Detoks, Antisipasi Kecanduan dalam Bermedia Sosial

Sumberpost.com | Banda Aceh – Di era digital seperti saat ini, penggunaan media sosial sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Mulai dari bangun tidur hingga sebelum tidur kembali, banyak orang yang tidak bisa lepas dari layar ponsel mereka. Akses yang mudah, kecepatan informasi, hingga beragam hiburan menjadikan media sosial sangat menarik dan sering kali membuat penggunanya lupa waktu.

Berdasarkan survei yang dikutip dari We Are Social, sebanyak 49,9 persen atau sekitar 139 juta dari total populasi Indonesia aktif menggunakan media sosial per Januari 2024. Bahkan, Indonesia pernah menempati peringkat pertama di dunia dalam durasi penggunaan internet atau screen time pada tahun 2022. Rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan waktu hingga 5,7 jam per hari hanya untuk berselancar di dunia maya, sebagaimana dilaporkan dalam studi bertajuk State of Mobile 2023 oleh firma riset data.ai.

Dampak Negatif Jika Tidak Terkontrol

Tingginya intensitas penggunaan media sosial tentu menimbulkan berbagai dampak, terutama jika tidak diiringi dengan kontrol diri. Menurut Iyulen Pebry Zuanny, seorang psikolog sekaligus dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, penggunaan media sosial yang tidak terkontrol dapat memengaruhi kesehatan mental.

“Dampak bermedia sosial dapat membuat mental terganggu, memunculkan rasa ingin tahu yang berlebihan sehingga bisa menjadi candu. Jika tidak melihat konten setiap hari, seseorang bisa merasa cemas. Terutama jika ia memiliki waktu senggang yang tidak dimanfaatkan secara positif,” jelasnya.

Iyulen juga menambahkan bahwa kecanduan media sosial dapat memicu tekanan psikologis seperti cemas berlebihan (anxiety), merasa tidak aman (insecurity), dan ketergantungan terhadap validasi eksternal, misalnya melalui jumlah like atau komentar di media sosial.

Selain aspek psikologis, penggunaan media sosial yang berlebihan juga berdampak pada aspek kognitif, yakni cara seseorang berpikir dan membentuk pola pikir (mindset). Terlalu sering terpapar konten negatif dapat membuat seseorang cenderung berpikir negatif atau overthinking. Bahkan, menurut Iyulen, konten atau bacaan yang tidak sehat bisa masuk ke alam bawah sadar seseorang tanpa disadari.

“Konten-konten atau bacaan yang negatif bisa terekam di alam bawah sadar. Bahkan, lagu-lagu yang kita dengar pun bisa memengaruhi suasana hati. Kalau kita sering dengar lagu mellow, suasana hati bisa jadi ikut mellow,” katanya.

Bahaya Meniru Konten Negatif

Dalam perspektif psikologi behavioristik, manusia cenderung mengulangi perilaku yang memberikan rasa nyaman atau hasil yang diinginkan. Ini berlaku juga dalam konsumsi konten media sosial. Seseorang bisa saja meniru apa yang dilihatnya di media sosial, baik secara sadar maupun tidak sadar.

Misalnya, jika seorang remaja sering melihat konten tentang self-harm (melukai diri sendiri), ada kemungkinan ia akan meniru perilaku tersebut, terutama jika ia sedang dalam kondisi mental yang rapuh. Ini tentu sangat berbahaya karena termasuk dalam kategori gangguan psikologis yang membutuhkan penanganan profesional. Contoh lainnya adalah konten bullying atau kekerasan verbal yang bisa memengaruhi cara seseorang berinteraksi dalam kehidupan nyata.

“Kalau seseorang melihat sesuatu dan merasa nyaman atau mendapatkan sesuatu dari situ, maka ia akan cenderung mengulanginya,” tambah Iyulen.

Solusi Detoks Media Sosial

Untuk mengantisipasi dampak negatif tersebut, salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah melakukan detoks media sosial. Detoks dalam hal ini bukan hanya berlaku bagi tubuh, tetapi juga bagi pikiran dan aktivitas digital seseorang. Konsepnya sederhana: mengurangi atau bahkan menghentikan sementara penggunaan media sosial demi menjaga kesehatan mental dan fokus hidup.

“Bukan hanya tubuh yang butuh didetoks. Dalam bermedia sosial pun kita perlu detoks. Seperti tubuh yang didetoks lewat puasa, pola makan sehat, dan olahraga, kita juga perlu menjaga kebersihan mental dari paparan konten negatif di media sosial,” jelas Iyulen.

Langkah awal untuk melakukan detoks digital adalah dengan menyusun to-do list atau daftar kegiatan harian yang jelas. Dengan begitu, waktu luang bisa digunakan untuk hal-hal yang produktif, bukan sekadar scrolling tanpa arah.

Setelah itu, tetapkan batas waktu dalam menggunakan media sosial setiap harinya. Misalnya, 30 menit di pagi hari dan 30 menit di malam hari. Gunakan alarm atau pengingat untuk membatasi waktu tersebut. Jika waktu yang ditentukan sudah habis, maka aktivitas bermedia sosial harus dihentikan, dan jika melanggar, perlu ada sanksi kecil untuk diri sendiri. Contohnya, mengurangi waktu bermain media sosial pada hari berikutnya.

Sebaliknya, jika berhasil menaati aturan, maka berikan reward untuk diri sendiri, seperti menikmati makanan favorit atau melakukan aktivitas yang menyenangkan. Ini penting untuk membangun motivasi dan kedisiplinan.

Namun, jika seseorang merasa kesulitan mengontrol diri sendiri, maka penting untuk meminta bantuan dari orang lain. Bantuan tersebut tidak harus datang dari psikolog. Teman, keluarga, atau orang-orang terdekat juga bisa menjadi pendukung dalam menjaga konsistensi detoks media sosial.

“Kalau tidak berhasil mengontrol diri sendiri, maka perlu ada peran orang lain. Bisa teman, keluarga, atau siapa pun yang sering berinteraksi untuk saling mengingatkan. Tapi yang paling penting tetaplah kontrol diri,” tutupnya.

Media sosial memang memberikan banyak manfaat, mulai dari hiburan hingga informasi yang cepat. Namun, jika digunakan secara berlebihan dan tanpa kontrol, media sosial bisa menjadi sumber kecemasan, tekanan mental, dan bahkan membentuk perilaku negatif. Oleh karena itu, detoks media sosial bukan hanya pilihan, tetapi sudah menjadi kebutuhan di tengah derasnya arus digital saat ini. Mari mulai belajar mengendalikan diri demi kesehatan mental dan kualitas hidup yang lebih baik. []

Reporter: Miftahul Jannah

Editor: Riska Amelia