Oleh : Qafrawi Reinza
Seuntai do’a pengantar tidur.
Biarkanlah aku mati dalam bayangan. Bayangan keindahan bersama kalian. Biarkanlah aku mati bersama kenangan. Kenangan yang menyertai hari-hari kalian. Biarkanlah aku mati bersama keteduhan. Keteduhan yang menghinggapi di wajah kalian. Biarkanlah aku mati bersama keberingasan. Keberingasan semangat yang tak mampu di ukur dengan uang. Biarkalah aku mati bersama kedamaian. Kedamaian yang kalian agungkan untuk mencapai ridha Allah penguasa alam. Biarkanlah aku mati. Mati bersama iringan wajah kalian. Ya, kalian…
21 November ‘13
Usai dua puluh tiga tahun tidak menghalangi niatnya untuk terus mengembara. Mencari setiap asa yang terkapar di sudut kota. Belum lagi beberapa cemoohan dari beberapa orang desa. Dia dianggap sebagai pemuda yang tak bermasyarakat. Namun itu tidak menjadi halangan baginya. Ia terus menyusun rencana untuk penghujung perjalanannya. Tak peduli ada aral yang menggunung di depan matanya. Tak sedikitpun ia gentar. Namun di balik itu ia menggantung asa untuk meminang seorang gadis pilihan dunia.
Hari demi hari terus ia jalani. Dari pagi hingga sore hari ia selalu merenung dan membayangkan masa ujung mudanya. Ya benar, ia kini tak lagi muda. Tak lagi bisa pergi seenaknya. Walaupun asanya terus ia sandarkan pada keyakinan yang selalu membara. Ia terus merenung. Sesekali ia menulis catatan kecil untuk sang penyempurna jiwa.
“Kelak waktu itu pasti akan tiba”,pikirnya.
Dahi hitamnya mengernyit sambil berfikir keras. Masih dalam keadaan merenung, lalu ia bergerak ke salah satu meja kerjanya. Depan hati-hati ia membuka sebuah kotak kecil simpanannya. Kotak yang berisi beberapa koin seribuan. Tanpa disadari ada secarik cacatan kecil yang terselip di dalamnya.
“Tetap luruskan niat ya”
21 Maret ‘11
Itulah pesan yang tertera di balik kertas itu. Ia mungkin lupa apa makna yang tersirat di balik tulisan itu. Ia berfikir keras untuk mengingatnya. Akhir-akhir ini memang ia menjadi seorang pelupa yang hampir akut. Sekuat tenaga ia mencoba mengingatnya tapi apa hendak di kata, ia tetap lupa. Hanya dalam hatinya ia meyakini akan ada makna yang sangat dalam yang pernah di sampaikan oleh seseorang padanya.
*****
Di suatu penghujung malam.
Ia berbalik kembali ke tempat peraduan semula. Kembali ke balik layar komputer sambil membuka beberapa folder foto jadulnya. Sambil membolak-balikkan kursor laptopnya ia tak sengaja kembali melihat catatan yang pernah ditulisnya. Kali ini ia bisa mengingat persis apa yang ada di dalam catatan tersebut.
“Ketika kau lelah datanglah kepadaku. Kepada pasanganmu yang selalu setia menunggu. Ketempat kita pertama bertemu. Disudut jalan dibawah pohon pinus itu. Tempat awal mula aku menyapamu dengan panggilan, “Hi dear, apa kabarmu?”. Datanglah sambil menyiulkan alunan suara burung kenari”.
30 Oktober ‘11
Ia ingat persis untuk siapa catatan itu berlaku. Catatan yang ia tuliskan ketika saat itu bertemu dangan seorang gadis sederhana di balik parkiran. Ia memang tak mengenalnya secara dekat. Namun ketidaksengajaan membuat ucapan itu terlontar cepat. Dengan perasaan malu pun bertaut rindu. Seakan tidak mau perduli, ia kembali melihat beberapa foto lainnya. Terlihat foto gadis belia berwajah rupawan. Ia masih ingat betul siapa gadis itu. Gadis yang pernah di sapanya 2 tahun yang lalu. Paras asia barat sangat kental terpancar dalam auranya.
