ACF dan Dampak Traumatis Bagi Mereka

Sumberpost.com|Banda Aceh- Dari kasus ini, kita patut menduga pengelolaan aset dan kekayaan daerah Aceh bisa diakali. Buktinya, dana yang seharusnya menjadi kas daerah, nol angkanya. Meskipun Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh mendapat rekomendasi gubernur terkait pelaksanaan kegiatan. Tidak sepatutnya, eksekutif mengangkangi regulasi, Selasa, (14/01/2025).

Ar-Raniry Creative Fair (ACF) mendapat suntikan dana bersih dari universitas sebanyak Rp101.000.000 (Seratus satu juta rupiah). Tak hanya itu, ACF merupakan kegiatan komersil yang mengutip ribuan tiket konser dengan harga 120.000 (Seratus dua puluh ribu rupiah) per-tiket. Tidak behenti disana, event ini juga menyerap dana proposal dari sejumlah instansi pemerintah maupun nonpemerintah hingga biaya sewa bazar-bazar yang berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.

UIN Ar-Raniry merupakan instansi pendidikan dibawah Kementrian Agama Republik Indonesia (Kemenag). Sumber dana operasional instansi masih menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara  (APBN), artinya, universitas wajib untuk memberikan pertanggungjawaban kepada publik terkait penggunaan dan pengelolaan uang negara. Sama halnya dengan dana yang disalurkan pada kegiatan kemahasiswaan. ACF contohnya.

Hingga saat ini, pihak universitas dan DEMA UIN Ar-raniry sendiri masih menolak untuk memberikan Lembar Pertanggungjawaban (LPJ) kegiatan ACF 2024 sebagai pertanggungjawaban kepada publik.  Sedangkan pihak-pihak yang menunggu pelunasan utang akibat event ini, masih menunggu pelunasan dan bertanya-tanya, apakah dana yang seharusnya disalurkan untuk membayar utang termasuk dalam LPJ yang diajukan untuk pengamprahan kegiatan ini?. Muncul berbagai pertanyaan. Jika termasuk, mengapa utang belum juga terbayarkan? Jika tidak termasuk, bagaimana dengan pembayaran sewa Taman budaya yang tarifnya sudah diatur dalam Qanun Aceh Nomor 4 tahun 2024 dan data yang menggantung di sistem tanpa pembayaran. Bagaimana kampus dan pemerintah bertanggung jawab atas korupsi yang telah disepakati ini. Dana yang seharusnya masuk dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD) ghaib wujudnya.

Event yang seharusnya dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk menegakkan tridarma perguruan tinggi malah menunjukkan kebrobrokan sistem dan sumber daya manusia. Disaat mahasiswa mendorong rektor dan pemerintah untuk melakukan tranparansi dan akuntabilitas terhadap pengelolaan anggaran, mengapa menolak ketika diminta untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan anggaran event yang skalanya lebih kecil kepada publik?

Untuk diketahui, ACF merupakan agenda tahunan yang diselenggarakan oleh DEMA UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Tahun 2024 silam, kegiatan ini mengusung tema “Bumoe Beumeuhase Adat Aceh Bek  Reulhe”. Dengan berlandaskan tridarma perguruan tinggi dan program kerja DEMA UIN Ar-Raniry, ACF menjadi event besar dalam lingkup universitas. ACF dilaksanakan tanggal 16 hingga 20 Oktober di Taman budaya, Banda Aceh.

Hingga kini, pihak Taman Budaya masih menunggu bukti pelunasan terhadap pemakaian gedung yang terhitung 5 hari pada Oktober tahun lalu. Tarif penyewaan gedung taman budaya telah diatur dalam Qanun Aceh Nomor 4 tahun 2024 tentang pajak Aceh dan Retribusi Aceh. Sesuai regulasi tersebut, setiap kegiatan yang berkenaan dengan seni budaya, pendidikan atau keagamaan dikenakan biaya sewa 2.500.000 per-harinya. Seharusnya, bukti pembayaran penyewaan gedung sudah harus diberikan oleh pihak penyelenggara Acara sehari sebelum acara dimulai. Berbeda dengan ACF.

Pengelola Taman Budaya dan Segala Serangan Minim Etika

Mahasiswa UIN Ar-Raniry dalam pandangan masyarakat hingga kini masih memiliki performa yang baik. Hingga dipatahkan oleh mahasiswa itu sendiri ketika berhadapan langsung dengan masyarakat. Hal ini dirasakan langsung oleh Fatmawati, kepala sub bagian tata usaha taman seni dan budaya.

