14 Oktober 2023 Oleh Redaksi Sumberpost Off

Eksistensi Mulai Redup, Relevansi Ormawa UIN Ar-Raniry di Pertanyakan

Sumberpost.com | Banda Aceh – Perdebatan terkait relevansi Organisasi Mahasiswa (Ormawa) seakan menjadi buah bibir yang tidak pernah lekang oleh waktu, khususnya di kalangan mahasiswa. Penurunan minat mahasiswa terhadap ormawa bukanlah tanpa alasan.

Pergeseran paradigma mahasiswa menjadi career-oriented. Akibatnya, aktivitas yang kurang relevan dengan persiapan karier, seperti berpartisipasi dalam Ormawa, dianggap tidak memberikan benefit yang signifikan.

Selain itu, keengganan Ormawa untuk menyesesuikan visi dan misi yang sangat mulia dengan yang lebih realitis, mudah dimengerti dan dieksekusi dan tidak normatif membuat Ormawa sedikit cet-langet (berandai-andai).

“Membangun masyarakat, bangsa dan negara”

Membangun seperti apa? Jangkauan organisasi apakah seluas bangsa dan negara? Kata-kata lain seperti sinergis, kolaboratif atau interaktif, memang harus ada di sebuah organisasi tapi tugas anggota organisasi juga memastikan kata-kata tersebut tidak menjadi bumerang bagi organisasinya.

Eksistensi Ormawa yang meredup juga dilatarbelakangi oleh relevansi Ormawa yang mulai dipertanyakan. Hal ini karena kegiatan dan program kerja yang cenderung monoton dari tahun ke tahun. Tak heran jika kita sering mendengar Ormawa dianggap sebatas event organizer.

Mahasiswa juga sering mengeluhkan kebiasaan negatif di Ormawa yang sudah membudaya, misalnya rapat yang molor akibat pembahasan yang bertele-tele.

Tak hanya itu, anggota Ormawa juga sering dilekatkan dengan stereotipe ‘budak organisasi’ akibat beban kerja yang menguras tenaga dan waktu. Terlebih, hubungan individu yang tidak harmonis yang berujung perselisihan juga menjadi faktor Ormawa mulai meredup.

Sebelum memutuskan untuk berpartisipasi ke dalam sebuah organisasi, mahasiswa melakukan pertimbangan terhadap biaya dan manfaat yang timbul dari keputusannya.

Saat mahasiswa melihat bahwa biaya yang timbul lebih besar daripada manfaat yang diperoleh, keputusan untuk bergabung ke dalam Ormawa menjadi tidak relevan.

Adapun biaya yang ditanggung oleh mahasiswa tidak terbatas pada biaya secara moneter, tetapi juga waktu dan tenaga yang harus dikorbankan.

Walaupun demikian, hal tersebut tidak berlaku untuk semua mahasiswa sebab terdapat kelompok-kelompok mahasiswa yang masih melihat bahwa Ormawa membawa manfaat yang sangat besar. Oleh karenanya, keputusan untuk berpartisipasi ke dalam Ormawa menjadi tetap relevan baginya.

Terlepas dari beberapa uraian negatif tentang Ormawa sebelumnya, sejatinya Ormawa tetap dapat memberikan manfaat bagi mahasiswa. Ormawa memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar berkomunikasi, bekerja sama dalam tim, dan berjejaring. Tetapi memang ada sedikit adjustment atau penyesesuaian yang harus dilakukan oleh Ormawa.

Mahasiswa yang saat ini makin realistis dan memiliki orientasi profit seperti exposure, experience, atau bahkan bisa menambah uang jajan. Lantas mereka bakal mencari alternatif pilihan lain. Terlebih keengganan berurusan dengan senior yang memiliki ego tinggi, birokrasi yang ribet membuat mahasiswa mencari kegiatan yang pasti-pasti aja.

Saat ini, Ormawa harus berani menekan tombol reset. Harus berani kembali menanyakan pertanyaan-pertanyan fundamental seperti:

  1. Event yang dijalankan selama bertahun-tahun
    Apakah event yang sudah dilakukan bertahun-tahun sampai berjilid-jilid masih perlu dilakukan?
  2. Bagaimana suatu rapat dilakukan
    Apakah perlu menunggu sampai semua datang baru rapat dimulai? Haruskah sampai dini hari? Apakah rapat diperlukan? Apakah pembicaraan offline diperlukan untuk maju kedepan?
  3. Hubungan senior-junior
    Apakah harus mengedepankan ego tinggi? Apakah kita yang senior berani mengatakan “maaf saya salah”?

Selain itu, ide perubahan lain seperti manajemen swadaya yang tak kenal waktu/ batasan, jadi manajemen yang professional. Dari perintah dan manajemen mikro jadi delegasi wewenang memberdayakan. Dari kaku dan senioritas jadi dinamis dan fleksibel.

Terakhir, kita harus sadar bahwasanya tujuan bisa sama. Cara bisa berbeda dan saatnya transformasi. []

Penulis: Al Hakan Jazuli
Ketua komisi III bidang kemahasiswaan dan kerjasama Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry