Melawat Makam Raja Islam Pertama di Asia Tenggara
Sumberpost.com|Banda Aceh – Siapa sangka Gampong Bandrong, Kecamatan Peureulak di Kabupaten Aceh Timur yang berjarak 7 KM dari Terminal Lama Peureulak menyimpan permata didalamnya. Melewati jalan aspal nan berlubang, dikelilingi sawah di sisi kanan dan kebun sawit di sebelah kiri, sesekali diselip beberapa perumahan. Mengikuti jalan lurus hingga bertemu suatu komplek dengan gapura berwarna sepenuhnya hijau, di bingkaikan lewat warna maroon berbentuk khas kubah di atasnya. Kalimat “SELAMAT DATANG DI MAKAM SULTAN ALAIDIN SAYID MAULANA ABDUL AZIZ SYAH” berwarna kuning pucat, penanda tempat peristirahatan terakhir Raja Islam Pertama di Asia Tenggara disemayamkan.
Masuk ke dalam pekarangan, suguhan rumah panggung kayu yang lapuk dimakan usia berdiri kokoh tepat ketika kaki melewati gapura. Kantor bertuliskan “Kantor Simbas” dan beberapa gedung dari semen dijeda balai-balai kayu memenuhi komplek tersebut. Saat itu hanya ada teriakan anak-anak yang bersorak kegirangan, dengan sepeda terparkir di depan gedung. Serunya bocah-bocah setengah telanjang itu sedang bermain lari-larian di dalam bangunan tanpa isi. Hari itu terbilang sepi, walaupun penulis datang di hari libur panjang. Tidak ada aktivitas peziarahan, selain sapi yang melahap rumput-rumput ditemani capung berputar-putar di langit abu.
Beranjak ke sebelah kiri gapura, ada yang menarik perhatian. Sebuah balai tua lusuh nan kotor berdiri di depan antara mushalla dan makam. Terdapat papan informasi yang ditempel menghadap ke depan. Spanduk berbentuk persegi panjang, dengan dua robekan di samping kirinya. Tulisannya dimakan pudar dengan sentuhan warna putih yang menghilangkan jejak-jejak informasi. Judulnya masih tampak jelas, ditulis dengan huruf capital yang tebal. “SULTHAN-SULTHAN DALAM DINASTI KERAJAAN ISLAM I BANDAR KHALIFAH PEUREULAK,” diapit oleh lafaz Allah dan Muhammad di sisi kanan dan kirinya, tertanda informasi tersebut disahkan pada tahun 2013 lalu.
10 langkah dari balai, masih ada satu bangunan yang tak kalah tuanya. Kayu-kayu tersusun saling melengkapi bangunan yang disebut “Dayah” itu. Berwarna putih dengan coretan-coretan coklat, simbolis bangunan tersebut telah lama dibasahi hujan, dipanasi matahari. Jalan setapak di depan dayah membawa kaki ke tempat hati ingin menuju. Peristirahatan abadi sang raja bersama istrinya bersatu dalam satu liang lahat. Kain kuning memagari dua batu nisan di atas kepala makam dan dua lagi di bawah makam. Keempat nisan tersebut hanya berbentuk batu yang lonjong tajam ke atas. Tidak ada corak-corak kaligrafi Arab layaknya makam Sultan Iskandar Muda. Tidak ada juga kerangka peti dari beton yang menjulang gagah di atas tanah, hanya ada batu-batu kerikil warna putih isyarat para penghuninya yang suci.
Makam tersebut terletak di ujung kiri komplek yang diberi gelar Monisa atau Monumen Islam Asia Tenggara. Suasana yang terbilang sangat asri karena dikeliling pepohonan memungkinkan para pengunjung bisa dengan khidmat memanjatkan doa dan merenungi betapa menakjubkan Aceh di masa lampau. Islam yang sudah menjadi pegangan hidup masyarakat Aceh sekarang adalah buah tangan perjuangan raja di raja dalam mengenalkan dan menyebarkan agama Rahmatan lil A’ lamin.
Kembali ke posisi sisi kanan makam Raja Peureulak, tergantung tulisan tentang silsilah asal-usul keturunan para raja. Menggunakan bahasa arab melayu, nasab tersebut terbagi menjadi dua suku, dari satu bangsa yang sama yaitu Bangsa Arab. Suku Quraisy dan Suku Persia saling terhubung dalam rantai waktu hingga salah satu nama dari salah satu suku mengawini satu suku yang lain, melahirkan keeratan yang padu, bahwa nasab dari Raja Peureulak, Pasai, Tamiang, Aceh Darussalam dan Walisongo di Pulau Jawa merupakan keturunan yang mulia, keturunan yang berpaut langsung dengan Baginda Nabi Muhammad SAW.
