Cerita Minoritas di Tanah Serambi Mekkah
Sumberpost.com|Banda Aceh – “Sejauh ini belum pernah merasa didiskriminasi oleh masyarakat, hanya saja saya merasa ada beberapa orang yang aneh dan risih ketika melihat kami,” ujarnya.
Kalimat itu diucapkan Marcel, Pria 20 tahun yang berperawakan khas Indonesia bagian timur, ketika memulai percakapan. Mahasiswa asal Papua Barat ini sudah satu setengah tahun menginjakkan kakinya di Tanah Serambi Mekkah. Kini ia sedang menempuh pendidikan strata satu di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh program studi Kedokteran Hewan.
Aceh yang dikenal sebagai provinsi dengan penduduknya yang mayoritas pemeluk agama Islam, disebut-sebut sebagai daerah paling intoleran. Meski demikian, menurut Marcel, selama berada di Aceh, ia belum pernah mendengar konflik di wilayah tempat ia beribadah.
“Macam natal, itu juga tidak ada terjadi konflik karena gereja dijaga oleh polisi. Lalu, ketika saya ada kegiatan gereja bersama teman-teman Papua dan di saat itu juga teman-teman ada buat jam tambahan di kampus, mereka tetap memberikan hak saya untuk tetap beribadah,” katanya.
Alih-alih merasa dirugikan atau khawatir, Marcel justru merasa beruntung bisa melanjutkan pendidikannya di provinsi paling barat Indonesia. Mengingat dirinya tidak pernah merasa dibedakan sebagai pemeluk agama minoritas.
Penuturan yang mengejutkan juga datang dari pernyataan Marcel ketika menyebut alasan banyaknya mahasiswa asal Papua yang memilih Provinsi Aceh sebagai tempat mereka megenyam pendidikan meskipun jaraknya sangat jauh dari Papua. Ia mengatakan, Aceh ini cocok untuk orang-orang yang punya niat kuliah serius karena aturannya sangat ketat seperti ada qanun. Jadi, para orang tua juga senang melepas anaknya untuk berkuliah di sini ketimbang tempat lain. Pemerintah juga lebih senang jika pemudanya memilih Aceh sebagai tempat kuliah. Faktor beasiswa mengharuskan mereka selesai tepat waktu dan harus kuliah secara serius. Umumnya hal ini lebih terealisasi pada mahasiswa yang dikuliahkan di Aceh daripada dari tempat lain.
“Ketika saya kuliah di Kedokteran Hewan, saya hanya diberi waktu 6 tahun dari pemerintah untuk bisa menyelesaikan pendidikan dengan uang pemerintah. Mereka yang kuliah di Aceh mampu menyelesaikannya dengan tepat waktu, berbeda dengan teman-teman di daerah lain yang menurut saya lebih bebas pergaulannya,” ujarnya.
Mengenai qanun, Marcel dan teman- teman tidak pernah merasa dipaksa untuk mengikutinya, tetapi mereka tetap menghormati peraturan daerah yang ditetapkan di Aceh.
Bukan Soal Fisik, Melainkan Batin dan Perasaan
Berbeda dari pernyataan Marcel, berikut penuturan dari Vena Besta Klaudina yang sudah sejak umur dua tahun tinggal di Sabang, Aceh.
Wanita berusia 23 tahun penganut agama Katholik ini sempat merasakan beberapa dari diskriminasi non-fisik yang sebagian besar orang tidak peka, namun hal itu membuat dirinya dibedakan.
Vena yang juga merupakan Atlet Taekwondo pernah batal diwawancarai oleh media sebagai siswa berprestasi di sekolahnya hanya karena tidak memakai jilbab. Padahal, saat itu Vena juga merupakan salah satu dari beberapa atlet putri yang berprestasi dan turut mengharumkan nama Aceh. Sayang, hanya beberapa temannya yang berjilbab saja yang diwawancarai.
Selain itu, Vena pernah ditolak saat melamar kerja karena ia non muslim, meskipun sudah bersedia untuk memakai jilbab.
“Mereka memang tidak pernah melakukan kontak fisik hingga konflik berdarah kepada saya dan teman teman lain, tetapi ini masalah batin dan perasaan. Saya yakin teman-teman minoritas yang lain juga merasakan hal yang sama,” ujarnya.
Vena hanya ingin penganut agama berbeda di Banda Aceh ini mampu hidup saling berdampingan , menghargai dan mengayomi. Seharusnya umat yang mayoritas mengayomi mereka yang minoritas dan yang minoritas pun tetap harus menghargai aturan yang telah ditetapkan.
“Tapi apa pun itu, saling menghargai saja lah, menghargai peraturan yang ada. Kaum minoritas harus menghargai peraturan daerah yang berlaku di Aceh saat ini, jangan karena tidak ada kewajiban dari agama untuk memakai jilbab, dengan seenaknya memakai baju ketat dan seksi. Begitu juga, kaum mayoritas sebaiknya memberikan ruang gerak kami di sini untuk bisa berkembang,” ujarnya.
