31 Januari 2016 Oleh Abdul Hadi Off

Ketika IP Hanya Menjadi Prioritas Mahasiswa

Melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi merupakan cita-cita setiap generasi muda. Semasa SMA belajar menjadi satu-satunya prioritas siswa untuk mendapatkan nilai tertinggi. Namun terasa berbeda ketika berada di perguruan tinggi.

Nilai, atau mahasiswa menyebutnya IP dan IPK itu bukanlah segalanya untuk menjadi yang terbaik. Fenomena natural yang dapat kita amati, sebagai mahasiswa semester pertama IP ini menjadi hal yang sangat penting, bahkan di semester selanjutnya IPK menjadi harga mati yang tak terelakkan.

Untuk mencapai nilai dengan grafik yang tinggi, entah itu secara individual atau berkelompok, belajar masih menjadi prioritas pertama dan yang utama.

IPK yang tinggi memang menjadi sebuah harapan dan kebanggaan untuk orang tua dan penunjang untuk menumbuhkan rasa percaya diri, serta keistimewaan untuk mendapatkan pekerjaan layak. Namun ada yang terlupakan oleh mahasiswa, yaitu peran dan esensi meraka terhadap lingkungan dan masyarakat. Apakah tolak ukur mahasiswa hanya sebatas IP dan IPK?

Ternyata tidak. IP bukanlah segalanya bagi mahasiswa, selain belajar formal secara akademik, mahasiswa juga harus belajar dengan jalur informal, yaitu mampu memahami, beradaptasi, serta mengabdi kepada lingkungan dan masyarakat sesuai dengan ilmu dan kemampuan yang ia miliki.

Namun dalam hal ini masih banyak mahasiswa yang belum menyadari peran pentingnya terhadap lingkungan. Nilai yang mereka perjuangkan tidak lebih dari angka-angka yang tertulis diselembar kertas.

Benar adanya nilai ini menujukan kemampuan intelektual yang baik, tetapi ada nilai-nilai sosial yang seharusnya juga mereka miliki sebagai penguat identitas mereka. Salah satu contoh realita yang penulis lihat, rata-rata mahasiswa di Banda Aceh baik adalah perantau.

Mereka jauh-jauh datang dari daerah untuk menuntut ilmu, namun apa yang terjadi saat mereka pulang kampung? Ada beberapa diantaranya tidak mampu menerapkan disiplin ilmu sesuai dengan bidang masing-masing.

Realita lainnya, yaitu ketika mereka yang memburu IP tinggi, saat dosen memberikan tugas mahasiswa berjuang untuk menyelesaikannya, ada yang mampu menyelesaikan dengan cepat tugas tersebut, ada juga yang kesulitan. Tapi mahasiswa yang bisa bhakan tidak mau berbagi kepada temannya.

Ini lucu karena kita sekarang mahasiswa bukan lagi siswa SMA yang hanya bersaing mendapatkan rangking pertama di kelas. Mengapa pelit hanya sekedar berbagi informasi. Ada dua faktor yang dapat kita amati, yang pertama, Keinginan untuk lebih unggul dari teman-teman sehingga membuat mereka lupa akan nilai solidaritas.

Dan kedua bagi mahasiswa semester pertama, hal ini menjadi sedikit lumrah bagi mereka yang belum mampu meninggalkan kebiasaan saat di SMA, dan belum bisa sepenuhnya beradaptasi dengan lingkungan perkuliahan.

Ketika Ip hanya menjadi prioritas, dari dua contoh kecil diatas dapat kita amati bahwa banyak nilai-nilai sosial yang terabaikan. Sebagai mahasiswa kepintaran tidak akan bermanfaat jika tidak diimbangi moral yang berestetika.

Penulis bernama Desita Alviaturrahmi, mahasiswa Jurusan Psikologi Fakultas Psokologi UIN Ar-Raniry

Ilustrasi: internet