Fatmawati seringkali melakukan komunikasi kepada setiap penyewa gedung indoor dan outdoor di Taman Budaya untuk berbagai event. Biasanya, segala kebutuhan untuk kesuksesan event di diskusikan dengan Fatmawati. Fatmawati awalnya berpikiran positif terhadap panitia, terlebih lagi mahasiswa UIN yang menurutnya lebih paham agama. Namun ironisnya, ia malah mendapat perlakuan tidak beretika dari panitia. Mulai dari tidak terpenuhinya bukti pembayaran gedung yang seharusnya telah diserahkan kepadanya di hari sebelum acara hingga panitia mengambil sofa di ruangan tanpa izin dan sapaan terlebih dahulu.

“Memang ia punya negara, tapi kan harus kita jaga. Padahal saya ada di dalam ruangan waktu itu. Tapi mereka langsung ambil begitu saja,” keluhnya, Selasa, (07/01/2025).

Fatmawati mengatakan, ia menunggu bukti pembayaran penyewaan gedung dari panitia hingga pukul 18.00 namun tidak juga diserahkan. Ia juga telah berulang kali meminta bukti pembayaran tersebut. Namun, sore 16 Oktober 2024, tanpa bukti pembayaran, panitia langsung masuk ke taman budaya dan mempersiapkan kegiatan ACF.

“Gak dihargainya kita,” tambahnya.

Ia juga mengungkapkan sempat berselisih paham dengan panitia terkait penyewaan gedung hingga menyeret nama baiknya di pemerintah. Awalnya, ia ingin membantu panitia dan berniat memberikan keringanan, terlebih lagi pihak penyelenggara adalah mahasiswa.

“Pengalaman yang lain saya bantu, misalnya mereka buat kegiatan 5 hari, 3 hari mereka bayar dan 2 hari dispensasi. Bukan mau tekan-tekan mereka. Saya bilang, kalian punya uang gak. Kita sewanya 2.500.000/hari, maksud saya bilang itu bukan menjatuhkan mereka,” katanya.

Informasi serupa juga ia sampaikan kepada setiap penyelenggara acara di Taman Budaya. Menurutnya, mahasiswa yang pernah membuat kegiatan di Taman Budaya saat mengetahui tarif penyewaannya, selalu merendah dan meminta bantuannya. Berbeda dengan mahasiswa UIN yang bersikeras akan membayar penuh sewa tempat.

“Makanya saya bilang, kalian kalau ga ada uang ga usah buat kegiatan. Karena akibatnya ke kami. Sampah yang ada di gedung, saya yang tanggung jawab. Kalo ada fasilitas rusak atau apapun itu, dinas nanya ke saya,” ungkapnya.

Desas-desus Fatmawati meminta sejumlah uang kepada mahasiswa untuk penyewaan gedung taman budaya terdengar di telinga Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar). Hal ini terjadi karena Irfan Rahmad Ghafar selaku presiden mahasiswa mengaku dimintai uang sejumlah Rp38.000.000 (Tiga puluh delapan juta rupiah) untuk penyewaan gedung kepada ajudan kepala dinas melalui pesan Whatssapp dan berniat untuk menemui kepala dinas untuk meminta keterangan lebih lanjut terkait tarif yang dikenakan.

Akibat laporan Irfan, nama Fatmawati menjadi perbincangan di Disbudpar. Ia mengaku, tak terlalu menggubris hal tersebut. Meskipun demikian ia juga merasa sakit hati dan cukup trauma akibat kejadian ini.

“Saya gak pernah minta uang ke mereka sebanyak itu. Saya hanya menjelaskan bahwasannya kita di Taman Budaya ada biaya kolaborasi kebersihan. Kenapa harus ada orang kita di kebersihan. Karena, orang luar ga tau titik-titik di gedung ini,” jelasnya.

Ungkapnya, panitia menolak kolaborasi kebersihan dengan Taman Budaya. Pengalaman sebelumnya, tidak ada event yang meninggalkan sampah hingga berhari-hari. Biasanya, jika malam selesai event, maka besoknya area event telah bersih disiang hari. Setelah ACF berlangsung, sampah sempat berserakan selama 2 hari. Setelah melaporkannya kepada pihak DEMA, barulah panitia acara membersihkannya.

“Itupun gak banyak yang bersihin,” katanya.

Harapnya, pihak panitia segera melakukan pembayaran dan menyerahkan bukti kepada pihak Taman Budaya. Ia juga menempatkan posisi sebagai orangtua, ia mengharapkan kata ‘maaf’ dari panitia setelah apa  yang telah diperbuat.

“Intinya kalo udah bayar selesai. Harapanya selesai, jangan nanti kedepannya diutangkan kepada pengurus DEMA selanjutnya. Kami tinggal  menerima bukti lunas. Bayar ke Dinas Penanaman Modal dan buktinya serahkan kesini,” katanya.

Ia tak terlalu mempermasalahkan hal ini ke kampus karena mengetahui akan menganggu kegiatan akademik mahasiswa. Hanya saja, ia menyoroti perbedaan kampus UIN dan Kampus Lainnya.

“Dari awal saja sudah bermasalah,” tutupnya.

Sistem yang Bisa diakali dan Human Error

“Saya memang ada mendapat arahan dari gubernur untuk membantu acara mereka. Namun tidak jelas dibantu apa. Saya kira dibantu untuk daftarkan penyewaan di sistem”

Taman Budaya termasuk salah satu aset yang dikelola oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh. Setiap penyewaan gedung, telah diatur tarifnya pada Qanun nomor 4 tahun 2024 tentang pajak Aceh dan Retribusi Aceh. Untuk kegiatan yang berkenaan dengan seni budaya, pendidikan dan keagamaan, dikenakan biaya penyewaan 2.500.000 per-hari.

Namun, proses perizinan penyewaan gedung ditangani oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP). Disana, setiap penyelenggara event diarahkan untuk mengisi data lewat aplikasi dan melakukan pembayaran secara online melalui aplikasi tersebut. Setelah keluar retribusi pembayaran, barulah penyelenggara event mendapatkan izin untuk menggunakan Taman Budaya.

Berbeda dengan ACF. Perdana mendapatkan surat izin tanpa melakukan pembayaran.

“Waktu itu acara sudah H-1. Kondisiniya mendesak karena besok acara. Terlebih lagi adek-adek mahasiswa, banyak pertimbangan kasihanya,” ungkap Feriyana, Pelaksa Harian (PLH) DPMPTSP. Ia mengaku baru mendapatkan surat dari panitia sehari sebelum acara dimulai, Rabu, (08/01/2025).

Karena hal tersebut, Feriyana memutuskan untuk menyetujui pembayaran di aplikasi sehingga keluar retribusi pembayaran.

“Tapi kita minta surat pernyataan akan membayar setelah acara berlangsung dari mereka. Itu yang kita pegang hingga saat ini. Kita juga tidak ingin maksud hati menolong, tapi malah terjerat. Ini bukti bahwa kita tidak memegang atau menggelapkan uang mereka,” jelasnya.

Surat ini telah dikimkan kepada Disbudpar selaku penerima laporan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sebenarnya, menurut Feriyana, ini penyimpangan yang sangat berani lantaran mengeluarkan retribusi pembayaran tanpa pelunasan oleh panitia. Namun, ia mengatakan hal tersebut terjadi karena banyak pertimbangan kasihan kepada mahasiswa. Dengan catatan surat pernyataan bersedia membayar setelah acara yang ditandatangani oleh ketua panitia dan Wakil Rektor (Warek) III.

“Surat tersebut tidak bisa ditarik sebelum pembayaran dilakukan,” kata Feriyana.

Adapun hal lain yang membuat Feriyana yakin bahwasannya panitia akan membayar, selain prasangka baik adalah arahan dari gubernur yang tidak jelas arah dan maksudnya.

“Saya memang ada mendapat arahan dari gubernur untuk membantu acara mereka. Namun tidak jelas dibantu apa. Saya kira dibantu untuk daftarkan penyewaan di sistem,” tuturnya.

Menurut Feriyana, jika dari awal panitia jujur kepadanya tidak memiliki dana untuk membayar gedung. Seharusnya data penyewaan tidak dimasukkan ke dalam aplikasi.

“Saat ini nama mereka sudah terdaftar di sistem, sehingga tidak bisa keluar dari tarif yang telah ditentukan dan seharusnya masuk ke dalam PAD,” jelasnya.

Hingga saat berita ini dinaikkan, sayangnya Feriyana belum menerima bukti pembayaran dari Panitia. Ia juga bertanya-tanya apakah dana untuk penyewaan gedung dianggarakan oleh universitas atau termasuk dalam dana yang telah diatur alokasinya oleh panitia?.

Penunggakan yang begitu lama seperti kejadian ACF tidak pernah terjadi sebelumnya. Hal ini menyadarkan Feriyana akan kehati-hatian dalam bertindak kedepan. Tak dapat dipungkiri, dinas juga akan lebih memperketat peraturan yang ada, terlebih lagi kepada mahasiswa UIN.

“Ini menjadi kehati-hatian kami kedepannya dalam memberikan perizinan dan juga untuk kedepan mungkin akan sulit bekerja sama,” pungkasnya.

Dana yang Seharusnya Masuk ke Kas Daerah, Ghaib Wujudnya

Setiap penyewaan Taman Budaya, segala bentuk pembayaran sesuai regulasi yang berlaku langsung masuk ke rekening PAD. Disbudpar sendiri memiliki target pendapatan tertentu dari aset yang dikelolanya.

“Jika tidak mencapai target penyewaan berarti kinerja kita yang kurang,” katanya.

Target tersebut termasuk penyewaan Taman budaya tiap tahunnya. Setiap penyewaan Taman Budaya, DPMPTSP harus mengirimkan laporan kepada Disbudpar terkait uang yang masuk ke kas daerah.

Namun, perihal kegiatan ACF, Dendi Stendi, analisis keuangan pusat atau daerah ahli muda Disbudpar mengatakan tidak menerima laporan terkait pembayaran penyewaan Taman Budaya untuk kegiatan ACF. Dalam sistem mereka juga tidak memiliki catatan pembayaran, Kamis,( 09/01/2025).

“Kita disini setiap uang yang masuk ke kas daerah pasti terlapor. Kami tidak menerima laporan dana masuk dengan nominal tersebut. Jika kita tidak menerima laporan, berarti memang belum dibayar,” ungkapnya.

Berarti hingga saat ini panitia belum menuntaskan pembayaran gedung. Jika dilihat dari regulasi, penunggakan pembayaran ini diberlakukan dengan sebesar 2% tiap bulannya.

Lanjut Dandi, jika UIN membayar panyewaan Taman Budaya di tahun 2025. Maka tidak dihitung lagi sebagai pendapatan tahun 2024, karena laporan 2024 telah selesai. Dandi mengatakan perihal ini juga tidak tercatat sebagai utang karena tidak ada laporan dari DPMPTSP.

“Kita sudah tutup buku 2024. Kalau UIN bayar sekarang pun akan dihitung pendapatan 2025,” pungkasnya.

Ketua Panitia Menghilang, Utang Minum Panitia Bagaimana?

Tunggakan utang juga terjadi di kantin Taman Budaya. Jumlah sisa yang belum terbayarkan mencapai Rp 564.000 (Lima ratus enam puluh empat rupiah). Aan, pengelola kantin Taman Budaya telah berupaya menghubungi Indra, ketua panitia ACF sejak Oktober lalu. Namun, Indra kerap kali menunda pembayaran dengan berbagai alasan. Hingga tidak bisa dihubungi setelah memberitahukan kepada Aan, bahwasannya utang akan dibayar saat 24 Desember 2024 silam, Selasa,(07/01/2025).

Aan sempat heran, mengapa utang kantin yang nominalnya kecil tidak terbayarkan. Sedangkan hal lain yang nominalnya lebih besar seperti sound telah dilunaskan. Setelah kejadian ini, Aan tidak lagi memberlakukan sistem bon di kantin bagi setiap mahasiswa yang menyelenggarakan event di Taman Budaya. Semua pembayaran dilakukan dimuka.

Pengalaman penunggakan utang ini juga sudah dijelaskan Aan kepada penyelenggara event setelah kegiatan ACF sebagai contoh tidak baik dan mitigasi resiko kantin.

“Sebelumnya ga pernah gini, maaf ya, semua tercoreng gara-gara UIN. Kan sayang yang lain,” katanya.

Karena kejadian ini, imbasnya kepada mahasiswa yang akan membuat acara di Taman Budaya kedepannya. Menurut Aan, kegiatan ini membawa nama kampus dan disetujui oleh rektor. Penunggakan utang seperti ini tidak wajar terjadi.

