Sumberpost.com – 2 juli 2013. Tepat pukul 14 lewat 30 menit, gempa berkekuatan 6,2 sekala richter menyebabkan ratusan bagunan di Kecamatan Ketol, Kabupaten Biner Meriah amblas. Puluhan jiwa meninggal, bahkan menghilanglkan sebuah desa dari peta dunia.
Mendung hari itu, tak menjadikan laki-laki itu lupa Saat dia dan beberapa kawan satu kampusnya berkunjung ke Dataran Tinggi Gayo.
Masih kental dalam ingatan Khairuddin, saat pertama datang ke kecamatan Ketol, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh, pada bulan Ramadhan 1434 H. Gempalah yang mendorong mahasiswa Psikologi Medan Area (UMA) Sumatra Utara ini menginjakkan kakinya pertama kali di tanah Aceh.
“Ingat kali aku, waktu gempa itu sekitar jam 2 lewat 30. Kami sedang rapat untuk ospek anak baru. Tiba-tiba kok goyang. Ternyata ada gempa di Takengon,” ujar Khairuddin.
Rapat ospek berubah jadi rencana galang dana untuk korban gempa. Itulah yang dilakukan Khairuddin dan kawan-kawannya.
“Awalnya hanya galang dana saja selama dua atau tiga hari. Tapi pada hari kedua, teman-teman bilang ‘nggak seru kalau cuma nyampe sini perjuangan kita, kenapa nggak terjun lapangan langsung?’” ungkap mahasiswa kelahiran Simalungun, Sumatra Utara.
Bermodalkan ilmu psikologi, Khairuddin dan timnya berusaha memberikan pertolongan pertama kepada korban gempa.
“Kami punya dosen master psikologi bencana. Jadi kami coba sharing ke dia. Dapat dorongan dari beliau, kamipun mantap dan akhirnya diberikan pembekalan,” jelas mahasiswa yang akrab disapa Heru itu.
Awalnya mereka berancana berangkat 15 orang, tetapi terpaksa dibagi dua gelombang keberangkatan karena terkendela biaya. Gelombang pertama dikirim lima orang ke Ketol, termasuk Heru sebagai koordinator. Gelombang kedua juga lima orang. ”Sisanya tersisih karena seleksi alam. Waktu pembekalan, mereka tidak ikut,” Kata laki-laki kelahiran 1993.
Penggalangan dana tersebut, terang Heru, diperoleh dari beberapa sumber. Diantaranya kas Jumatan UMA, kas pusat Islam UMA, dan galang dana selama dua hari ditambah galang dana Mahasiswa Psikologi Se-Indonesia. Hampir 10 juta dana yang mereka dapatkan. Dan semuanya dihibahkan ke korban gempa.
Program yang dibawa Heru dan timnya adalah Psikologi Sosial. “ini semacam P3K. Jadi program pertolongan pertama. Itulah yang kami lakukan di Ketol kemarin untuk korban gempa,” kata Heru, minggu pertama November 2013.
Mahasiswa Psikologi UMA itu mengaku, bisa menerapkan ilmu psikologi yang mereka peroleh dari kampus secara langsung di lapangan merupakan the best experient.
“Pengalaman itu juga menambah relasi dan memberi gagasan baru bahwa Fakultas Psikologi UMA harus memiliki mata kuliah Psikologi Bencana,” tegasnya.
Tak ketinggalan, Heru menceritakan sekilas kegitan yang berlangsung selama 2 minggu di lokasi gempa itu. Puncaknya, terang Heru, ketika penyelenggarakan kegiatan dalam rangka Hari Anak Nasional untuk anak-anak di Kecamatan Ketol yang bekerjasama dengan relawan dari komunitas lain. Acara tersebut disambut gembira oleh orang tua di daerah itu. “Pasalnya Mereka senang anak-anaknya difasilitasi,” ujar Heru.
Dalam keadaan yang kurang beruntung itu, anak-anak masih sempat merasakan asiknya bermain meskipun dalam camp pengungsian.
“Kami menitik air mata saat melihat mereka dalam kondisi seperti itu masih bisa senyum,” tutur Heru.
Menurut Hairul Anwar Dalimuthe, dosen Sosiologi Bencana dan Antropologi Psikologi UMA, semenjak tsunami yang melanda Aceh pada 2004, perkembangan psikologi bencana drastis sekali.
“Dulu kalau ada bencana pasti yang dilakukan adalah penolongan klinis atau yang bersifat medis saja. Setelah beberapa kali pengalaman yang kami dapat di Aceh, pendekatanya bukan cuma klinis tapi juga ke arah psiko sosial,” katanya.
Klinis, jelas Hairul, bersifat medik dan membutuhkan tenaga-tenaga profesional. Misalnya, saat terjadi bencana, orang yang mengalami trauma tidak bisa ditangani hanya dengan bekal pengetahuan yang terbatas. ”Biasanya yang menangani itu harus ahli,” katanya.
Sedangkan psiko sosial terang Hairul, berupa pertolongan psikologis pertama yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Termasuk si korban bisa melakukanya terhadap dirinya yang bersifat mengantisipasi dan mereduksi.
Selama ini, ketika terjadi bencana, bantuan yang diberikan dominan berupa logistik pada hari pertama setelah bencana. Seperti makanan, tempat tinggal, dan pakaian.
“Setelah kami pelajari, psikologi di awal itu boleh, bahkan baik. Dan ini bukan cuma untuk korban, tapi juga baik untuk orang-orang yang membantu atau relawan,” kata Hairul.
Perbedaan budaya, membuat para relawan perlu mendapatkkan sosialisasi mengenai psikologis untuk berhadapan dengan masyarakat korban gempa yang abnormal.
”Jadi, ketika respon orang di lokasi gempa itu agak berbeda, itu normal. Karena orang yang mengalami kondisi bencana akan seperti itu,” tutur Hairul.
Kondisi Indonesia yang rawan bencana, membuat para psikolog berfikir untuk membuka jurusan Psikologi Bencana di Indonesia. “Ini yang membuat dibangunnya capacity building terutama pada orang psikologi yang ikut serta dalam penanganan bencana,” ungkap Hairul.
Dia menjelaskan, program menerjunkan langsung mahasiswa psikologi kelokasi bencana, merupakan hal yang penting untuk mengasah sensitivitas mereka sehingga peduli terhadap korban bencana. “Jadi, ketika mendapat tantangan apapun dalam profesi mereka kelak, mereka sudah berpengalaman,” tutur ayah satu anak itu.
Hairul berharap, mahasiswa yang sudah pernah menangani traumatik pada anak Gayo, semakin bergairah terhadap masalah penaggulangan bencana, sehingga tidak asing di benak mereka.
“Sangat penting menanamkan imej ini kedalam kognitif mereka, agar mereka punya tanggung jawab dan moral terhadap sesama sebagai akademisi,” tutup Master Universitas Indonesia itu.[]
*Desi Badrina