Mereguk Sejuk Alam ditemani gorengan Hasanah

Sumberpost.com|Banda Aceh – Air sejuk dari kaki gunung bersimbah ruah mengalir deras tanpa henti. Ditemani kicauan burung dibalik pepohonan hijau, berderet menjulang tinggi memagari setiap tepi. Suara derai air terus berisik. Asalnya dari kaki gunung hijau yang tersusun rapi, tingginya menutupi setengah dari hamparan langit.

Beberapa perahu angin mengapung di bendungan pertama, tak banyak, hanya 2 atau 3 perahu. Bergerak pelan sesuai dayungan sang tuan. Selebihnya wisatawan dari berbagai usia yang menikmati pemandangan. Tawaan sekelompok siswi dengan baju seragam oren menggema di atas sana, menepuk-nepuk air ke satu sama lain.

Air yang bersumber dari mata air pegunungan melewati bendungan bertangga, sebelum mengalir lepas mengikuti arus sungai dengan permukaan bebatuan dengan berbagai ukuran. Terlihat gerombolan wisatawan yang memilih duduk dipinggir sungai. Dengan beralaskan karpet seadanya yang terbentang diatas batu bermuka datar.

Hari itu hari Sabtu, tak banyak wisatawan yang kesana. Cuaca yang semula cerah tiba-tiba berubah menjadi gelap. Buliran air dari langit mulai berjatuhan, membasahi seluruh tempat disana. Tak menunggu lama, pemilik karpet-karpet itu turun kebawah.

Muhammad Zaini namanya, pedagang makanan ringan di wisata Brayeun. Zaini dan anak lelakinya yang berusia remaja bergegas melipat karpet kusam di tepi sungai, tadinya dibentang untuk pengunjung. Warnanya merah dan biru, keduanya telah memudar. Dibawah karpet ternyata masih ada lapisan terpal biru lusuh.

Kurang dari 5 menit, karpet-karpet di lapak Zaini telah terlipat dan ditumpuk di atas meja beratap spanduk seadanya. Meskipun cuaca akhir-akhir ini sering hujan, tak membuat Zaini gusar.

“Air bendungan disini akan meluap jika empat jam diguyur hujan tanpa henti. Banjirnya pun hanya disekitar sungai saja. Tidak meluap ke daratan,” ujarnya.

Tahun ini, Zaini, umurnya telah memasuki masa-masa senja, yang menginjak usia 64 tahun. Saban hari, ditemani Hasanah, istrinya, menyiapkan dagangan ditempat ini. Berbagai makanan ringan disediakan di lapaknya. Mulai dari gorengan, mie instan, minuman botol hingga jajanan warung kecil-kecilan.

Zaini telah lama berjualan makanan ringan di sekitar tempat ini, mulai tahun 2008 silam. Namun, mulai dari dua tahun kebelakang tempat ini sepi wisatawan. Tepatnya saat kejadian 4 orang santri terbawa oleh arus sungai di sini. Karena sepi pengunjung, omset dagangan Zaini dan istri pun mengalami penurunan.

“Mungkin karena muncul tempat-tempat wisata baru. Karena orang sudah biasa kesini mungkin mau coba tempat lain. Kemarin saat COVID semua wisata tutup, hanya Brayeun yang buka, waktu itu ramai sekali,” ungkap Zaini.

Dagangan Zaini terbilang cukup murah bagi tempat wisata. Tiap hari, Hasanah, Istri Zaini membuat gorengan dan dijual dengan harga Rp1.000, tak naik meski tahun berganti.

“Kalau kita jual mahal tidak ada yang membeli, takutnya dikomentari orang, karena harga mahal kali,”kata Hasanah sembari menggoreng bakwan.

Kata Hasanah, dahulu para pedagang disini berani mengambil pinjaman modal usaha untuk berjualan dan mengembalikannya satu hari setelah peminjaman, saking ramainya wisatawan. Namun, semenjak wisata ini sepi, beberapa pedagang berhenti berjualan disini.

Siapa sangka, bahan-bahan dasar dagangannya Hasanah dibeli di Pasar Lambaro. Ketika bahan dasar dagangannya habis, Hasanah harus menempuh 31,9 Km untuk berbelanja.

“Kalau belanja berangkat dari rumah pukul 05.30 ke pasar Lambaro, pukul 07.30 sudah disini,” kata Hasanah.

Jarak tidak pernah menghalangi mereka untuk mencari rezeki yang halal demi menghidupi 6 orang anaknya. Setiap hari, ditemani derasnya arus sungai dan kicauan burung di wisata air Brayeun, pasangan suami istri ini terus berusaha mencari nafkah meskipun dihadapkan dengan laba yang tipis dan menurunnya minat wisatawan ke sini. []

Reporter : Rauzatul Jannah

Editor : Anzelia Anggrahini