Perang Aceh atau Perang Belanda di Aceh
Rabu 26 Maret 1873, Komisaris Pemerintah Hindia Belanda, Nieuwenhuijzen, berdasarkan kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Belanda, menyatakan PERANG terhadap Kerajaan Islam Aceh. Perlawanan dan pengkhianatan bercampur aduk setelah itu.
Belanda dengan segala kelicikannya, mencari cara menemukan taktik khusus perang untuk menaklukkan Kerajaan Aceh. Bahkan orientalis terkenal Prof. Dr. Snouck Hurgronje (Abdul Gaffar) sebagai konspirasi dikirimkan dari Belanda ke Arab Saudi dan ditempatkan di Aceh untuk mempelajari watak dan karakter kaum muslimin Aceh.
Perang menundukkan Aceh merupakan perang Belanda yang terlama, dan perang termahal yang harus dilakukan Belanda lantaran Aceh tak kunjung takluk. Bagi Belanda, perang di Aceh merupakan kegagalan mereka menerka Aceh.
Itu sebabnya mengapa Aceh dijuluki sebagai “Daerah Modal” bagi Indonesia, satu-satunya daerah yang tidak pernah dijajah oleh Belanda. Peperangan panjang dan melelahkan telah mengorbankan ratusan ribu nyawa manusia bagi kedua belah pihak.
Perang yang mengeluarkan dana besar oleh Belanda ini nyaris membuat bangkrut kas Hindia Belanda dan menyebabkan semua perusahaan-perusahaan sebagai sumber ekonomi Belanda gulung tikar.
Menurut kurun waktunya, perang ini dapat dinamakan sebagai perang delapan puluh tahun dengan korban, lebih seratus ribu orang yang kehilangan nyawa. Di lain sisi, pejuang Aceh berlomba-lomba dalam mencapai syahid.
Itulah sebabnya mengapa perang ini melibatkan seluruh lapisan masyarakat Aceh, tak kecuali perempuan Aceh.
Menggugat Penyebutan Perang Aceh
Perang Aceh atau Perang Aceh dengan Belanda, itulah yang selama ini sering kali kita dengar bukan? Dalam buku-buku sejarah, artikel, opini, acara seminar, atau apapun yang terkait dengan itu.
Perang Aceh tak pernah lekas dalam ingatan kita, begitu juga dengan pejuangnya seperti Sultan Alaiddin Mahmud Syah, Panglima Polim, Tengku Chik Ditiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, dan sebagainya.
Semenjak kuliah di jurusan Pendidikan Sejarah Unsyiah Banda Aceh, sudah 4 tahun yang lalu saya meninggalkan penyebutan “Perang Aceh”. Semula karena memang tidak paham saya menyebutnya sebagai “Perang Aceh”, namun berkat pengetahuan, jarak dan waktu mulai saya hilangkan ingatan tentang penyebutan Perang Aceh.
Saya lebih senang menyebutnya sebagai Perang Belanda di Aceh atau perang Fisabilillah. Sebutan perang Aceh umum terdengar di kalangan masyarakat. Saya heran, masyarakat Aceh yang mengetahui seluk beluk perang tersebut masih saja menyebut perang Aceh.
Perbedaan mendasar antara perang Aceh dengan perang Belanda di Aceh adalah dapat dilihat dari ultimatum perang. 142 tahun silam atau tepatnya 26 Maret 1873 lalu, siapa sangka di Aceh akan terjadi peperangan mahadasyat dengan perputaran uang dan memakan korban jiwa yang sedemikian besar ?
Setelah perang meletus, di sepakati beberapa perjanjian oleh Belanda. Selain perjanjian Traktat London (1824) dan Traktat Sumatera (1871), beberapa alasan lain menyatakan perang tersebut meletus karena, Belanda merasa janggal apabila wilayah Aceh yang letaknya cukup strategis dan merupakan gerbang masuk Nusantara tidak dikuasai seluruhnya.
