Mengenang Marsinah Dalam Sejarah Kelam Perjuangan Buruh

Sumberpost.com | Banda Aceh – 32 tahun yang lalu, tepatnya 08 Mei 1993. Jenazah Marsinah ditemukan di hutan di Dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur. Luka robek tak teratur sepanjang 3 Cm dalam tubuhnya. Menjalar mulai dari dinding labium minora sampai ke dalam rongga perut. Tulang panggul bagian depan hancur dan serpihan tulang ditemukan dalam tubuhnya (08/05/2025).

Begitulah kondisi tubuh jenazah Marsinah, perempuan aktivis buruh berlidah tajam pada masa orde baru. Salah satu dokter forensik yang menangani jenazah Marsinah dr. Abdul Mun’im Idries mengungkapkan penyebab kematian Marsinah ialah tembakan senjata api.

“Melihat lubang kecil dengan kerusakan yang masif, apa kalau bukan luka tembak?” kata Idries dalam tayangan Mata Najwa: X-File edisi 18 September 2013.

Semasa Marsinah hidup, senjata tidak dimiliki oleh sembarangan orang. Pembunuh Marsinah ialah sosok hitam yang memiliki akses senjata. Bersembunyi dalam kegelapan, hingga tak pernah ditemukan hingga saat ini.

Berbeda dengan nasib pelaku yang memaksa Marsinah pergi dari dunia ini. Sosok Marsinah hingga kini masih berkobar dalam api semangat perjuangan buruh. Menyelinap dalam payung-payung tuntutan lantang kesejahteraan pekerja. Marsinah ada dimana-mana, lukisan wajahnya dibentangkan massa, dikenalkan pada generasi muda. Pemerintah dipaksa untuk terus mengingatnya.

Marsinah adalah buruh PT Catur Putera Surya (CPS), pabrik arloji di Siring, Porong, Jawa Timur. Buruh PT CPS digaji Rp1.700 per bulan. Jelas-jelas regulasi KepMen 50/1992, diatur bahwa UMR Jawa Timur ialah Rp2.250. Pemerintah Provinsi Surabaya meneruskan aturan itu dalam bentuk Surat Edaran Gubernur KDH Tingkat I, Jawa Timur, 50/1992, isinya meminta agar para pengusaha menaikkan gaji buruh 20 persen.

Banyak perusahaan menolak regulasi tersebut, termasuk tempat dimana Marsinah bekerja. 3 Mei 1993, ada 150 dari 200 buruh perusahaan itu yang mogok kerja. Saat aksi mogok hari pertama, Yudo Prakoso, koordinator aksi, ditangkap dan dibawa ke Kantor Koramil 0816/04 Porong. karena mogok kerja tak mempan karena prakoso disibukkan oleh panggilan militer sana sini. Akhirnya, Marsinah ambil alih aksi.

Ada 10 tuntutan buruh saat itu yaitu :

  1. Kenaikan upah sesuai kebutuhan buruh.
  2. Tunjangan cuti haid.
  3. Asuransi kesehatan buruh ditanggung perusahaan.
  4. THR minta satu bulan gaji sesuai dengan himbaun pemerintah.
  5. Uang makan ditambah.
  6. Kenaikan uang transport.
  7. Bubarkan SPSI.
  8. Tunjungan cuti hamil tepat waktu.
  9. Upah karyawan baru disamakan dengan buruh yang sudah 1 tahun kerja.
  10. Pengusaha dilarang melakukan mutasi, intimidasi, PHK karyawan yang menuntut haknya.

4 Mei 1993, aksi mogok kerja kembali digelar. PT CPS melakukan negoisasi 15 orang perwakilan buruh dengan melibatkan aparat negara. Semua tuntuan dikaburkan, hanya pembubaran SPSI tidak. Di hari itu juga, Yudo Prakoso, buruh yang dianggap dalang pemogokan dipanggil ke Komando Distrik Militer (kodim). Di sana, ia diminta untuk menuliskan 12 nama buruh yang terlibat dalam perencanaan aksi pemogokan buruh.

Esoknya 12 buruh itu diminta mengundurkan diri oleh aparat kodim sidoarjo. Emosi marsinah memuncak ketika mengetahui temannya dipaksa mengundurkan diri. Ia meminta salinan surat mengunduran diri mereka dan salinan kesepakatan yang telah ditanda tangani oleh PT CPS, dimana poinnya pengusaha dilarang melakukan mutasi, intimidasi, dan melakukan PHK karyawan setelah aksi mogok kerja.

“Aku akan menuntut Kodim dengan bantuan saudaraku yang ada di Surabaya,” kata-kata terakhir Marsinah pada rekanya sebelum akhirnya merujuk koleganya yang bekerja di Kejaksaan Surabaya.

6 Mei 1993, sehari setelah 12 para buruh dipanggil ke Kodim, adalah libur nasional memperingati Hari Raya Waisak. Esok harinya, buruh kembali bekerja di PT CPS, namun tidak ada satupun yang melihat Marsinah. 8 Mei 1993, Marsinah ditemukan tak bernyawa di sebuah gubuk pematang sawah di Desa Jagong, Nganjuk. []

Reporter: Rauzatul Jannah

Illustrator: Syafiatun Nazila

Editor: Riska Amelia