Menilik Kejanggalan Prosedural Dalam Perpindahan 4 Pulau Singkil

Sumberpost.com | Banda Aceh – Peralihan empat pulau yang sebelumnya masuk wilayah Kabupaten Aceh Singkil ke dalam administrasi Provinsi Sumatera Utara kembali menimbulkan pertanyaan serius terkait kejelasan batas wilayah dan proses pengambilan keputusan yang berdampak langsung pada masyarakat Aceh. Empat pulau tersebut Pulau Lipan, Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Panjang.

Sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik (HIMAPOL) UIN Ar-Raniry, saya memandang bahwa keputusan ini tidak sepenuhnya mencerminkan prinsip transparansi dan partisipasi publik. Meskipun memang telah ada kesepakatan antara Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara mengenai batas administrasi di kawasan perbatasan tersebut, faktanya, banyak pihak di Aceh yang tidak mengetahui isi dan implikasi langsung dari kesepakatan itu. Hal ini menjadi persoalan serius, sebab menyangkut kedaulatan wilayah, identitas masyarakat pesisir, serta keberlanjutan pengelolaan sumber daya lokal.

Sebagai mahasiswa politik, kami menolak setiap bentuk keputusan yang tidak transparan dan tidak melibatkan pemangku kepentingan lokal. Pemerintah Aceh seharusnya bertindak tegas, jangan hanya diam. karena ini menyangkut integritas wilayah dan wibawa pemerintahan daerah

Mentri dalam negeri tito karnavian juga mengatakan bahwa batas wilayah darat sudah disepakati dan ditanda tangani kedua belah pihak, aceh dan sumut. namun batas lautnya masih belum mencapai kesepakatan.

Artinya, bagaimana mungkin status administratif pulau-pulau ini bisa diputuskan sepihak jika batas lautnya saja belum disepakati? Ini kontradiktif. Kalau mengacu pada logika hukum wilayah, maka keputusan soal pulau seharusnya menunggu tuntasnya kesepakatan batas laut, bukan diputuskan dulu lalu disusul klarifikasi.

Sebagai mahasiswa ilmu politik, saya memandang ini sebagai bentuk kejanggalan prosedural. Keputusan yang diambil terlalu terburu-buru dan berpotensi melemahkan posisi hukum Aceh dalam jangka panjang.

Ini seperti memutuskan kepemilikan pulau sebelum tahu batas lautnya sampai di mana. Prosedurnya terbalik. Pemerintah Aceh tidak boleh tinggal diam dan menganggap ini hal biasa. Harus ada evaluasi dan langkah politik yang jelas untuk memperjuangkan hak wilayah Aceh

Menurut saya, keputusan ini terlalu terburu-buru dan rawan menimbulkan ketimpangan ke depan. Kalau sekarang Aceh diam, maka bukan tidak mungkin ke depan wilayah lain juga akan diambil alih dengan cara serupa. Ini bukan hanya soal peta, tapi juga soal kedaulatan administratif dan tanggung jawab pemerintah.[]

Penulis : Dicky Aulia (Ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik UIN Ar-Raniry 2025)

Editor : Alya Ulfa