Sebelum pernyataan atau ultimatum perang itu dicetuskan, pihak Belanda terlebih dahulu melakukan surat-menyurat dengan Kerajaan Aceh. Surat-menyurat tersebut termaktub di Kapal Perang Citadel van Antwerpen pada tanggal 22, 23, 24, 25, 26, 27, 30 Maret dan 01-02 April tahun 1873.
Rincinya, kesimpulan dari isi surat tersebut adalah agar Aceh dapat mengakui kedaulatan dan tunduk kepada pemerintah Hindia Belanda. Akhirnya, Belanda dengan kekuasaan yang ia punya mengeluarkan ultimatum perang kepada kerajaan Aceh.
Pernyataan perang yang dilayangkan Belanda disikapi dengan serius oleh Kerajaan Aceh dibawah Sultan Alaiddin Mahmd Syah. “Tidak ada putusan lain yang kita ambil, kecuali menghadapi ancaman Belanda dengan semangat jihat,” demikian titah Sultan.
Sementara itu, pasukan Belanda telah memasuki wilayah Aceh melalui pantai Ceureumen dan Meugat. Selain itu, Belanda juga berada di pantai Ulee Lheue dengan 3.200 serdadu yang dipimpin Mayor Jenderal J.H.R Kohler. Ia juga dibantu oleh Kolonel C.E van Daalen dan Kolonel A.W. Egter van Wisserkerke selaku kepala staf. Mereka siap menyerang dan menduduki Kerajaan Aceh.
Dengan demikian, jelaslah bahwa perang tersebut bukanlah “Perang Aceh” melainkan “Perang Belanda di Aceh”, mengingat yang menyatakan perang adalah Belanda, bukan Aceh. Lalu, mengapa sampai saat ini kita masih menyebutnya sebagai “Perang Aceh”? Dasar sejarah apakah yang kita pegang sehingga kita berani mengklaim itu sebagai “Perang Aceh”? Apakah Aceh juga pernah menyerang negeri Belanda? dan, apakah Sultan Aceh juga pernah melayangkan surat pernyataan perang sebagaimana yang didalilkan Belanda?
Perang Aceh, sama halnya dengan penyebutan bagi perang Padri, perang Diponerogo, dan sebagainya. Fakta di atas agaknya sudah cukup untuk membuktikan bahwa perang tersebut bukan perang Aceh melainkan perang Belanda.
Jadi, sangat naif sekali kalau dikatakan memori Aceh 1873-1942 sebagai “Perang Aceh” sekalipun perang tersebut terjadi di Aceh. Ini sangat jelas a historis !
Puk-Puk Perang Belanda di Aceh
Tidak ada sejarah di dunia ini yang lebih kasihan dibanding mereka yang hidup dalam masa peperangan. Entah itu mereka yang ikut berperang, ibu-ibu yang dirumah, prajurit perang, musuh, atau siapa saja, bahkan sekalipun bocah-bocah
Perang Belanda di Aceh memang telah lama berkahir, sebagian perang itu diselesaikan di atas hitam dan putih, sebagian lagi tak ada ujungnya. Namun, perang yang telah lama berlalu itu hampir mati dalam kaca mata sejarah.
Setiap kali tanggal peristiwa sejarah Aceh tiba, seperti terbuang sia-sia, hanya sebagian yang menyorot. Masyarakat Aceh larut dalam euforia kejayaan masa lalu. Tidak ada tanggal khusus, peringatan sejarah, apalagi sepetak tanah berisikan replika perang atau sejarah Aceh.
Memang, ada beberapa momen dimana perang Belanda di Aceh dapat terlihat sekilas, seperti adanya seminar, buku sejarah, sejarawan dan media massa, atau Kerkhof dan makam pejuang. []
Chaerol Riezal. Penulis adalah Mahasiswa Unsyiah FKIP Program Studi Pendidikan Sejarah, angkatan 2011, Darussalam – Banda Aceh.
Sekaligus Pengurus Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah se-Indonesia (IKAHIMSI) Koordinator Wilayah VIII Aceh dan Sumatera Utara.