Vena yang juga merupakan Sutradara Film Dokumenter yang berjudul “Minor” ini juga berpendapat, sebenarnya bukan daerah yang menuntun masyarakatnya menjadi intoleran, tetapi sikap manusianya lah yang membuat daerah itu dikatakan tidak toleran.
Gereja dan Natal Diperbolehkan, Tetapi Tidak Diberi Ruang untuk Berkembang
Kisah lain didapat dari seorang pria berinisial B, penganut Kristen Protestan yang juga berkuliah di Aceh. Ia sempat khawatir sebelum memutuskan untuk tinggal di Aceh.
“Perkiraan awal untuk Aceh, ada ketakutan tersendiri, saya pikir bakal ga ada gereja dan gak ada yang Kristen,” katanya.
Pemikiran ini langsung terpatahkan setibanya B di Kota Banda Aceh karena ia dapat menemukan Gereja dan kaum minoritas yang lumayan banyak. Selama merayakan Natal di kota Banda Aceh ini, B juga merasa senang dan ia mengapresiasi kinerja jajaran Kapolda serta beberapa pemuka agama yang telah menyukseskan perayaan natal dengan aman dan damai.
Pria yang juga baru 1.5 tahun tinggal di bumi Syariat Islam ini mengaku belum pernah didiskriminasi secara langsung karena perbedaan agama. Ia hanya sedikit risih ketika teman-teman di kampus yang belum pernah bergaul dengan kaum minoritas mempertanyakan tentang agamanya.
“Agak merasa terganggu dengan teman-teman yang mungkin menurut saya belum pernah bergaul dengan kaum minoritas dan selalu bertanya tentang agama saya. Ujung-ujungnya malah menimbulkan debat,” jelasnya.
Pria 20 tahun ini merasa pergerakannya untuk mengembangkan potensi diri di Aceh menjadi terbatas. Contohnya saja, syarat kandidat duta wisata untuk kabupaten/kota yang ada di Aceh harus beragama Islam, ini menghalangi cita-cita anak minoritas untuk ikut berkompetisi. Begitu pula dengan pemilihan-pemilihan lainnya dengan runtutan syarat yang membuat kaum minoritas tersisih. B berharap agar ada kerjasama dan toleransi di antara umat beragama karena kita ini Indonesia.
“Semoga toleransi dan dan kerjasama antar umat beragama lebih ditingkatkan lagi karena kita ini Indonesia. Mayoritas mampu merangkul kami sebagai minoritas di sini. Jangan biarkan toleransi hanya menjadi sejarah saja,” ujarnya.
Aceh Peringkat Terakhir Indeks Kerukunan Umat Beragama
Perilisan hasil survei yang dilakukan di Kantor Kementrian Agama , JL. MH Thamrin Jakarta Pusat pada Rabu 11 Desember 2019 membuat masyarakat Provinsi Aceh terkejut. Pasalnya, provinsi ini mendapat peringkat terakhir dengan skors indeks kerukunan umat beragama paling rendah. Berita yang dirilis oleh DetikNews.com ini adalah hasil survei resmi yang dikeluarkan langsung oleh Kementrian Agama Republik Indonesia perihal Indeks Kerukunan Umat Beragama untuk tahun 2019. Survei ini dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Bimbingan Masyarakat Agama dan Layanan Keagamaan pada Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan (Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat) Kementrian Agama Republik Indonesia.
Survei ini diikuti 13.600 responden yang menjadi perwakilan dari 136kab/kota yang tersebar di 34 Provinsi yang mana dilakukan pada 16 hingga19 Mei 2019 kemudian 18 hingga 24 juni 2019 menggunakan metode Penarikan sampel secara acak berjenjang dan Margin of Error kurang lebih 4.8 persen. Ada beberapa poin yang menjadi pertimbangan Kementrian Agama dalam menetapkan Peringkat pada setiap Provinsinya, di antaranya adalah toleransi, kesetaraan, dan kerja sama antar umat beragama. Mengejutkan, Provinsi Aceh berada pada peringkat terakhir dengan skors indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) 60,2 dan termasuk di bawah rata rata nasional. Angka ini jauh di bawah Papua Barat yang mendapatkan peringkat pertama.
Namun demikian, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh mempertanyakan hal ini. Dikutip dari detik.com, Ketua Forum, Nasir Zalba mengatakan, tingkat toleransi di Aceh saat ini baik-baik saja dan tidak terjadi konflik. Ia mengaku tak pernah dihubungi terkait survey ini.
Selain itu, dikutip dari analisis Aceh.com, anggota DPD asal Aceh, Fadhil Rahmi juga mempertanyakan data survei tersebut. Menurutnya, Aceh merupakan daerah paling aman, termasuk untuk non muslim. Fadhil menganggap data dari Kemenag ini mesti dikaji kembali kebenarannya. []
Reporter: Uswatul Farida
Foto : Riska Munawwarah