Dari Gunungan Sampah hingga Kota “Tak Bersampah”
“Sampah itu harusnya dibakar, bukan dibawa ke TPA,” komentar seorang warga Banda Aceh.
Lantas saya terkejut mendengar itu, toh dari kecil sudah diajarkan bahwa tidak semua sampah dapat mengurai. Andaikata, sampah se-Kota Banda Aceh dibakar tanpa seleksi, mungkin saja polusi udara yang dihasilkan akan tembus hingga luar wilayah Aceh. Bagaimana tidak, sampah yang dihasilkan saat ini sudah lebih dari 200 ton per hari. Jika dibiarkan, tentu kota menjadi kotor. Namun, Dinas Lingkungan Hidup Kebersihan dan Keindahan Kota (DLHK3) Banda Aceh selalu sigap menangani urusan sampah. Nyatanya, berbagai program telah dijalankan untuk mewujudkan Banda Aceh Bebas Sampah.
Sahabat Hijau, suatu komunitas yang beranggotakan para pemuda peduli lingkungan, binaan DLHK3, juga siap menjadi mesin penggerak. Setelah turut serta menyukseskan kegiatan Less Waste Event (LWE) Maulid Raya Kota Banda Aceh, komunitas ini kemudian mengikuti edukasi alur pengelolaan sampah hingga ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah di Desa Gampong Jawa Kec. Kuta Raja Banda Aceh.
Edukasi dengan melihat langsung keadaan sampah kota di TPA seyogyanya dapat memberikan rasa empati terhadap lingkungan bagi para relawan. Timbunan sampah yang semakin tinggi seharusnya bisa menjadi gambaran bagi para relawan tentang apa yang harus diperbuat. Jika edukasi itu hanya diberikan melalui pembekalan dengan presentasi semata, mungkin langkah para mesin penggerak ini juga tak lebih dari sekadar teori. Tidak banyak orang yang peduli akan isu lingkungan dan tidak sedikit orang yang terpaksa masuk ke ranah lingkungan. Tetapi, para relawan sahabat hijau dibentuk dengan sentuhan rasa agar senantiasa ikhlas dan sadar akan pentingnya menjaga kelestarian alam.
Rabu pagi 13 Februari 2019, seluruh anggota komunitas yang hadir, termasuk saya, didampingi oleh pegawai DLHK3 berkunjung ke TPA Gampong Jawa. Kami disambut oleh Bapak Darma Setiawan di halaman Intermediate Treatment Facility (ITF), tempat pengolahan sampah organik menjadi kompos di TPA ini. Selanjutnya beliau mengarahkan kami menuju puncak bukit sampah / gunungan sampah. Di sana, saya melihat ada dua sisi yang berbeda. Sisi kiri dipenuhi dengan sampah setinggi lebih kurang lima meter. Sedangkan sisi kanan dan tengah berupa tanah. Saya sempat bertanya-tanya dalam hati tentang perbedaan ini.
Langsung Pak Darma memberi jawaban atas kebingungan saya dan teman-teman tentang TPA ini. Ia menjelaskan singkat tentang proses pengangkutan sampah hingga pengelolaannya. Sampah limbah rumah tangga dan lainnya yang di bawa ke TPA Gampong Jawa tidak dibiarkan bertumpuk begitu saja. TPA ini memakai sistem pengelolaan Sanitary Landfill. Sampah ditumpuk hingga lebih kurang lima meter, kemudian ditimbun dengan kompos dan tanah. Ini bertujuan mengurangi bau busuk yang dihasilkan sampah. Di sini juga ditanamkan pipa untuk membuang air dari sampah ke kolam air lindi. Tidak disangka, ternyata tanah yang saya pijak tadi juga merupakan bukit sampah yang sudah dikelola dengan baik.
“Air ini sangat berbahaya, kalau terkena kulit bisa gatal, namun jika diolah dengan baik, bisa menjadi pupuk cair dan gas,” kata Pak Darma menjelaskan air lindi dari sampah.
Tak hanya sampah residu, sejumlah sampah organik juga diolah dengan baik di TPA ini. Sampah-sampah limbah kayu dihancurkan dengan bantuan alat berat dan mesin pencacah. Sebagian dijadikan pupuk untuk tanaman organik dan sebagian lainnya menjadi pelapis penutup sampah TPA.
Tugas relawan Sahabat Hijau selanjutnya lumayan berat. Menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk memilah sampah sekaligus mengurangi jumlah sampah tidak semudah membalik telapak tangan. Namun jika dilakukan dengan ikhlas, apalagi setelah terjun langsung melihat gunungan sampah di TPA, kegiatan edukasi untuk masyarakat perlahan akan berhasil. Hal paling kecil yang dapat dilakukan relawan adalah dengan memulainya dari diri sendiri, seperti tak lagi menggunakan sedotan plastik. Lalu, mengajak orang-orang di sekelilingnya.
Setelah mengutip banyak ilmu dari TPA, kami berpindah ke Desa Alue Deah Tengoh, suatu desa percontohan penerap sistem Waste Collecting Point (WCP). Warga di desa ini memilah sampah mereka sesuai jenisnya.
“Sampah organik dijadikan pupuk, sampah yang bisa didaur ulang ditabung ke DLHK3, sedangkan sampah residu dibuang ke TPA,” jelas Buk Nufus selaku Ketua Program WCP di desa ini.
Andai semua desa di Banda Aceh menerapkan sistem tersebut, maka tentulah program pemerintah untuk mewujudkan Banda Aceh bebas sampah sukses sempurna. Nah, apalagi yang kita tunggu, pemerintah melalui DLHK3 dan instansi terkait terus mengkampanyekan gerakan bebas sampah dan meluncurkan berbagai program kontinu. Tidak ada alasan untuk menyalahkan pemerintah yang tak peduli lingkungan. Tak perlu pula menghujat sistem pengelolaan sampah kota di TPA sebelum paham betul proses di sana.
Jika masyarakat turut berandil mengelola sampah, maka banyak keuntungan yang akan didapat. Berkaca dari desa Alue Deah Tengoh, kita dapat melihat bahwa sebagian sampah masih bernilai ekonomi. Sampah botol dan kaleng misalnya, masyarakat di desa ini mengumpulkannya di depo WCP untuk kemudian ditabung di Bank Sampah Banda Aceh (BSBA). Tak hanya itu, warga juga memanfaatkan sampah organik sebagai bahan dasar pupuk untuk kebun sayur organik. Hanya sampah residu saja yang dibuang ke TPA.
Gerakan pemilahan sampah dapat ditanamkan dengan pemberian edukasi pada masyarakat. Mendukung ini, Sahabat Hijau siap gerak setiap Minggu pagi di Car Free Day Banda Aceh untuk mengawal sampah agar dipilah oleh warga. Perlahan, kesadaran masyarakat mulai dibentuk melalui aksi Less Waste Event. Tak hanya itu, komunitas ini juga akan mengawal sampah pada berbagai acara besar lainnya di Banda Aceh.
Sampah bukan hanya urusan pemerintah, bukan pula urusan para relawan dan petugas kebersihan. Banda Aceh gemilang bebas sampah mestinya diciptakan bersama-sama. Salam nol sampah!
Cut Della Razaqna, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris UIN Ar-Raniry (Relawan Sahabat Hijau). – Email : cutdellarazaqnaa@gmail.com – IG : @cutdellarz