Dua Dekade Tsunami Aceh, Peziarah Padati Kuburan Massal di Desa Siron

Sumberpost.com | Banda Aceh – Ratusan peziarah memadati kuburan massal di Desa Siron, Kabupaten Aceh Besar, pada Kamis, (26/12/2024). Hal tersebut dilakukan untuk mendoakan orang tua, saudara, dan kerabat yang menjadi korban gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada 2004 silam.

Peristiwa memilukan tersebut terjadi tepat 2 dekade yang lalu, pada Minggu (26/12/2004). Gempa berkekuatan 9,1 Skala Richter yang mengguncang provinsi Aceh selama 8,3 menit dan menyebabkan bencana tsunami yang menewaskan ratusan ribu orang. Berdasarkan data, diperkirakan lebih dari 170.000 jiwa menjadi korban dalam tragedi tersebut.

Diketahui sejak pagi hari, kuburan massal di Desa Siron sudah mulai dipadati oleh para peziarah, yang mayoritas datang bersama keluarga mereka. Peziarah terus berdatangan hingga dari pagi hingga siang hari untuk memberikan doa bagi para korban.

Salah satu peziarah, Julimar Sitanggang, mengungkapkan bahwa ia adalah salah satu keluarga korban tsunami. Pria beragama Katolik yang berasal dari Samosir, Sumatera Utara, dan telah lama menetap di Banda Aceh, kehilangan empat anggota keluarganya dalam bencana tersebut.

“Dalam bencana itu, empat anggota keluarga saya hilang tanpa jejak. Tidak ada jenazah yang ditemukan,” ujar Sitanggang.

Ia mengenang dengan jelas saat itu adalah hari Minggu. Rutinitas dirinya setiap hari Minggu adalah ke gereja. Namun pada saat ia tiba di gereja hari itu, gempa besar mengguncang, memaksa dirinya dan beberapa orang lainnya untuk bertahan di gereja semntara waktu.

“Saya mengenakan baju ini pada hari Minggu tersebut, saat saya hendak beribadah. Kenangan saya sangat membekas, bahkan pakaian yang saya kenakan ini tetap saya simpan hingga sekarang. Ini adalah pakaian yang saya pakai ketika melintasi air tsunami yang menghanyutkan segalanya di sekitar kami,” tambah Sitanggang.

Sitanggang juga menceritakan pengalamannya saat berusaha menyelamatkan diri dari terjangan tsunami.

“Saat itu, saya bersama beberapa teman sedang dalam perjalanan menggunakan motor dan mobil. Ketika mendekati rumah Kapolda, kami melihat kerumunan orang dan langit yang gelap, seperti awan hitam pekat. Kami tidak menyangka itu adalah air laut. Begitu air mulai terlihat, kami segera berbalik arah,” ceritanya.

Setelah berbalik arah, ia dan teman-temannya berlari mencari tempat aman.

“Kami sempat berpisah. Di dekat Simpang Jam, saya menemukan pohon besar dan segera memanjatnya. Dari atas pohon, saya melihat air semakin tinggi dan jumlah korban bertambah,” ujarnya.

Setelah air mulai surut, Sitanggang berenang dari Taman Sari menuju gereja kembali.

“Tragedi tsunami ini meninggalkan luka yang sangat mendalam bagi saya dan banyak orang lainnya. Hingga kini, kisah ini menjadi pengingat tentang betapa dahsyatnya bencana itu,” tutupnya. []

Reporter : Agamna Azka

Editor : Anzelia Anggrahini