Sumberpost.com – Pembunuhan terhadap wartawan asal Amerika Serikat, Steven Sitloff, oleh kelompok milisi Daulah Islamiyah atau ISIS memunculkan pertanyaan tentang standar keselamatan yang harus dipenuhi media massa sebelum mengirim wartawan untuk melakukan peliputan di wilayah konflik.
Di Indonesia, standar tersebut diatur Dewan Pers dengan tajuk Standar Perlindungan Profesi Wartawan.
Dalam peraturan yang disetujui dan ditandatangani oleh sejumlah organisasi pers, pimpinan perusahaan pers, tokoh pers, serta Dewan Pers pada 25 April 2008 lalu itu, wartawan Indonesia yang ditugaskan khusus di wilayah berbahaya dan atau konflik wajib dilengkapi surat penugasan, peralatan keselamatan yang memenuhi syarat, asuransi, serta pengetahuan, keterampilan dari perusahaan pers.
Namun, masalahnya, standar tersebut tidak merinci sejumlah hal, semisal pelatihan.
“Apakah pelatihannya dalam bentuk Hostile Environment and First Aid Training (HEFAT) atau diceburkan dulu ke wilayah konflik yang tidak terlalu panas bersama wartawan senior, itu belum diatur secara detail. Yang jelas, wartawan yang akan diterjunkan ke wilayah konflik dan berbahaya harus dilatih dan diberi perlindungan dalam bentuk peralatan yang bisa memproteksi mereka,” kata anggota Dewan Pers, Imam Wahyudi.
Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Arif Zulkifli, mengaku pihaknya senantiasa melakoni peninjauan risiko terlebih dahulu sebelum menugaskan wartawan ke wilayah konflik.
“Kami mengukur seberapa serius tingkat ancaman yang akan terjadi di tempat-tempat yang bakal didatangi wartawan kami, entah di Timur Tengah atau di dalam negeri. Apabila hanya dengar-dengar saja ada ancaman, tapi tidak pasti, kami tidak ada keengganan mengirim wartawan ke daerah konflik,” kata Arif.
Meski demikian, sambungnya, ada kalanya editor-editor Tempomemahami risiko suatu daerah sangat tinggi. Dia kemudian mencontohkan penugasan ke Irak sewaktu Saddam Hussein dilengserkan.
“Saat itu kami mempertimbangkan pentingnya dan hangatnya berita itu. Kami sampai mengirim wartawan ke Irak sebanyak tiga kali. Lalu dalam kasus Suriah, kami pernah mengirimkan wartawan hingga ke Aleppo. Berbahaya, tentu saja. Tapi sulit untuk dijelaskan secara eksak, sampai batas mana peliputan (ke daerah konflik) bisa ditoleransi,” kata Arif.
Dia tidak menampik bahwa menerjunkan jurnalis ke daerah konflik memerlukan intuisi tajam.
“Kadang-kadang kami mengandalkan feeling. Baik feeling dari redaktur di kantor, maupun feeling wartawan yang diterjunkan.”
Soal standar keselamatan, dia menegaskan tidak berkompromi soal peralatan yang harus dipakai wartawan di daerah konflik. “Rompi antipeluru wajib dikenakan,” ujarnya.
Terakhir, Arif mengaku tidak akan mengirim wartawan ke Irak dan Suriah sehubungan dengan adanya peristiwa pembunuhan terhadap dua wartawan asal AS.
“Keamanan penting dan menjadi prioritas kami. Dalam saat-saat seperti ini, kami tidak akan mengirimkan wartawan (ke Irak dan Suriah),” ujarnya.
Sumber: bbc.co