Kisah Fotografer Legendaris Mesjid Raya

Sumberpost.com | Banda Aceh- Seorang laki-laki berjalan memutari halaman masjid yang begitu luas. Secercah senyum selalu ia lemparkan setiap berjumpa dengan pengunjung mesjid, dengan harapan ada keberkahan rezeki di dalamnya.

Usianya telah senja, Abdul Manaf Amin, namanya. Di usia genap 80 tahun, ia masih cekatan melangkah menyusuri setiap sudut halaman mesjid. Ditemani sebuah kamera di tangan dan tas yang melekat setia di punggug, Manaf siap menjemput pelanggannya.

Pria kelahiran Sawang, Krueng Mane, Aceh Utara itu, sudah sejak 1960 menginjakkan kakinya di Ibu Kota Provinsi Aceh ini. Awalnya, Manaf pernah bekerja sebagai seorang pelayan di warung kopi, dan beranjak berjualan di kios, hingga menetap sebagai seorang fotografer di Mesjid Raya Baiturrahman.

Abdul Manaf Amin, Fotografer legendaris di Mesjid Raya Baiturrahman, Rabu (1/1/2020) /Foto: Saadatul Abadiah

Sudah lima puluh tahun, laki-laki sembilan anak ini menjadi fotografer di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.

Kepada Sumberpost.com, Rabu (1/1/2020) Manaf menceritakan awal pengalamannya menjadi seorang fotografer hingga mempunyai kamera untuk memotret.

Demi mewujudkan keinginan membeli sebuah kamera, Manaf menabung sedikit demi sedikit dari sisa upahnya bekerja. Kini kamera itu telah berada dalam museum pribadinya.

Di bawah menara mesjid kami berbagi cerita, kerasnya angin yang menerpa membuat tubuh kurus kami bergoyang. Kadang-kadang suaranya terdengar kecil akibat dibawa terbang angin pagi yang menyapa.

Dari lensa kameranya, Manaf dapat menyekolahkan putra putrinya hingga sarjana. Kini seluruh keluarganya menetap di Sawang, Aceh Utara. Sedangkan ia berada di Banda Aceh, kota ladang pencahariannya.

Jauh dari istri dan anak, lantas tak menyurutkan semangatnya dalam mencari nafkah. Berangkat dikala mata hari terbit dan pulang kala matahari terbenam.

Sejak memutuskan berangkat ke perantauan, menjadi seorang fotografer bukanlah pekerjaan yang ia rencanakan, namun rezeki telah yang Maha Kuasa perlihatkan, melalui seorang teman ia menemukan bakatnya.

Matahari semakin naik memutar menuju porosnya. Telah banyak kami bertukar cerita, tidak terasa halaman masjid yang tadinya sepi kini telah ramai dipadati pengunjung. Lagi-lagi semangat Manaf tidak goyah, sambil bersembunyi di bawah menara, ia melanjutkan ceritanya.

Awal kisah, hari itu ia kedatangan seorang teman dari kampung. Kebetulan sang teman adalah fotografer di kampung halamannya yang membawa rombongan ke Banda Aceh untuk liburan. Setelah usai membawa rombongan berpergian, sang teman yang berprofesi sebagai tukang foto (fotografer) memilih tidak pulang dulu kekampung halaman. Ia memilih tinggal sehari di rumah Manaf.

Keesokan harinya, mereka berlibur ke pantai Lhoknga, Aceh Besar. Kurang lengkap rasanya tanpa mengabadikan moment keindahan. Tanpa pikir panjang, keduanya langsung mengambil gambar sebagai kenangan-kenangan mereka. Karena hanya berdua, mereka akhirnya bergantian dalam memotret.

Hasil dari jepretan keduanya mereka cetak. Saat dilihat, ternyata hasil yang didapat oleh Manaf jauh lebih bagus dari temannya. Saat itulah, Manaf mencoba membeli kamera untuk belajar memotret lebih sering lagi dan memperdalam bakat yang dimilikinya. Ditambah dengan mempunyai seni dalam dirinya, Manaf manjadi tertarik dan suka dalam dunia perfotoan dan memutuskan untuk menjadi seorang fotografer.

Mesjid Raya Baiturrahman adalah objek utamanya. Terletak di tengah-tengah pusat kota, tak jarang mesjid itu selalu ramai dikunjungi orang. Selain untuk beribadah, mesjid yang sudah ada sejak perang zaman Belanda dulu menjadi salah satu sejarah di tanah Aceh yang tidak boleh lupa dari kunjungan wisatawan.

Tidak heran, mesjid ini saban hari ramai pendatang. Alasan lain di ungkapkan Manaf, memotret di sini juga untuk memudahkan ia dalam menjaga waktu shalatnya.

Nyawoeng getanyo geuboh le Allah limong wate sagai, hana gelake laen [Nyawa kita dikasih sama Allah hanya lima waktu saja, tidak diminta yang lain],” katanya.

Kalimat itu seperti lengket di kepala penulis, sederhana tapi penuh makna. Itulah yang selalu Manaf selipkan di sela-sela perbincangan.

Kemana kaki hendak berpijak, dan tubuh hendak berlabuh, sujud kepadaNya adalah yang utama. Tidak ada pekerjaan lain yang ia lakoni, meski sekarang zaman sudah berada di titik modern, ia tetap setia dengan kameranya menawarkan jasa kepada setiap pengunjung mesjid.

Di usianya yang menua dan tulang yang mulai rapuh, tidak sanggup lagi tubuhnya menopang beban yang berat, keahlian yang ia miliki mengantarkannya untuk tetap bisa mengayuh bermuara di zaman globalisasi ini.

Tidak banyak yang ia harapkan, layaknya seorang yang memancing begitulah rezeki yang ia peroleh setiap harinya, terkadang ia pulang dengan tangan kosong tanpa membawa pundi-pundi rupiah. Namun ia bertahan karena ia percaya bahwa rezeki tidak akan pernah tertukar.

Sama that lagee ureung jak manceng [sama seperti orang mancing], kadang-kadang pulang kosong, yang penting kesabaran,” katanya.

Soal hasil jepretan Manaf, sulit diungkapkan dengan kata. Baiknya, jika punya kesempatan pergi ke Banda Aceh, jangan lupa mengunjungi mesjid yang agung nan megah itu. Silakan rasakan sendiri polesan dari jepretan tangan seniman seorang fotografer mesjid yang legendaris ini.

Untuk harganya sendiri, Manaf mematok harga berdasarkan ukuran. Mulai dari Rp.15.000,- hingga Rp.150.000,- setiap ukurannya.[]

Reporter : Saadatul Abadiah