9 Januari 2020 Oleh Cut Salma H.A Off

Menguak Kisah Pembangunan Rumah di Atas Makam

Sumberpost.com | Banda Aceh- Sebuah alat berat jenis escavator memasuki perumahan Kajhu sekitar satu tahun lalu. Banyak warga yang sudah menunggu, berbondong-bondong menyaksikan apa yang mereka cari selama ini. Harapan dan doa tidak henti-hentinya dilantunkan, bahkan rela datang jauh hanya untuk melihat adakah yang mereka cari.

Aceh, lima belas tahun silam pernah mengalami kisah pilu yang menyebabkan puluhan ribu jiwa melayang.

Gempa berkekuatan 9,2 Skala Richter (SR), disusul gelombang air laut setinggi kurang lebih 20 meter membuat beberapa kota di tanah Serambi Mekkah itu lumpuh total. Bangunan tinggi dan kokohpun hancur tak tersisa. Korban berjatuhan, mayat-mayat dikubur secara massal.

Tahun 2018 lalu, jelang peringatan 14 tahun Tsunami Aceh, 45 mayat korban Tsunami 2004 silam ditemukan di sebuah perumahan di Desa Lamseunong, Kajhu, Aceh Besar.

45 mayat ini ditemukan ketika tukang bangunan menggali tanah untuk septic tank di sekitaran komplek.

Lokasi perumahan baru diketahui merupakan lahan yang pernah dijadikan kuburan massal lima belas tahun silam. Melihat tanah kosong dan mayat yang terus berjatuhan, tanah ini pun dibuat menjadi pemakaman oleh relawan saat darurat pasca Tsunami.

Usut punya usut, ternyata pemakaman ini tidak pernah diketahui sebelumnya oleh warga sekitar. Menurut warga, saat bencana dahsyat itu melanda, semua penduduk asli desa Lamseunong, 85% menjadi korban.

Lamseunong menjadi salah satu daerah terparah akibat Tsunami dan hanya menyisakan 15% warga yang mengungsi ke tempat lain.

“Tanah itu ada pemiliknya, cuma saat itu tanahnya tidak dipakai, jadi kami tidak mengetahui bahwa di situ ada kuburan massal karena waktu Tsunami kami mengungsi dan bangunan-bangunan disini sudah rata dengan tanah,” kata Zulkifli salah satu warga Lamseunong, Jum’at (20/12/2019).

Menurutnya, perumahan ini mulai dibangun pada tahun 2017, dan mulai ditempati akhir tahun 2018.

Walaupun tinggal dalam komplek yang diketahui pernah menjadi lahan pemakaman massal, lantas tidak membuat pembeli atau penyewa rumah komplek tersebut khawatir. Mulyadi salah satunya, warga asal Aceh Selatan ini mengaku sama sekali tidak takut tinggal di sana.

“Saya tidak takut, kita akan kembali ke situ juga nantinya. Saya juga tidak terpengaruh dan tidak mempermasalahkan bahwa di sini ditemuin mayat, karena kitapun tau mereka mati syahid,” ujarnya, Selasa (31/12/2019).

Ia juga mengatakan, sejauh ini tidak ada penghuni di perumahan tersebut yang diganggu ataupun mengalami hal mistis.

“Di sini rata-rata penghuninya mahasiswa, mereka tidak pernah mengatakan bahwa pernah diganggu, bahkan yang cowok-cowok sering duduk-duduk diluar tengah malam,” katanya lagi.

Kronologis Penemuan 45 Mayat

Zulkifli atau yang kerab disapa bang Joel, sedang berada di warung miliknya ketika ditemui oleh Sumberpost. Ia kemudian menceritakan kronologis penemuan mayat saat itu. Joel mengatakan, penemuan mayat terjadi sekitar pukul lima sore, tiga diantaranya kemudian diambil pihak keluarga, sebagian yang lain dimakamkan ulang dengan layak di tanah kuburan milik pemerintah Gampong Kajhu.

“Penemuan mayatnya sekitar pukul lima sore, pertama cuma satu kantong, waktu digali lagi ketemu lagi dua. Karena udah banyak, enggak sanggup gali lagi, dan sudah mau malam juga, akhirnya kami sepakat ditutup saja dulu, besok dilanjutkan penggalian,” katanya.

Zulkifli, salah satu warga sekitar perumahan bekas kuburan massal, Kajhu, Aceh Besar, Jum’at (20/12/2019) / Foto: Riska Zulfira

Keesokan harinya, satu unit alat berat dikerahkan untuk menggali lokasi tempat mayat tersebut ditemukan. Tiga diantaranya sudah diambil pihak keluarga dari Lambada, Pidie, dan Bireuen.

Menurutnya, mayat yang ditemukan tidak semua tulang belulang, ada juga yang masih utuh bahkan tidak berbau (wangi).

Pandangan dalam Dunia Arsitektur
Lalu bagaimana pandangan dalam dunia arsitektur terkait penemuan makan dalam sebuah perumahan?

Sumberpost pun akhirnya menghubungi salah satu Dosen Arsitektur UIN Ar-Raniry, Rinal Hardian.

Menurut Rinal, dalam dunia arsitektur biasanya untuk pembangunan suatu perumahan harus adanya analisis site atau analisa tapak sehingga diketahui kontur tanahnya keras, gambut atau bahkan tidak berkontur.

Dari data ini, maka seharusnya pekerja di perumahan Desa Lamseunong bisa mengetahui adanya mayat di dalam tanah.

“Sebaiknya ketika membangun perumahan, kondisi tanah tentu harus disurvey dulu, baik itu untuk daya dukung tanah, kondisi konturnya, potensi dan masalah-masalah lainnya tentu harus dikaji terlebih dahulu,” katanya, Rabu (25/12/2019).

Sementara salah satu warga yang juga kurang lebih mengetahui seluk beluk pembuatan perumahan tersebut, Zulkifli mengatakan, proses pengecekan ada, hanya saja saat itu tidak disadari adanya mayat.

“Bukan tidak dicek tapi memang tidak menyadari di situ adanya mayat, padahal waktu mau buat ada digali untuk pondasinya, dicek juga tapi tidak ditemukan apa-apa,” jelas Zulkifli.

Sebagian alasan lainnya disebabkan pembangunan rumah sederhana, galian hanya berkisar jarak setengah meter. Sehingga kemungkinan jasad yang tertanam di bawahnya tidak terdeteksi karena galian yang kurang dalam. Sementara untuk pemakaman biasanya berkisar dengan kedalaman satu sampai satu setengah meter.[]

Reporter : Riska Zulfira