Keputusan ini bisa memicu kebangkitan kembali tuntutan referendum dari masyarakat Aceh, yang merasa hak-hak mereka diabaikan.
Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah untuk memperbaiki situasi ini, kita mungkin akan menyaksikan gelombang protes dan tuntutan yang lebih besar dari masyarakat Aceh, yang ingin memastikan bahwa suara mereka didengar dan dihargai. []
Penulis : Arifal Akbar (Mahasiswa Ilmu Politik)
Editor : Alya Ulfa