Ia juga masih mengingat beberapa gadis yang terlanjur di petakan dalam pikirannya. Gadis yang bisa saja dihalalkannya. Namun seketika itupun pikiraannya lenyap. Ia masih belum bisa melupakan gadis yang disapanya dengan panggilan, Hi Dear itu.
****
Suatu pagi sambil menyeruput kopi.
Belum genap pembicaraannya dengan seorang teman selesai, matanya terbelalak melihat gadis yang anggun. Walau masih terlihat seperti anak-anak namun gadis itu cukup dewasa. Dia langsung mengalihkankan pandangannya walau masih meneruskan pembicaraan dengan teman semejanya. Gadis berbaju baju hijau itu, ya berbaju hijau berbalut jilbab warna warni yang ngetren pada tahun 2012.
Matanya masih terbelalak. ia bahkan belum mengenal namanya, tapi sudah memetakan apa yang akan ia rencanakan apabila bisa meminang gadis berbaju biru itu. Seperti biasa, ia mengambil pulpen dan secarik kertas bekas. Mata pulpen lngsung memainkan perannya menulis beberapa bait kata.
Jenderal sedang galau memikirkan dia. Memikirkan sungai Rhein yang tanpa henti mengaliri 3 negara. Melihat beberapa merpati putih hinggap di trotoar kota Cologne. Juga mendengar riuh rendah suara pabrik di Bremen. Lalu menggigil dingin di balik lembah Ruhr. Jenderal galau memikirkan mahkota yang tertinggal di Stuttgart. Ya di sana, kasihnya sedang tersemat.
15 Oktober ‘12
Begitulah beberapa bait kata yang sempat ia tuliskan di ujung pagi itu. Sambil menyeruput kopi paginya, ia melihat gadis muda itu berlalu sampai tak terlihat lagi. Namun kepergian gadis itu belum membuatnya putus memikirkan peta apa yang ada di masa mendatang.
********
Suatu siang di depan buku catatan pribadi.
Waktu memang tidak bisa menunggu. Waktu akan terus menggilas orang-orang yang tak bisa berjalan sejalur dengannya. Suasana siang yang gerah memang membuat banyak orang frustasi. Banyak orang yang menyalahkan matahari yang tak hentinya menyemburkan aura murkanya. Namun tak sedikit juga yang selalu menengadahkan tangan kesyukurannya.
Sambil membuka catatan-catatan kecilnya, ia kembali menemukan coretan kecilnya yang lain. Coretan yang ia tuliskan di awal 2013. Ada beberapa lemabr yang memuat kisah lamanya dengan seorang gadis (yang dulu) di yakini calon pendampingnya. Ada juga catatan beberapa gadis misterius yang hanya hadir sepintas lalu. Ada juga beberapa catatan keuangan yang sudah dihapusnya. Setelah lama ia melihat dan mengembalikan sedikit ingatan ke amsa lalu,seolah ada gurat-gurat kesedihan yang di ungkapkan wajah kasarnya. Wajah yang biasa menghembuskan keperkasaan seakan luluh oleh beberapa isyarat perasaan yang ia bungkuskan melalui coretan seangin lalu. Memang tidak ada sebuah kesengajaan, tapi cukup untuk sebuah i’tibar yang sangat dalam.
Seakan tak ingin larut, bergeas ia menutup catatannya dengan seuntai goresan kata yang penuh luka.
“ Maafkanlah aku. Maafkanlah dia. Dan maafkanlah mereka. Karena kamu, aku ada. Karena dia, kita bisa tegar. Karena mereka,kita dikenang.”
Entah apa yang dimaksud dengan aku, kamu, dia dan mereka.
Penulis adalah salah satu mahasiswa UIN Ar-Raniry yang mendedikasikan dirinya untuk kantin. Kantin diakuinya merupakan salah satu tempat yang dijadikannya untuk bertemu dengan orang-orang besar. Pencetus #Jenderalkecil di jejaring sosial facebook.
*Foto : kompasiana.com