Keluar dari bangunan makam, tepatnya di sisi kirinya. Aliran sungai yang melewati Kecamatan Peureulak Kota, Peureulak Barat, Ranto Peureulak, Peunaron, dan Serbajadi Lokop bermuara ke laut Kuala Beukah menjadi saksi keluar masuknya kapal-kapal dari berbagai belahan dunia. Dahulu Kayu Perlak menjadi primadona para pendatang, biasanya kayu tersebut dijadikan bahan baku yang bagus untuk membuat kapal.
Begitulah Kerajaan yang disebut dalam catatan perjalanan Marco Polo pada abad ke 12, Ferlec atau Peureulak yang merupakan kerajaan islam pertama di Asia Tenggara. Kedatangan rombongan Sayyid Ali Al-Muktabar membawa Islam beraliran Syiah ke Bumoe Aceh. Pernikahan Sayyid dengan gadis setempat seperti suatu adat para musafir yang hendak menyebarkan Islam. Dari pernikahannya dengan Putri Tansyir Dewi, lahirlah Alaidin Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah yang menjadi pendiri Kerjaan Pereulak sekaligus raja pertama.
Dalam catatan sejarah, Sultan Alaidin berkuasa pada 1 Muharram 225 H atau tahun 840 Masehi. Sepanjang 24 tahun beliau menyebarluaskan Islam beraliran Syiah hingga terjadi perlawanan pengikut Syiah dan Sunni yang menyebabkan terjadinya perjanjian Alue Meuh. Sultan Alaidin kemudian wafat pada tahun 864 M atau 249 H, kemudian kepemimpinannya diambil alih oleh Sultan Alauddin Sayyid Maulana Abdurrahim Syah Zhillulah fil Alam.
Setelah setengah jam lebih mengamati, niat hati penulis ingin beranjak meninggalkan kawasan tak berpenghuni itu. Seorang anak keluar dari arena permainan dalam gedung, sambil berteriak “di belakang itu ada kuburan panjang.” Sontak saja tanpa ada juru makam yang mengarahkan, penulis mengamini tuntunan seorang anak kecil periang. Dari arah gapura, ke sisi kanan komplek, sekitar 30 langkah kaki disambut pepohonan yang menjulang, berpayungkan dedaunan. Terdapat beberapa makam yang bercerai berai di bawah pepohonan. Hampir semuanya dilapisi dengan beton berbentuk persegi panjang, kecuali satu dengan tambahan pagar hijau mengelilingi makam. Tak lupa atap dengan lapisan kain putih lusuh di sisi dalamnya, ala-ala kuburan yang dipercayai keramat oleh masyarakat.Tak ada nisan dengan tulisan penanda siapakah penghuni yang mendiami makam berukuran 6 sampai 7 meter itu. Namun, dilansir dari beberapa sumber, makam tersebut milik seorang hakim dan panglima yang dikebumikan dalam satu liang lahat. Tidak ada petunjuk di masa kapan, kerajaan apa, hanya pertanyaan – pertanyaan yang bersarang dalam etalase kebingungan saja.
“Pendiri Kerajaan Islam Pertama di Asia Tenggara,” begitu tulisan yang membuat hati penulis kagum, takjub dan bangga menjadi seorang anak berdarah Aceh tulen. Konsep Islami yang mencuat dalam kehidupan berbudaya masyarakat Aceh yang dianut sampai sekarang adalah bukti terjaganya marwah Aceh yang mulai bersemayam di Bumoe Aceh pada abad ke-8 itu. Namun pertanyaannya, bagaimana semangat para raja itu masih tertanam pada generasi-generasi muda Aceh, sedang tempat persemayaman terakhirnya bak rumah kosong tak berpenghuni? Layaknya malam tanpa rembulan, bagaimana para anak bangsa meneruskan peradaban yang gemilang agar tak tergerus zaman?
Penulis merasa perlu adanya rekonstruksi ulang untuk mengenang kembali kegemilangan peradaban Aceh. Agar tak hanya sepintas cerita lalu yang hilir mudik tak meninggalkan sisa. Perhatian pemerintah dalam pengelolaan makam, yang terpampang jelas sebagai “Monumen Islam Asia Tenggara” harusnya tak perlu diragukan. Namun, beribu kata namun, kondisi komplek makam tersebut hampir layak disebut makam yang ditinggali sanak keluarga. Beranjak dari itu, faktor keterlibatan sekolah sebagai wadah untuk anak-anak lebih mengenal indatunya, baik karakter hingga perjuangan juga perlu digugah lebih kuat. Sejarah menjadi ajaran untuk manusia belajar dari masa lalu, menggerakkan perubahan ke arah yang lebih baik. Bangsa yang tak mengenal sejarah akan mudah dikelabui sebagai bangsa yang tak ada apa-apanya di mata dunia. Pendahulu kita yang sudah menjulang masa keemasan merupakan aset berharga untuk dikenang, dipelajari dan perlu dibanggakan. Sebagai generasi muda perlu menerapkan diri mencintai sejarah para pendahulu, jangan sampai jejak-jejak itu hilang ditelan waktu. []
Reporter : Rina Hayati
Editor : Anzelia Anggrahini