Sumberpost.com – Ratusan masyarakat yang terdiri dari mahasiswa dan sejumlah elemen sipil lainnya menggelar aksi demo jelang memperingati 9 tahun perdamaian Aceh, 15 Agustus mendatang, di Lhokseumawe, Aceh, Kamis, 14 Agustus 2014. Dalam aksinya mereka meminta Presiden menepati janji merealisasikan butir-butir perjanjian MoU yang sudah dituangkan dalam Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA).
Massa yang mengatasnamakan diri Aliansi Rakyat Aceh untuk UUPA tersebut mengaku kecewa dengan presiden yang terkesan tidak serius merealisasi butir perjanjian damai. “Sembilan tahun sudah usia perdamaian serta 8 tahun UUPA disahkan, harapan dan kewenangan Aceh belum juga selesai,” ujar Firdaus Noezula, Koordinator Aksi.
Sejumlah kewenangan yang menjadi perintah UUPA antara lain kata dia masih adanya sejumlah Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Peraturan Presiden yang belum tuntas. Di antaranya, PP Pengelolaan bersama minyak dan bumi Aceh, PP Nama, dan gelar Aceh.
Kemudian lanjutnya, PP kewenangan pusat yang bersifat nasional di Aceh, Pepres kantor BPN Aceh. “Yang tak kalah pentingnya menyangkut undang-undang atau qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang harus segera dituntaskan, sebab menyangkut masalah penegakan HAM,” sebut Firdaus.
Massa juga menyoroti soal qanun (peraturan daerah) nomor 3 tahun 2013 tentang bendera dan lambang. Menurut mereka, meski sudah disahkan di DPR Aceh, namun implementasinya masih terhambat di pemerintahan pusat.
Selain melakukan orasi, massa juga melakukan aksi long march sambil membagikan 5 tuntuan mereka terkait tema aksi. Kelima butir tuntutan mereka antara lain, Meminta Presiden mempunyai komitmen dengan segera membentuk PP maupun Kepres guna implementasi UUPA , DPR RI harus segera merumuskan ketentuan dan mengawal peraturan pelaksanaan UUPA.
Kemudian kepada Gubernur Aceh serta DPR Aceh untuk terus melobi pemerintah Indonesia dan konsultasi untuk merealisasikan UUPA. Mengimbau masyarakat, mahasiswa, organisasi sipil Aceh untuk mengawal proses turunan dari UUPA agar terealisasi dengan baik.
Lalu meminta masyarakat tidak mudah terprovokasi dengan berbagai isu yang tidak bertanggung jawab dan mengancam perdamaian Aceh. “Permintaan kami ini sebagai wujud komitmen jelas pemerintahan pusat terhadap perjanjian damai yang telah dilakukan pada 2005 silam,” kata Firdaus.
[sumber: Viva]