Goh Leumo dan Para Pencari Makna Kebersamaan

Sumberpost.com | Aceh Besar – Jarum jam menunjukkan pukul 16.30 WIB ketika langkah pertama kami menapaki jalur menuju puncak Goh Leumo. Langit mulai meredup, matahari perlahan turun ke ufuk barat, meninggalkan semburat jingga di cakrawala. Jalanan setapak yang membelah hutan menghembuskan hawa dingin, ditemani kicauan burung yang mengiringi perjalanan. Di sinilah petualangan kami dimulai, pertualangan ini bukan hanya sekedar mendaki gunung, tetapi juga mengukir kisah kebersamaan yang tak terlupakan.
Jalur yang menanjak menguji ketahanan fisik. Pepohonan tinggi menjulang sepanjang jalan, menutupi setengah hamparan langit. Langkah demi langkah kami lalui bersama, sesekali berhenti untuk mengatur nafas dan berbagi cerita ringan. Di saat seperti ini, segala kelelahan terasa sedikit mereda, saat melihat teman-teman yang saling berbagi tawa dan dukungan. Momen-momen kecil seperti itu yang menjadi penyemangat, membuat kami merasa lebih kuat meskipun jalur semakin berat.
Saat perjalanan jauh, kami bertemu dengan kelompok pendaki lain yang sedang turun. Salah salah satu dari mereka menyapa dengan ramah.
“Hati-hati di atas, anginnya kencang malam ini!” Kami tersenyum dan mengangguk.
“Terima kasih bang! Masih ada orang gak di puncak bang?” tanya Akram.
“Gak ada lagi bang!” Jawab salah satu pendaki yang memberikan informasi sebelum beranjak pergi meninggalkan kami.
Langit mulai gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang samar dan juga cahaya dari senter. Perjalanan terasa semakin menantang, tetapi tak ada yang ingin menyerah. Hingga akhirnya, tepat pukul 19.00 WIB, kami menginjakkan kaki di puncak Goh Leumo, pada ketinggian 812 MDPL.
Di puncak, keheningan suasana mendominasi. Hamparan kelap-kelip lampu kota terlihat. Cahaya kota Banda Aceh terlihat kecil, berkilauan bagaikan lautan bintang yang jatuh ke bumi. Udara dingin menusuk kulit, tapi hati kami dipenuhi rasa hangat karena berhasil mencapai tujuan bersama-sama.
”Alhamdulillah, kita sampai juga!” seru Abil sambil mengatur napas.
“Wow, keren kali” tambah Habib yang langsung duduk, menikmati pemandangan yang tersaji di depan mata.
“Rasanya seperti melihat bintang dari atas,” ucap Habib pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
“Kota yang kita pikir besar aja terlihat begitu kecil dari atas ini, apa lagi manusia. Jadi apa yang mau kita bangga kan,” tambah Akram sambil merenung.
Kami menikmati pemandangan itu sejenak sebelum mencari tempat untuk mendirikan tenda. Setelah menemukan lokasi yang cukup nyaman, kami mulai memasang tenda dan menyiapkan makanan. Saat api mulai menyala dan aroma makanan tercium, tiba-tiba terdengar suara dari semak-semak di dekat tenda.
“Sstt… kalian dengar itu?” bisik Hudri sambil menoleh ke arah suara.
Kami berhenti sejenak, mencoba menebak apa yang ada di dalam semak-semak. Dengan senter di tangan, kami mencari sumber suara, berharap itu bukan sesuatu yang berbahaya.
“Tikus! Besar kali!” seru Rabo setengah panik.
Tikus besar itu berlari mendekati tenda, tertarik oleh bau masakan kami. Kami mencoba mengusirnya, tetapi setiap kali kami berpikir sudah berhasil, tikus itu kembali mengendap-endap mendekati makanan.
“Pergi sana!” kataku sambil mengibaskan kayu untuk menakuti si tikus.
Walaupun kami berusaha mengusirnya, tikus itu tetap kembali sesekali, mengganggu kami yang sedang makan. Kami hanya bisa pasrah, menjaga makanan sebaik mungkin agar tidak dicuri oleh tamu yang tak diundang itu.
Hanya berjarak 10 meter dari tenda, kami menikmati puncak dengan angin malam yang bertiup cukup kencang. Setelah puas menikmati pemandangan, sekitar pukul 12 malam, kami kembali ke tenda untuk beristirahat. Ada yang langsung tidur, ada juga yang memilih menghabiskan malam dengan ngobrol santai, makan camilan, atau sekadar menikmati suasana di luar tenda. Kami menyalakan api unggun agar binatang liar tidak mendekat, terutama si tikus besar yang masih berkeliaran.
Sekitar pukul 01.00, suasana mulai sepi. Api unggun masih menyala, hanya menyisakan cahaya redup yang menemani malam kami. Namun, sekitar pukul 03.00, beberapa dari kami mendengar suara langkah kaki di luar tenda.
“Eh… ada yang jalan di luar?” bisik Saed, mencoba memastikan apa yang ia dengar.
Kami terdiam, hanya suara angin yang terdengar jelas. Tidak ada yang berani membuka tenda, memilih diam dan melanjutkan tidur. Ketika Subuh tiba, kami menemukan kacang yang diletakkan di luar tenda telah habis dimakan tikus.
“Hadeh… ternyata tikusnya nggak kapok juga,” kata Hudri sambil menghela napas.
“Yang penting bukan tenda kita yang ngak digigit,” tambah Abil, mencoba berpikir positif.
Kami pun menyalakan api untuk menghangatkan diri dan merebus air sebelum kembali ke atas untuk menyaksikan matahari terbit.
Pukul 08.00, setelah puas menikmati sunrise, dan juga berfoto-foto kami kembali ke tenda untuk memasak nasi dan sarapan terakhir sebelum bersiap-siap meninggalkan Goh Leumo. Setelah makan, kami berkemas dan memulai perjalanan turun. Namun, belum lama berjalan, kami dikejutkan oleh sesuatu yang bergerak di celah bebatuan.

“Eh, hati-hati! Ada anak ular kobra!” seru Saed yang berada paling depan sembari menunjuk ke arah batu.
Saat kami mendekat dengan hati-hati, ternyata seekor anak ular kobra bersembunyi di celah bebatuan. Kami semua langsung meningkatkan kewaspadaan. Anak ular itu tampaknya baru menetas dan belum terlalu agresif, tetapi tetap saja, kehadirannya cukup membuat adrenalin kami naik. Pelan-pelan, kami menjauh dan memastikan jalur aman sebelum melanjutkan perjalanan turun.
Mendaki Goh Leumo memberi kami banyak pengalaman berharga. Dari perjuangan menaklukkan jalur terjal, gangguan tikus di tengah malam, suara misterius yang terdengar di luar tenda, hingga pertemuan tak terduga dengan anak ular kobra, semuanya menjadi bagian dari kisah pendakian yang akan selalu kami kenang.
Lebih dari sekedar petualangan, perjalanan ini mengajarkan kami arti kebersamaan, kesabaran, dan saling menjaga. Karena pada akhirnya, bukan hanya puncak yang menjadi tujuan, tetapi perjalanan bersama yang penuh makna inilah yang akan terus tersimpan dalam ingatan.
Reporter: Maulana Akhyar