Selama di buat USK acaranya gak pernah acak-acakan. Khusus untuk UIN, ketika buat acara lagi disini, apapun yang berkenaan dengan masalah keuangan harus kita tagih dari awal,” tutupnya.

Bagaimana Pandangan Hukum?

Dalam menangapi kasus ini, Yulfan, konsultan hukum menyoroti sumber anggaran dan lembar pertanggungjawaban DEMA UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. ACF bagian dari kegiatan kemahasiswaan, dimana seharusnya terdapat mekanisme pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh pihak kampus, Jum’at, (10/01/2025).

Ia mempertanyakan fungsi penanggung jawab pada ACF dan bagaimana mekanisme pengawasan penggunaan anggaran oleh rektorat serta tranparansi keuangan panitia. Utang piutang ini memang menjadi akibat. Tapi ada faktor pendukung lain, seperti pengawasan, transparansi, alur dan prioritas keuangan yang tidak berjalan. Hal seperti ini terdapat pada mekanisme kepanitian. Panitia harus paham pengelolaan anggaran kegiatan yang bersumber dari pemerintah maupun bantuan yang bersifat tidak mengikat.

“Ini menunjukkan soal metalitas dan persoalan good governance. Bagaimana kita berbicara anti korupsi, sementara kepanitiaan yang skalanya lebih kecil gak beres tata kelolanya,” jelasnya.

Persoalan ini tidak hanya dapat dilihat dari nominal utang yang yang tertunggak, tapi sistem pengawasan kampus terhadap kegiatan mahasiswa sangat lemah dan mekanisme pertanggungjawabannya.

“Berbicara sistem ada dua. Jika tidak human error ya sistem error. Dalam kasus ini berarti human error,” ungkapnya.

Yulfan menjelaskan dari hal kecil ini, untuk kita lihat bagaimana tata kelola aset dan kekayaan di Aceh, kemungkinan akan sama diperlakukan. Sistem bisa diakali dengan alasan yang tidak logis. Patut kita curigai sistem pengelolaan aset di Aceh tidak sesuai dengan prinsip akuntabilitas dan good governance.

Meskipun ada rekomendasi ataupun nota dari gubernur. Nota tidak boleh bertentangan dengan aturan. Meskipun terjadi, tidak boleh sistem diingkari dengan nota-nota tertentu. Permasalahannya, jika belum dilakukan pembayaran penyewaan Taman Budaya, namun sudah keluar retribusi, berarti sistem bisa diakali.

“Memberikan dispensasi terhadap kegiatan mahasiswa tidak seperti ini caranya. Tidak dengan melanggar sistem. Justru kita mendidik mahasiswa agar taat kepada sistem. Pemerintah melakukannya dengan cara yang salah, mahasiswa juga memanfaatkan kesalahan itu. Ini sama-sama korup. Korupsinya ini sudah disepakati,” tegasnya.

Buktinya, uang yang jatahnya menjadi kas daerah tidak muncul. Ini bukan soal nominal, ini soal mentalitas. Nominal hanya dilihat berdasarkan penegakan hukumnya saja, tapi dilihat dari apakah dia salah atau benar.

“Bukan berarti korupsi seribu rupiah dianggap benar dan bisa dikembalikan,” katanya.

Boleh menggratiskan ke si pengguna. Tetapi terhadap pemakaian gedung menjadi tanggung jawab si pemberi jaminan. Tidak dengan menggratiskan secara keseluruhan. Jika pun digratiskan, dana yang sudah dianggarkan untuk penyewaan Taman Budaya dikemanakan?, apakah dikembalikan ke UIN atau digunakan ke tempat lain.

Dalam hal ini Yulfan juga mengomentari keterbukaan informasi publik dalam pengelolaan anggaran event. Syarat keterbukaan infromasi publik ada dua. Pertama, menggunakan uang publik yang bersumber dari Anggaran Pendapatam dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kota (APBK). Yang kedua, secara Undang-Undang (UU) disebut sebagai lembaga publik. Lembaga manapun yang memiliki dua syarat itu, maka boleh dimintai pertanggungjawaban. Termasuk kegiatan ACF, dimana salah satu sumber anggarannya berasal dari UIN, kampus sebagai lembaga pendidikan dibawah Kemenag. Dimana, kampus juga butuh memberikan pertanggungjawaban kepada publik terhadap uang yang dikelola. Termasuk dana yang dialirkan dalam kegiatan mahasiswa. []

Penulis: Redaksi Sumberpost